Before Meet

1 0 0
                                    

FINALLY BESOK AKHIRNYA KETEMU.

Maaf diawali dengan capslock soalnya benar-benar kangen banget sama dia. Energiku benar-benar habis dan aku butuh dia.

Hubungan kita sudah berjalan 4 bulan. Sangat lucu bahwasannya 2 bulan terakhir kita full ldr-an. Jujur ldr memang berat tapi kalau dilalui ya akan ada ujungnya. Syaratnya jika memang masing-masing tau arah jalan pulangnya. 

Entah. Aku bilang begitu mungkin karena jarak tempuh kita untuk bertemu dekat. Hanya menghabiskan waktu 1 jam saja kita sudah bertemu. Mungkin alasan itu yang membuat aku bisa berkata bahwa ldr tidak semenyeramkan itu. Atau karena aku menjalankannya dengan dia ya? Partner ldr kan juga mempengaruhi sulit tidaknya sebuah hubungan.

Tapi tetap saja, tidak ada jarak lebih baik daripada harus berjarak. Bahkan aku tidak berani menjamin bahwa jika suatu saat kita menjalani ldr dengan lebih berat, tidak bisa bertemu mendadak dan seenaknya saja, bertemu memerlukan biaya yang lebih besar bahkan bisa sampai jutaan atau bahkan harus menaiki pesawat terbang, tidak bisa selalu memberikan kabar karena terkendala sibuk atau bahkan sinyal. Membayangkan saja aku sudah menghela napas berat. 

Tapi apapun itu, jika suatu saat jalan itu yang harus aku tempuh, aku akan ambil. Akan aku pastikan bahwa aku akan selalu mendukung keputusannya, tidak menghalangi jalan masa depan untuk menggapai tujuan dan cita-citanya, dan akan selalu menunggunya untuk pulang. Tapi jika memang aku akan menjadi penghalang untuknya menggapai masa depannya, dipastikan bahwa aku akan menghilang darinya. Karena salah satu doaku adalah tidak ada orang jahat yang ada disekitarnya.

Sungguh aku tidak sabar bertemu dengannya. Pundaknya, tangannya, aromanya, perhatiannya, elusan tangannya di kepalaku. Aku merindukan semuanya. Aku ingin sekali memeluknya. Tapi aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukannya. Cukup peluk dia di dalam pikiranku saja, haha.

Omong-omong soal cerita ini, jujur agak kaget ketika membuka kembali ternyata pembaca sudah 60-an. Padahal terakhir aku buka masih sekitar 40-an. Ma pacar bilang bahwa dia tidak akan baper atau salting jika kata-katanya hanya lewat ketikan. Dia bahkan berkata bahwa, "Jika hadiahnya dikasih beserta dengan kata-kata, itu berarti aku salting karena hadiahnya. Bukan karena tulisannya," Jujur ketika mendengar pernyataannya itu, aku mulai ragu bahwa tulisanku ini bisa membuat dia bahagia, merasa spesial, dan mensyukuri di 21-nya karena telah merayakannya denganku.

Aku bahkan sudah siap jika dia hanya merespon dengan kata terima kasih tanpa ada nada senangnya atau hanya sebatas senang untuk formalitas saja. Tapi aku yakin, ketika aku mengalaminya secara langsung, aku mungkin akan merasakan kecewa, "Ahh, ternyata aku belum cukup membuatnya bahagia. Apa aku sudah membuatnya bahagia, Tuhan?

Bagaimana jika memang aku masih belum bisa membahagiakannya? Aku masih belum cukup untuk membahagiakannya.

Apakah dia bahagia denganku?

Apakah dia cukup jika hanya memiliki aku?

Apakah aku adalah salah satu hal yang dia syukuri?

Apakah aku bisa membuatnya bangga mempunyai aku?

Bagaimana jika bersamaku dia tidak sebahagia itu?

Bagaimana jika baiknya dia tidak bersamaku?

Tapi aku mau dia bersamaku saja, Tuhan.









Surabaya, 20 Februari 2024

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang