12. Meminta Bayaran

3.5K 360 18
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HolllaaaaaKetemu lagi sama Lili dan Mas Dana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaa
Ketemu lagi sama Lili dan Mas Dana

"Kamu harus membayarku mahal, Liliana Soedibjo!"

Ucapan dari Pradana tersebut membuatku termangu, untuk beberapa saat aku terpana dengan kehadirannya yang seperti superhero hingga aku lupa jika Pradana tetaplah Pradana, manusia perhitungan yang culasnya minta ampun. Dia memiliki sejuta cara untuk menikmati kelemahan lawannya.

Dengan penuh ketidaksukaan aku masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan minimarket , membicarakan hal seperti ini dijalan sama sekali bukan hal bijak, apalagi setelah drama Pradana yang mengaku-aku calon suamiku. Dan rupanya untuk hal ini kita satu pemikiran, tak lama setelah aku masuk, pria ini pun menyusulku, terlalu banyak hal yang ingin aku katakan kepadanya hingga nafasku terengah-engah, itu sebabnya saat Pradana menyorongkan botol air mineral, aku langsung menenggaknya dan meminum hampir setengahnya.

Bukan hanya untuk menenangkan diriku, tapi selama minum aku juga perlu menyadarkan diri jika huru-hara yang terjadi sebelumnya adalah sebuah kenyataan termasuk sandiwara gila Pradana yang benar-benar diluar ekspetasiku, sandiwara yang mengesankan dan kini meminta sebuah pembayaran.

"Bayaran? Astaga Pradana, ternyata kaya membuatmu semakin culas. Aku bahkan tidak memintamu untuk melakukan semua hal gila tadi. Itu sama saja seperti kamu mencekokiku makanan yang tidak aku inginkan, dan saat akhirnya aku muntah kekenyangan, kamu justru menagihku. Ternyata selain sombong, kamu juga perhitungan, keji dan menyebalkan!"

Sederet makian aku berikan kepadanya, jika bisa aku ingin sekali menyembur wajah menyebalkan itu dengan air minum biar jin Ifrit yang ada di dalam tubuhnya minggat sekalian.

"Hal-hal yang kamu sebut gila barusan adalah hal yang berhasil membungkam mereka yang telah menghinamu, Liliana. Aku harus mengingatkanmu akan hal itu."  Jika sebelumnya Pradana tampak sangat hangat seolah-olah dia benar-benar mencintaiku, kini dia sudah sepenuhnya kembali pada Pradana mode setan yang tidak akan segan balik memakiku. "Aku benar-benar heran, di Jakarta yang super luas ini nggak bisa apa kamu nyari tempat tinggal yang lebih layak? Sudah kumuh, kotor, jelek, lingkungan para B4jingan pula. Syukur nggak diperkosa kamu hah sama tuh manusia Dajjal!"

"Kamu enak ngomong kayak gini karena kamu punya pilihan mau tinggal dimana, Pradana! Tapi coba lihat posisiku. Untuk orang yang pas-pasan, menurutmu aku bisa memilih, hah? Kamu pikir aku nggak pengen hidup di lingkungan aman dan nyaman? Aku pengen tapi aku nggak bisa!"

Tidak mau kalah dengan bentakannya, aku membentaknya balik, rasanya sangat menyebalkan saat kesulitanku justru diragukan seolah itu hanya sebuah akal-akalanku untuk meraih simpatinya. Rasanya pahit sekali setiap kali membicarakan ketidakberdayaanku.

"Selama ini aku berusaha keras agar tetap hidup normal. Dalam sekejap hidupku berubah, dari hidup nyaman menjadi terlantar tanpa orangtua, kamu kira aku kurang berusaha, Dan? Tanya saja seluruh Jakarta, perusahaan mana yang tidak aku lamar, semuanya menolakku karena kurang pengalaman, dan ijazah terlalu tinggi untuk sebuah pekerjaan kasar. Kamu nggak tahu kesulitan yang aku alami karena kamu tidak ada di posisiku."

Tidak ingin menangis dihadapannya aku menangkupkan telapak tanganku ke wajahku, menghalau air mata yang siap jatuh dengan sangat memalukan.

"Jika boleh memilih, aku juga tidak mau hidup ditempat yang banyak nyamuknya, yang bau got setiap aku bangun, yang selalu bocor setiap hujan, tapi aku nggak punya pilihan Dan. Liliana yang ada disampingmu bukan Liliana yang kamu kenal dulu, Liliana yang kamu tahu sudah mati ikut terkubur orangtuanya. Jangankan untuk tidur nyenyak, setiap kali aku pulang dari bar, aku selalu takut berjalan sendirian. Kamu pikir aku tidak memikirkan pemerkosaan? Pelecehan verbal adalah makanan sehari-hariku, pemerkosaan adalah kekhawatiranku setiap waktu."

Menyedihkan? Ya, mungkin lebih dari kata menyedihkan. Aku bahkan sampai tidak berani untuk mengangkat wajahku yang pasti sangat buruk dengan segala emosiku yang melandaku. Aku sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat menyakitkan lainnya, namun rupanya Pradana memberiku kesempatan untuk meratapi hidupku. Terdengar suara hela nafas panjang yang begitu berat dari sampingku bersamaan dengan suara mobil yang kembali menyala.

Aku merasakan mobil ini mundur sebelum akhirnya melaju pergi, saat itulah aku baru membuka mataku, jalanan ramai nan padat menjadi perhatianku karena aku tidak ingin menatap ke arah Pradana. Dibandingkan berdebat dengannya aku harus berpikir keras dimana aku akan tinggal malam ini, selain pakaian yang melekat di tubuhku, aku sudah tidak ada baju ganti. Mungkin malam akan tidur di Club saja sekalian, baru besok aku mengambil semua barang-barangku
Semua hal yang sudah rumit semakin rumit karena aku pasti akan mengeluarkan budget besar untuk tempat baru, dan opsi urgent terakhir adalah meminjam hutang ke Club.

"Bisa tolong anterin ke Opal 90's, Dan? Aku harus bekerja." Dengan lemas aku meminta tolong kepada Pradana, berharap jika pria ini berbaik hati sudi menolongku  untuk mengantar sampai ke tempat kerjaku, tapi bukannya kata iya yang aku dapatkan, dia justru melotot ke arahku saking kagetnya.

"Li, berhentilah membuatku terkena serangan jantung! Tolong jangan bilang kalau siang mengajar, dan malem kamu kerja di Bar?!"

Aku yang sudah bisa menguasai emosiku seketika mengangkat bahuku dengan acuh sembari menatapnya yang melihatku penuh kengerian. "Apa salahnya?" Jawabku acuh, "Aku hanya menjadi pelayan, bukan pelacur. Jika kamu merasa dengan pekerjaan keduaku aku tidak pantas mengajar Saka, tidak apa-apa, aku terima. Aku akan mengundurkan diri."

"Pantas saja orang-orang di sekelilingmu berpikiran negatif tentangmu, Liliana. Seharusnya kamu tidak bekerja disana...."

"Aku tidak peduli dengan apapun omong kosong orang-orang disekelilingku, Pradana." Kembali suasana yang beberapa detik lalu sempat dingin kini kembali memanas. Geram kali rasanya aku setiap kali mendengar Pradana membuka mulutnya. "Termasuk omonganmu barusan, semua hal itu tidak membuatku kenyang dan bisa membuatku berteduh dengan layak. Asal kamu tahu, bahkan malam ini sampai aku bisa mendapatkan tempat yang layak, aku memang berencana untuk tidur di Club tersebut. Jadi diamlah, aku tidak ingin mendengar apapun darimu."

Aku membuang muka, tidak ingin lagi menatapnya, dan sudah tidak ingin membicarakan apapun dengannya. Bagiku percakapan sudah final, aku lelah berbicara dengannya yang hanya melihat dunia hanya dari sisi indahnya, sayangnya niatku untuk mengacuhkan Pradana harus menghilang karena bukannya menuju Jakarta Selatan, Pradana justru putar balik kembali ke arah rumahnya.

"Ayolah Dan, jangan menjadi seornag yang menyebalkan. Aku harus bekerja, kalau kamu nggak bisa nganterin, biar aku turun disini. Aku sudah kehilangan tempat tinggal, dan aku juga nggak mau kehilangan pekerjaan."

Kali ini aku sudah tidak berteriak lagi kepadanya, dibandingkan berteriak, aku lebih mirip memohon sepertinya, namun Pradana tetaplah Pradana, pria itu bisa menjadi sangat menyebalkan jika dia menginginkannya.

"Tidak, aku punya ide yang lebih oke. Daripada kamu bekerja di Club dengan potensi di'bungkus' oleh salah satu pelangganmu yang gila, lebih baik kamu bekerja denganku."

"Bekerja denganmu? Noway!! Sudah cukup aku mengajar Saka daripada harus berurusan denganmu yang membuatku darah tinggi."

"Percayalah, kamu akan menerimanya karena aku akan membayarmu dengan sangat mahal."

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang