9. Obrolan Tentang Masalalu

3.2K 253 6
                                    

"Haruskah aku bilang kepadamu jika aku membencimu, Pradana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Haruskah aku bilang kepadamu jika aku membencimu, Pradana?"


Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin berbicara dengannya, tapi entah kenapa aku sangat ingin menegaskan kepadanya betapa aku tidak membencinya. Sangat benci hingga satu udara dengannya terasa sangat memuakkan.


"Wajahmu setiap kali melihatku sudah cukup menggambarkan betapa kamu membenciku, Liliana. Jadi tidak usah kamu ulang untuk kesejuta kalinya, lagipula sama seperti kamu yang membenciku, aku pun juga tidak menyukai orang sombong yang tidak tahu diri sepertimu."


Orang sombong, panggilan tersebut membuatku mengernyit tidak suka. "Bisa-bisanya orang songong ngomong perihal sombong, astaga Pradana, apa kamu tidak memiliki kaca? Kesombonganku hanya secuil kesongonganmu yang memuakkan!"


"Jika aku yang menyombongkan diri, itu sah-sah saja dan pantas aku lakukan. Lagipula, yang kamu sebut sombong dariku adalah hal yang wajar, sementara kamu....." pria dengan mata hitam seperti orang mati tersebut melirikku dengan pandangan meremehkan, dilihatnya dari atas kebawah yang berakhir dengan seringai menyebalkan penuh ejekan, "astaga Liliana, kamu bukan lagi siswa SMA yang seringkali dijuluki Princess oleh teman-teman, tidak ada yang tersisa di dirimu selain fakta menggelikan jika nilaimu lebih unggul dariku. Lihatlah orang-orang yang kamu sebut teman, yang menempelimu setiap ke kantin, yang selalu mengerubutimu saat tugas, yang selalu menodong traktiran darimu saat mereka ulang tahun, apa ada satu dari mereka yang menolongmu saat kamu jatuh dan menjadi gembel seperti ini? Jika ada sebutkan, aku ingin tahu siapa orang baik yang masih membuatmu memelihara sifat sombongmu itu."


Kalimat yang diucapkan oleh Pradana menamparku, mencekikku dengan kenyataan betapa palsunya pertemanan yang dulu aku agung-agungkan, sama seperti uang mereka juga menghilang pergi saat orangtuaku bangkrut, jangankan memberi pertolongan, dalam sekejap mereka kompak tidak bisa aku hubungi sama sekali, padahal yang aku inginkan dari mereka hanya sekedar bercerita tentang sedihnya aku kehilangan orangtuaku secara bersamaan dengan cara yang sangat tragis. Dari ratusan orang mungkin hanya tersisa tiga orang yang masih berhubungan baik denganku.


Dan untuk hal ini aku bisa membalikkan cibiran dari Pradana yang memuakkan barusan.


"Tahu apa kamu Dan soal pertemanan dan hubunganku, apa kamu harus bertemu dengan Gilang, Amal, dan juga Sissy agar mereka membungkam mulut sombongmu itu? Bukankah wajar pertemanan akan semakin menyempit seiring bertambahnya usia."


"Gilang mantanmu yang tukang iri itu? Yang selalu ngambek setiap kali melihatmu unggul dalam setiap hal dikelas karena merasa jengkel dikalahkan oleh pacarnya sendiri? Astaga Liliana, akh tahu kalau kamu ini naif, tapi kadar naifmu sampai masih bisa bertahan berteman dengan makhluk menggelikan sepertinya benar-benar luar biasa! Kalau boleh tahu kenapa kalian dulu putus? Seharusnya kalian cocok, yang satu sok pintar, yang satu begonya nggak ketulungan. Saling melengkapi gitu."


Mendengar pertanyaan dari Pradana sontak saja aku meringis ngeri bercampur dengan geli. Jangankan Pradana, aku pun heran kenapa dulu aku bisa berpacaran dengan Gilang. Gilang, dia laki-laki yang baik dari dulu sampai sekarang meskipun harus aku akui jika dia memang menyebalkan, berbeda dengan Amal dan juga Pradana yang pandai di akademis dan olahraga, satu-satunya yang membuat Gilang menonjol adalah dia yang merupakan anak band, pria itu pintar menyanyi, sekaligus seorang gitaris, bohong jika aku tidak tertarik secara penampilan, tapi lebih dari penampilannya, aku menyukai selera humornya yang membuatku selalu tertawa karena meskipun secara perbincangan aku lebih cocok dengan Amal karena Amal juga seorang yang serius dalam pelajaran, Amal begitu sibuk berpacaran dengan Sissy yang tidak lain adalah sepupu Gilang.


Berbeda dengan hubunganku dan Gilang yang tidak berhasil, Sissy dan Amal menikah dan sudah memiliki dua orang anak. Hal yang sama pun terjadi pada Gilang. Usai putus denganku Gilang menjalin hubungan dengan Arsinta, salah satu cheerleader tim basket dan kini mereka sudah menikah serta memiliki satu orang anak.


Mengingat semua hal tersebut membuatku melemparkan senyuman masam ke arah Pradana, bisa-bisanya kami membicarakan masalah percintaanku yang menyedihkan di dalam mobilnya.

"Harus banget aku cerita alasan putus kami ke kamu, Dan? Penasaran banget kamu, hah?"


Untuk pertama kalinya setelah banyak perbincangan diantara kami dipenuhi kesopanan formalitas dan ejekan yang sangat tidak dewasa, baru kali ini kami berbicara secara normal, yang aku pikir-pikir tidak terlalu buruk juga usai menyingkirkan kekesalan atas sarkasme dan nada ejekan Pradana yang seolah menjadi template.


"Kalau mau cerita aku dengerin, tapi kalau nggak mau jawab ya sudah, lagipula, aku sama sekali tidak berminat dengan kisah cintamu dan si Curut Gilang, tapi harus aku katakan jika bagian terbaiknya adalah keputusanmu untuk putus. Bersama dengan pria yang insecure dengan kemampuan wanitanya yang jauh diatas dirinya adalah hal yang buruk."


Kadang aku saja lupa jika aku pernah berpacaran dengan Gilang, tapi Pradana, laki-laki yang dulunya setiap saat hanya sibuk berebut tempat denganku, dan nyaris tidak pernah bertemu kembali sebelum 8 bulan yang lalu justru mengingatnya, aku benar-benar tercabik diantara geli dan gemas meski harus aku akui jika kalimatnya tentang rasa insecure seornag pria adalah alasan yang membuatku merasa untuk menjadi teman saja dibandingkan pasangan.


"Nggak peduli tapi kepo...." Desisku pelan sembari mencibirnya, persis seperti caranya menggerakkan bibirnya untuk mengejekku. "Sudahlah, tidak perlu membahas kisah cintaku yang pasti tidak akan semenarik kisahmu dengan sederetan mantan pacarmu, sekarang katakan, apa yang ingin kamu bicarakan denganku, tujuanmu nganterin aku pulang karena kamu ada hal yang perlu kamu bicarakan, kan?"


Pradana mengangguk setuju, aku sudah memegang keranjang buah dipangkuanku ini dengan erat dan bersiap mendengar apapun yang hendak Pradana katakan, tapi rupanya aku terlalu fokus pada Pradana sampai aku terkejut setengah mati saat Pradana berteriak tiba-tiba saat menunjuk sebuah nama gang tempat dia memberhentikan mobilnya tiba-tiba.


"Demi Tuhan Li, jangan bilang kalau ini gang ke kontrakanmu...."

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang