Selama LDR Part 1

4 0 0
                                    

Sudah lama aku tidak menulis. Ya karena sibuk tugas akhir, sibuk kesana kemari, sibuk kehidupan realitas pokoknya mah. Tentu saja tanpa dia. Dia sedang liburan di rumahnya dan ini sudah berlangsung selama satu bulan.

Sebenarnya sejak saya menulis ini, kemarin dia sudah balik lagi ke rumahnya. Yap, 2 hari yang lalu mas pacar ke kotaku dan kita menghabiskan waktu seharian. Aku benar-benar merindukannya.

Sebulan tanpa dia jujur agak terasa berat. Entah kenapa padahal dulu sebelum kedatangannya, aku bisa menghadapi semuanya sendiri. Tentu saja bersama gorila. Kalau benar-benar sendirian, jujur tidak bisa, hehe. Terima kasih tuhan sudah mengirim saya banyak manusia baik.

Setiap malam kita telepon. Aku minta maaf jika aku menceritakan kembali hal yang sudah saya ceritakan pada bab sebelumnya karena saya tidak membacanya.

Selama LDR-an juga kita sering kali bertengkar. Entah hal sepele karena aku ingin cari perhatian kepadanya, karena merindukannya, karena ingin bermanja-manja dengannya atau memang hal besar secara tidak sengaja tiba-tiba datang, hehe. 

Lucu bukan? Bertemu pun tidak, tapi masalah datang.

Jujur awal-awal pacaran bersamanya terkesan lucu, kaku, dan banyak yang perlu dipelajari dan dipahami. Masih ingat dengan jelas bagaimana kita bertengkar hebat karena sama-sama lelah. Masih ingat jelas bagaimana aku merasakan sakitnya saat perjalanan pulang. Aku tahu dia pun merasakan rasa bersalah yang juga tak kalah besarnya. Masing ingat bagaimana aku sama sekali tidak lelap dalam tidurku. Masih ingat ketika membuka handphone terlihat notifikasi darinya yang menumpuk. Tapi percayalah, rasa takut kehilangan dia karena aku memilih menyerah lebih besar daripada rasa marahku. Iya, sejak saat itu aku mulai takut untuk kehilangan dia.

Aku kira itu sudah usai. Aku kira saat kita LDR-an takkan ada lagi pertengkaran berarti selain rengekanku karena aku merindukannya. Ternyata salah besar. Disamping juga tentu saja banyak bahagia yang terjadi, ternyata sepaket sama permasalahannya juga.

Masih aku ingat bagaimana pagi-pagi mataku sembab karena habis menangis semalaman. Masih ingat bagaimana aku tidur jam 12 bangun jam 3 karena tidak nyenyak sama sekali. Bahkan kita berdua terlintas untuk memutuskan berpisah. Tapi sekali lagi aku katakan bahwa yang paling aku takutkan ialah kehilangan dia. 

Aku takut kehilangan dia, Tuhan. Maaf jika ini terlalu berlebihan.

Aku menyayanginya sampai aku sendiri terheran-heran bagaimana bisa aku sampai sejauh ini dengannya. Dengannya, aku tidak perlu takut bagaimana aku menampakkan diriku di hadapannya karena dia sudah melihat seluruh sisi tentang diriku. Kepadanya aku telah membicarakan semua hal.

Aku menyayanginya, Tuhan.

Tiada hari tanpa mengganggu dirinya. Semoga dia tidak lelah mengghadapi saya. Hahahaha, banyak semoga yang aku semogakan terhadapnya.

Maaf jika banyak mau, Tuhan.

Tapi saat LDR itu terjadi, yang selalu aku takutkan adalah dia bosan terhadapku, dia mulai terbiasa dengan ketidak hadiranku ddi sampingnya, perasaanku mulai tidak bisa dia rasakan jika hanya melalui chatting atau telepon. Bagaimana jika aku mulai tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan baik melalui chatting atau telepon. Bagaimana jika dia sudah tidak merasakan nyawa dan perasaanku lagi melalui tulisan atau kata yang aku tulis, ketik atau baca? Bagaimana jika saat berjauhan ada seseorang yang memberlakukannya dengan baik? Bagaimana jika posisiku sudah bukan lagi satu-satunya melainkan menjadi salah satunya atau bahkan dia menjadikanku sebagai pilihan?

Pikiran itu terus berdatangan tiap malam. Tentu saja aku menanyakan hal tersebut kepadanya. Tanpa bosa, dia terus menjawabnya dengan sabar. Tapi sabar manusia ada batasnya, bukan? Bagaimana jika sabarnya sudah diambang batas? Bagaimana jika dia mulai lelah dengan semua pikiran negatifku yang bahkan aku sendiri saja sudah lelah berusaha mengendalikan pemikiran negatif ini. 

Iya, hubungan LDR adalah salah satu hubungan yang ingin aku jalani. Ternyata memang berat. Sangat berat jika bukan dengan orang yang tepat. 

Dan ya, yang saya takutkan adalah aku bukan orang yang tepat itu untuknya. Kita tidak seimbang dan aku tidak bisa membuatnya nyaman dengan hubungan berjarak ini. 

Tuhan, aku tidak mau kehilangannya.

Aku bahagia bersamanya















Surabaya, 21 Januari 2024

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang