"Ayah! Sakit! Jangan pukul saya lagi!"
"Diam! kamu anak gak tau malu!! Sudah dibesarkan malah jadi pembangkang, IYA!?"
"Maaf ayah ... Maaf ... Ampun ...."
Azzah menangis seraya bersujud dengan keadaan babak belur di kaki ayahnya, meminta ampun dan pertolongan. Namun respon ayahnya? Acuh.
Pukulan dan cacian terus dilayangkan ayahnya pada Azzah tanpa peduli jika anaknya kenapa-kenapa, sungguh tega ia.
Tubuh Azzah yang telah berlumur darah itu dibiarkan tergelak dibawah tangga, Azzah terus memanggil-manggil ayahnya. Sedangkan ayahnya tampak tak peduli dengan keadaan putranya, Azzah bisa melihat dengan jelas wajah ayahnya yang menggeram marah. Ia hanya bisa tersenyum. Senyum tulus di mana seseorang bisa merasakan cinta yang teramat dalam dari Azzah, cinta untuk keluarganya.
Malampun tiba, Azzah benar-benar menutup matanya. Ia tak sadarkan diri.
Drrkk.. drrk...
Suara papan kayu dari tembok yang berusaha di buka, disana terdapat Reza yang berusaha menyelinap kedalam gudang dibawah rumah itu.
Ketika berhasil membuka papan kayu, tubuh Reza menjadi kaku. Ia melihat Azzah yang babak belur tanpa perlawanan, Reza menangis melihat keadaan babak belur dan berlumur darah sahabatnya itu.
"Aza! Aza! Bangun!" Reza berusaha membangunkan tubuh ringkih itu.
"Re ... Maaf ... Ya ... Azzah ... Azzah ... Udah gak kuat lagi re ...." Suara Azzah terhenti disana.
Reza kelimpungan, ia memangku tubuh Azzah dan membawanya keluar lewat lubang dari papan kayu yang tadi dia buat.
Dengan napas yang tersengal, Reza menggenggam erat pinggang Azzah yang lemah. Langkahnya terhuyung-huyung menembus keheningan malam yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara jangkrik dan langkah kakinya sendiri, hingga cahaya Puskesmas sudah terlihat dari kejauhan.
"Kita hampir sampai, saya mohon ... Tahan sedikit lagi," bisik Reza dengan suara yang penuh khawatir dengan air mata yang banjir .
Azzah, yang matanya yang setengah terpejam, hanya bisa mengangguk lemah. Luka dan lebam yang berlumur darah di tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Reza, meski tubuhnya juga penuh dengan luka akibat saudaranya, tetap berusaha menjadi pilar kekuatan bagi Azzah.
Akhirnya, setelah perjuangan yang terasa seperti selamanya, mereka berdua tiba di depan pintu Puskesmas. Reza dengan cepat menekan bel panggilan darurat, dan tak lama kemudian, beberapa petugas medis bergegas keluar, membawa tandu.
"Ghh Saya mohon ... Obati dia, saya mohon ..." Reza berkesimpuh karna tak mampu menahan berat tubuhnya, "Saya mohon, dia satu-satunya hal yang saya miliki." Kata Reza sambil menunduk, ia melihat sekilas pada Azzah yang sudah tidak sadarkan diri.
Petugas medis itu langsung bereaksi dan mengangkat Azzah ke atas tandu dan membawanya masuk ke dalam untuk mendapatkan pertolongan. Seorang petugas pria memangku Reza dan mengikuti di belakang.
• • •
Malam itu, langit Bandung tampak berbeda bagi Azzah dan Reza. Bintang-bintang bersinar lebih terang, seolah memberikan restu (?) untuk langkah baru yang mereka ambil. Mereka telah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah yang penuh dengan kenangan pahit dan memulai lembaran baru sebagai anak pelarian.
Azzah mengambil keputusan berat untuk berhenti dari sekolahnya setelah perdebatan sengit dengan Pak Nandang, sang kepala sekolah yang tidak mengerti situasi yang dihadapi Azzah. Reza pun menghadapi pertengkaran hebat yang berujung pada baku hantam dengan saudaranya. Keduanya merasa tidak ada lagi tempat di rumah yang dulu mereka sebut 'rumah'.
Di kontrakan kecil yang mereka sewa di pinggiran kota garut, Azzah dan Reza memulai kehidupan baru. Azzah dan Reza mendaftar di sekolah yang lebih dekat dengan kontrakan mereka, sebuah sekolah sederhana namun nyaman dengan murid-muridnya yang bertutur kata lembut dan pakaian yang masih dapat dibilang tertutup. Reza, di sisi lain, menghabiskan hari-harinya mencari pekerjaan sambil menjaga Azzah.
Akhirnya mereka menemukan pekerjaan sederhana, syukurnya manager Alfamart itu baik hingga mereka dapat bekerja di Alfamart itu, dengan bergantian kerja shift. Bekerja sebagai pegawai toko bukanlah pekerjaan impian bagi banyak orang, tetapi bagi Azzah dan Reza, itu adalah simbol dari kemandirian dan keberanian mereka untuk bertahan hidup. Setiap senyum pelanggan, setiap ucapan terima kasih, menjadi pengingat bahwa mereka telah membuat pilihan yang tepat.
Di antara rak-rak dan lorong-lorong Alfamart, mereka belajar tentang kehidupan, tentang bekerja keras, dan tentang arti sebuah komunitas. Mereka tidak memiliki banyak, tetapi mereka memiliki satu sama lain, dan itu lebih dari cukup.
Dan begitulah, Azzah dan Reza menulis cerita mereka sendiri. Mereka hanya dua orang dengan cerita tentang dua anak pelarian yang menemukan cinta, harapan.
Namun malam ini, Reza merasa ada yang aneh dengan Azzah. Biasanya mereka hanya makan seadanya, kini? Azzah memasak rendang dengan daging sapi yang melimpah, nasi harum pandan dan teh hangat yang mengiringi. Malam Minggu dan Sabtu memang jatah libur mereka, tapi ... Ini tetap terasa aneh bagi Reza.
Dari sore Azzah bahkan belum keluar kamar mandi, membuat Reza semakin khawatir saja.
"Aza! Kamu gak papa di dalam?"
Dek.. bug!
Azzah mendorong tubuh Reza hingga ia duduk di tasa pangkuan nan perut berotot belum terbentuk milik Reza, "Re ...." Azzah tersenyum nakal. "Tidakkah disini ingin di bebaskan?"
Reza melihat kepunyaannya yang berdiri, sungguh malu ia. Namun ketika melihat pakaian yang dikenakan Azzah, ia tak dapat lepas dari sana.
Azzah tersenyum geli, sungguh, lucu sekali Reza ini. Tangan kirinya mengelus lembut jakun menonjol milik Reza, sengaja tidak benar-benar menyentuhnya membuat rahang Reza menegas.
"Aza, apa yang akan anda lakukan?"
"Anda sedari tadi melihat tubuh saya, dengan sangat genit. Lantas anda bertanya apa yang akan saya lakukan?"
Reza terdiam lalu menyambar-
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Gabriel Von Hundberd || TRANSMIGRASI || Crt Ke 1 || HIATUS
Teen FictionDijadikan bungsu kesayangan ✖️ Dijadikan Ibu dadakan ✔️ [OPEN SEASON 2!] [Oh, alur cerita ini begitu lambat ... Dan kisah di mulai pada bab 3, bab 1-2 masih terbilang kisah anak kecil yaitu Angga. Kalian bisa langsung baca 2 Chapter sebelum Bab 3 {M...