18 Witing Tresno Jalaran Soko Kulino

272 6 4
                                    

Bu Idjem mau bicara padaku? Kira-kira, apa yang ingin dibicarakannya denganku?

"Iya bu, ada apa?"

"Nak Ros udah lama menjalin hubungan dengan Yus?" tanya bu Idjem.

"Iya kita temenan dari kuliah bu, tapi kalo jadian sih baru-baru ini."

"Ooh ... jadi udah lama temenan tapi akhirnya baru jadian belum lama ini?"

"He–he–he ... iyaa begitulah bu. Jujur saya ... sungguh sangat mencintai anak ibu ..."

"Aduh nak Ros baik sekali ... tapi, hmm begini nak Ros ... ibu tau mungkin nak Ros sudah beberapa waktu ini menjalin hubungan dengan Yus. Tapi bisa nggak, ibu minta hari ini juga ... nak Ros pergi tinggalkan anak saya."

Jdreerr ... aku langsung terkejut bukan main.

"Ini ... saya kasih kamu uang, tapi saya mohon ... tinggalkan anak saya. Karena anak saya sudah saya jodohkan dengan Siti. Kami semua ingin agar keluarga kami bersatu, nak Ros bisa mengerti kan." kata bu Idjem sambil menyerahkan padaku satu amplop penuh uang.

Aku tidak menghitung pasti, tapi isi amplop itu ada segepok tebal lembar ratus ribu. Coba tebak saja jumlahnya, sepuluh juta mungkin?

"Oh." aku hanya bisa mengucap sepatah kata itu saja—sangat singkat. Karena aku benar-benar speechless. Maksudku ... apa yang harus kulakukan sekarang? Ini ibu-nya Yus sendiri yang ngomong baik-baik, minta agar aku menjauhi anaknya supaya cita-cita keluarga mereka bisa terwujud. Mereka ingin melihat anak lelaki mereka menikah dengan gadis pilihan mereka, apalagi mereka sudah saling berasal dari keluarga yang sudah lama berteman sangat dekat.

Aku masih merasa shock dan limbung karena semua kejadian yang mendadak terjadi dengan begitu cepat ini.

Akan tetapi, kalau dipikir-pikir ... ya kan memang sudah seharusnya begini. Sudah kodratnya Yus berhak untuk jadian sama wanita asli. Bagus kan kalau akhirnya Yus punya jodoh—dan cewek tulen pula. Apalagi dia seorang gadis desa yang masih polos, lugu, jauh dari modernisasi, dan nggak kenal apa itu kata 'matre'. Mereka akan menikah, punya anak, dan keluarga mereka pun bahagia.

Kupandangi uang di tanganku. "Uang ini nggak perlu bu." ujarku seraya menyerahkan uang itu kembali pada bu Idjem.

"Oh, jangan, nak Ros harus terima uang ini." kata bu Idjem.

"Makasih banyak bu, tapi saya beneran nggak perlu koq. Karena justru selama ini kan saya yang udah banyak banget merepotkan Yusman."

"Wah, makasih banget ... ternyata nak Ros orang yang sangat pengertian." kata bu Idjem sambil menerima uangnya kembali.

"Jadi, ya ... sudah saatnya saya pergi kalau gitu." kataku.

"Iya, lebih baik nak Ros pergi sekarang sebelum bapak sama Yus pulang. Supaya semua tidak jadi masalah." kata bu Idjem.

"Ii—ya, baik bu. Benar juga yaa ... kalau pisahnya pas ada Yus kan ... wah, nanti jadi masalah panjang yaa, ha–ha–ha ..." ujarku sambil tertawa kecut.

"Sekali lagi, makasih pengertiannya nak Ros." sahut bu Idjem.

Gila! Aku masih bisa bicara dan tersenyum seperti ini, padahal isi dalam dadaku sudah sakit dan perih tersayat-sayat. Sebenarnya aku sudah ingin menangis, melolong, dan bahkan menjerit sekencang-kencangnya. Tapi hebatnya aku masih bisa menahan semua itu dengan mimik wajahku yang berakting pura-pura ceria.

"Apa perlu ibu bantu beres-beres barangnya?" kata bu Idjem.

"Nggak bu ... nggak perlu. Saya bisa sendiri, lagian barangnya juga nggak banyak koq."

TRANSGENDENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang