23. Batas Waktu

3.4K 355 25
                                    

"Meskipun kontrak, tapi tetap saja itu pernikahan, Liliana. Selama kamu terikat, aku ingin kamu dihormati seperti yang seharusnya."

Kami berdua saling berhadapan, kekeuh satu sama lain dalam mempertahankan argumen kami masing-masing, terlalu sibuk mendebat Pradana membuatku lupa dengan kehadiran Amal, baru saat akhirnya Amal menarikku untuk duduk, aku tersadar jika kepalaku terlalu panas untuk berdiskusi. Jika seperti ini terus semuanya tidak akan selesai, dan buruknya adalah aku mulai lelah dengan pertikaian ini.

"Bisakah kalian duduk? Kalau tidak keberatan, biarkan aku yang berbicara."

Aku mendongak, menatap Pradana yang diperintah oleh Amal, aku kira Pradana akan menolaknya tapi pria itu menurut dan duduk di sebelahku sementara Amal duduk dihadapan kami. Papanya Ravi dan Rara tersebut melihat kembali lembar yang dibawa oleh Pradana sebelum akhirnya dia menatap kami dengan serius.

"Oke kalau begitu aku mulai, yang pertama kalian berdua harus sepakat untuk menerima pernikahan ini. Pradana yang meminta tentu saja dia sudah setuju, lantas bagaimana denganmu, Li?"

Aku menoleh ke arah Pradana dan Amal bergantian, hatiku menolak dengan keras tapi logikaku memperingatkan jika aku membutuhkan semua yang ditawarkan Pradana untuk tetap hidup.

"Baiklah, aku setuju, tapi tolong, rubah nominal-nominal angka itu. Itu terlalu mengerikan, Mal. Aku mengatakan ini bukan karena aku sok baik, tapi aku merasa tidak nyaman."

Kembali aku mengeluarkan keluhanku, tapi Pradana langsung menatapku dengan kejam. "Nominal itu adalah minimum, Liliana. Jika kamu berani mengeluh aku akan memberimu dua kali lipat...."

Pradana dan kesombongannya. Aku sudah berniat untuk menjawabnya namun Amal menggeleng keras memintaku untuk tidak bersuara. "Li, Pradana benar. Jika kamu mendapatkan uang belanja dari Pradana lebih rendah dari mantan istrinya, hakim mungkin akan mengira jika Pradana tidak mencintaimu. Uang belanja bukan tentang nominalnya saja, Li, tapi itu juga harga diri seorang pria dalam menjaga wanitanya. Maaf, tapi kali ini aku sepakat dengan Pradana. 10 juta perbulan, minimal. Dan itu selain gaji lo sebagai tentara, kan?Benar seperti itu, Dan?"

"Yap, betul. Nggak gue sangka kalau lo pinter sekarnag, Indrawan!" Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perkenalan Pradana dan Amal keduanya begitu kompak dalam pemikiran, seulas senyum penuh kemenangan yang menyebalkan terlihat diwajah Pradana saat menatapku yang membuatku reflek langsung mencubit lengannya dengan jengkel, yang membuatnya langsung meringis.

"Baek-baek dinikmatin Prad, cubitan Lili emang ajib nggak ketulungan. Itung latihan sebelum kawin tinggal berdua." Amal yang melihat luapan kekesalanku kepada Pradana terkekeh, namun Amal cukup waras untuk tidak menegurku, jika Amal berani menegurku maka aku juga tidak akan segan untuk memberikan cubitan yang sama pedasnya kepadanya. "Buat lo Li, tolong nggak usah lo pikirin nominal uang belanja yang dikasih Pradana kayak itu sebuah masalah besar. Banyakin bersyukur aja deh, walaupun di angkatan kita lo kawin paling akhir seenggaknya lo dapat Perwira yang berasal dari keluarga konglomerat! Itu poin plus karena seharusnya para abdinegara nggak boleh berbisnis secara langsung."

Aku merengut pelan, kesal karena merasa Amal justru berat sebelah kepada Pradana, tapi pada akhirnya aku mengangguk, "aku nggak akan gunain uang itu kalau nggak kepepet."

Dengan sombongnya Pradana mengangkat bahunya, "terserah, yang penting aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai suamimu. Tapi harus kamu ingat Li, kamu tidak boleh mempermalukanku, berpakaianlah yang layak dan pantas sebagai seorang istri Komandan Kompi. Yah, untuk hal ini aku tidak perlu sebenarnya memperingatkanmu karena sudah pasti orangtuamu dulu lebih dari cukup mengajarimu tentang tata krama, baik dalam bersikap atau berpenampilan."

Aku mengangguk, untuk hal ini aku sama sekali tidak memiliki masalah. Pada akhirnya aku tidak diberi kesempatan oleh Pradana untuk membantunya dengan cara lainnya, dengan segala paksaan dan kediktaktorannya dia justru meyakinkanku untuk menikah dengannya. Tentang masalah hak dan kewajiban sudah selesai, tapi itu bukan berarti diskusi kami berakhir karena aku harus menegaskan satu hal yang paling penting.

"Yah, aku akan menjadi istrimu sebaik mungkin, kamu bisa percaya aku tidak akan mengecewakanmu, Dan." Aku menjawab dengan mantap dna penuh keyakinan, "tapi aku juga perlu penegasan, berapa lama hubungan kontrak ini mengikat kita? Aku tidak bisa jika harus menunggu Monica sampai menikah dan memiliki keluarga sendiri seperti yang kamu katakan kemarin. Itu, terlalu lama untukku, aku perlu kepastian

Amal yang sebelumnya fokus pada coretan yang dibawanya kini juga turut menatap ke arah Pradana, sosoknya yang dalam mode seorang pengacara kini turut angkat bicara menengahi, "dalam kontrak harus ada tenggat waktu Pradana, kamu tidak bisa menahan Liliana dalam jangka waktu yang tidak pasti, jika menunggu mantan istrimu menikah, bisa jadi dalam enam bulan atau justru enam tahun kemudian. Wanita berbeda dengan laki-laki dan aku sangat paham dengan kekhawatiran Liliana."

Pradana tampak berpikir keras, sudah pasti dia keberatan dengan tenggat waktu yang aku minta usai banyak hal yang dia berikan. Dia ingin merantaiku selama yang dia butuhkan. Aku sempat mengira jika Pradana akan mendebat dengan hitung-hitungan nominal fantastis yang dia keluarkan, tapi sepertinya Pradana menghargaiku yang mau mengalah kepadanya.

"Kalau begitu buat tenggat waktunya sampai kamu menemukan pria yang kamu cintai. Tidak perlu menunggu Monica menikah, jika kamu sudah menemukan pria yang tepat yang mencintaimu, aku akan melepaskanmu. Itu batas waktunya, tapi jika tidak, aku tidak akan melepaskanmu, aku tidak bisa membuat Saka kecewa saat akhirnya dia bisa menerimamu sebagai ibu sambungnya."

Baik aku maupun Amal kami berdua reflek saling menatap tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Pradana, aku merasa aku seperti salah mendengar namun Pradana yang sudah bangkit kembali membuatku sadar jika semua yang dia katakan bukan halusinasiku.

Pradana berdiri, dia merasa sudah final dengan keputusannya hingga dia bisa pergi begitu saja, namun aku dengan cepat menahannya, dan yah setelah sandiwara kemarin, ini kali pertama aku menyentuhnya, benar-benar menahannya hingga aku yakin Pradana tidak pergi saat aku melepaskannya.

"Dua tahun, batas pasti diantara kita, dan aku berjanji aku tidak akan mengurangi kasih sayangku kepada Saka. Tanpa segala hal sialan ini aku tetap menyayangi putramu."

Bersama dengan Pradana tanpa batas waktu yang ditentukan sampai aku menemukan pria yang mencintai dan aku cintai, entah kenapa terdengar begitu menyedihkan, tapi yang paling menakutkan untukku adalah kenyataan bagaimana jika selamanya aku terjebak dengannya dan jatuh cinta sendirian sementara Pradana hanya menganggapku sebagai bentuk tanggal jawab tanpa perasaan, sekedar rasa iba dan simpati karena aku menyayangi putranya.

Pradana melepaskan tanganku yang ada di lengannya, tatapannya tidak terbaca, dan lebih dari sekedar kesombongan, Pradana justru tampak lebih marah dari sebelumnya.

"Terserah, tulis sesuka hatimu. Perasaanmu sama sekali tidak penting untukku, Liliana. Bagiku hak asuh Saka lebih penting dari segalanya, kamu menginginkan hal itu, oke kamu mendapatkannya, tapi secepatnya kita harus segera menikah. Semakin cepat masalah ini beres, semakin baik."

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang