Sebuah mobil Tesla putih melesat dengan cepat menyusuri jalanan kota Seoul. Di dalamnya terdapat seorang pemuda berpakaian penuh gaya dari kepala hingga ujung kaki, lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya. Renjun, tengah bernyanyi beriringan dengan radio mobilnya yang mengalunkan sebuah lagu terkenal dari Miley Cyrus berjudul Flowers. Dengan lihai ia memutar setirnya ke arah kanan, memarkirkan mobilnya di sebuah café dalam sekali coba, kemudian keluar dari sana setelah merapikan tatanan rambutnya.
Beberapa pasang mata tertuju pada penampilan penuh gayanya dan Renjun tentu menyadari itu. Ia menyebutnya sebagai; pesona seorang lajang.
"Selamat datang, meja untuk berapa orang?" sapa ramah pramusaji café tersebut kepada Renjun.
"Teman saya sudah ada di dalam," jawabnya sambil melemparkan senyum ramah sebelum berjalan menuju sebuah meja di mana seorang lelaki lainnya telah duduk di sana.
Orang itu menidurkan keningnya di atas meja, membuat Renjun kesulitan melihat wajahnya, tapi ia tentu mengenal siapa orang itu hanya dari cara berpakaiannya.
"Hey? Hey, Mark. Kamu masih hidup, kan?"
Renjun menyentuh bahu lelaki itu dengan jari telunjuknya, sekali-dua kali ia lakukan tetapi Mark tetap bertahan pada posisinya. Mau tidak mau pun Renjun menarik bagian belakang kerah bajunya, sampai akhirnya Mark mengangkat kepalanya dan bersandar lesu pada kursi. Bisa ia lihat kedua mata yang sedikit memerah, ditambah surai hitam yang dibiarkan turun sampai hampir menutupi sepasang maniknya, sangat tidak seperti seorang Lee Mark yang ia kenal.
"Wah, wajahmu jelek sekali sekarang," ujar Renjun telah mendudukkan dirinya di hadapan Mark. Ia menyeruput segelas Americano dingin yang sudah dipesankan Mark sebelumnya, kemudian kembali menelisik wajah muram itu dengan sebelah alisnya terangkat. "Ada apa lagi kali ini?"
"Aku mau mati saja." Menjadi kalimat pembuka dari Mark. Cukup dengan satu kalimat itu, Renjun langsung memahami kemana arah pembicaraan mereka hari ini.
"Jangan mati dulu sebelum membayar tiket liburanku ke London."
"Sial, kami kan tidak jadi rujuk. Kenapa aku harus bayar tiketmu?" keluh Mark dengan intonasi jengkel, tapi Renjun malah tertawa melihatnya. "Kenapa pula kamu membuatkan surat cerai untuk Haechan? Dasar pengkhianat ...."
"Padahal sudah kuperingatkan berkali-kali dari awal." Renjun menyeringai memasang wajah tanpa dosa, membuat Mark geram tapi tidak ada yang salah dari ucapan temannya itu. "Ya sudah, akhiri saja lah hubungan kalian secepatnya seperti kata Haechan. Toh memang sama-sama punya niat untuk bercerai sejak awal, 'kan?"
"Tidak ... aku sudah kehilangan niat itu. Aku tidak bisa hidup tanpa Haechan," jawab Mark kembali bersandar lesu pada kursinya, ia menghela napasnya frustrasi, lalu tersenyum miris kala kata-kata Haechan pada malam itu terus berputar dalam kepalanya.
Renjun diam saja sambil memainkan sedotan dalam gelasnya, tangan satunya lagi dipakai untuk menopang dagu. Sedangkan isi kepalanya membawanya kembali ke hari di mana Haechan tiba-tiba mendatangi kantornya, dengan kedua mata sedikit bengkak dan suara yang parau.
***
"Renjun, jika aku ingin mempercepat perceraianku dengan Mark ... apakah melanggar isi kontrak yang waktu itu kami buat denganmu?"
"Eh? Kenapa?"
"Kamu yang paling tahu kalau ini bukan pertama kalinya kami ingin bercerai, bukan?" ujar Haechan dengan ekspresi yang sulit Renjun baca. "Aku merasa seperti terus mengulangi kesalahan yang sama jika hatiku terus goyah seperti dulu. Kamu sendiri lelah kan melihat kami yang bolak-balik kembali kemari? Aku pun merasa demikian, ini melelahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HABITS | MarkHyuck
Fanfiction10 tahun pacaran dan 5 tahun menikah, hubungan yang Mark dan Haechan kira akan abadi itu ternyata bisa kandas juga. Renjun pun menantang keduanya pisah rumah selama setahun sebelum mereka resmi bercerai, tapi ... sebagai tetangga. Bisakah mereka hid...