Pernikahan adalah suatu hal yang kerap kali menjadi dambaan bagi setiap orang. Pernikahan selalu digambarkan sebagai sebuah simbol kebahagiaan, bahkan kebanyakan cerita dongeng bisa dinyatakan 'happy ending' ketika kedua tokoh utamanya berakhir menikah, bukan? Maka itu, pernikahan seakan-akan dijadikan sebagai patokan kebahagiaan kedua insan yang saling jatuh cinta.
Namun, apa memang setelah pernikahan itu yang tersisa hanyalah 'kebahagiaan' saja?
Lee Haechan juga sempat berpikir demikian, bahwa pernikahan akan membawanya kepada kebahagiaan tanpa akhir. Tentu saja, siapa yang tidak ingin hidup bersama orang yang begitu kita cintai? Apalagi jika memikirkan bagaimana perjuangan keduanya saat remaja dulu agar bisa meyakinkan satu sama lain dan orang terdekat bahwa cinta mereka itu nyata, serta akan berlangsung selamanya. Setidaknya itulah janji yang mereka ucapkan di hadapan para saksi pernikahan mereka lima tahun yang lalu.
Tapi bagaimana ini? Usia pernikahan Haechan saja belum benar-benar genap lima tahun, namun ia malah lebih merasa kewalahan alih-alih bahagia. Rasanya seperti ditipu oleh makna pernikahan yang begitu dielu-elukan pada setiap cerita dongeng itu.
"Hey! Walaupun ini weekend, bukan berarti kamu bisa tidur seharian!"
Haechan membuka pintu kamar tempat suaminya tertidur dengan keras. Jam sudah menunjuk pukul 11 pagi, wajar saja Haechan marah pada suaminya yang tak kunjung bangun sedangkan dirinya sudah membersihkan satu rumah, mencuci pakaian, bahkan menyiapkan makan siang.
"Duuh ... bikin kaget saja! Justru weekend itu diciptakan buat istirahat, namanya juga libur," keluh sang suami masih enggan bangkit dari kasur empuknya.
Lelaki bernama Mark itu malah menutup lagi wajahnya dengan selimut akibat teriknya cahaya matahari yang menembus jendela kamar. Haechan mendecak kesal, ia tarik selimut suaminya membuat lelaki beralis camar itu menghela napas kasar dan mau tidak mau bangkit dari tidurnya.
"Pemalas banget, sih! Bantu bersih-bersih atau apa kek?!" sahut Haechan meletakkan kedua tangan di pinggang.
"Pemalas? Kamu bilang aku malas?" Mark tak terima, ia mendengus sebelum kembali menatap Haechan nyalang.
"Aku itu kerja nonstop selama lima hari seminggu. Punggung, mata, kuping, dan pantatku rasanya mau meledak tiap hari duduk di depan komputer dari pagi buta sampai tengah malam. Lalu kamu masih mengomel dan menyuruhku bersih-bersih di hari liburku? Terus aku kapan istirahatnya, hah?"
Mendengar protes panjang lebar suaminya, membuat Haechan terkesiap lalu balas tawa sinis Mark bersiap untuk melontarkan argumennya.
"Kamu pikir cuman kamu yang kerja? Aku juga kerja setiap hari, ya! Sudah begitu, pulang ke rumah pun masih harus beberes rumah dan masak. Lah, kamu? Tinggal tidur nyaman dan makan masakanku. Setelah semua usahaku itu, kamu masih keberatan waktu aku minta tolong sedikit saja? Wah, keterlaluan."
Mark tercengang dengan mulut tak tertutup, masih tampak tak terima atas serangan Haechan barusan. Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Haechan itu pun berdiri dari kasurnya, ia berjalan mendekatinya dan beri tatapan marah.
"Kamu anggap merangkai bunga sambil haha hihi doang itu sebagai pekerjaan? Jangan bercanda, Lee Haechan," katanya dengan nada suara yang dingin sebelum mengambil jaketnya dari lemari lalu pergi meninggalkan Haechan sendiri di kamar mereka.
Haechan terdiam, kedua tangannya bergetar sambil mengepal berusaha menahan seluruh emosinya. Ia mengulum bibirnya lalu menarik napas dalam.
Ia sudah biasa, terbiasa dengan suaminya yang selalu meremehkan profesinya sebagai florist di sebuah toko bunga milik temannya. Terbiasa dengan suaminya yang tidak menghargai dirinya. Terbiasa dengan seluruh pertikaian sepele yang semakin sering terjadi dalam pernikahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
HABITS | MarkHyuck
Fanfiction10 tahun pacaran dan 5 tahun menikah, hubungan yang Mark dan Haechan kira akan abadi itu ternyata bisa kandas juga. Renjun pun menantang keduanya pisah rumah selama setahun sebelum mereka resmi bercerai, tapi ... sebagai tetangga. Bisakah mereka hid...