19. Calon Ibu Komandan

3.4K 364 19
                                    

Pradana memang gila. Benar-benar gila hingga rasanya mengumpatnya saja tidak cukup untuk meluapkan kekesalanku kepadanya. Dia berkata dia memberiku waktu untuk berpikir, namun rupanya Pradana adalah sosok diktaktor yang saat berbicara A, maka A-lah yang harus dijalankan.

Seperti pagi ini, baru saja aku membuka mata saat suara gaduh-gaduh terdengar dadi satu mobil pickup datang menurunkan barang-barangku, dan yang membuatku meradang adalah sosok-sosok dengan kaos hijau lumut yang mengerjakannya.

Mereka semua sibuk membongkar dan menurunkan barang-barangku yang dikemas dengan rapi, membuatku sempat ternganga bagaimana bisa Pradana meminta anggotanya yang melakukannya, apakah ini tidak menyalahi aturan dan menyalahkan gunakan kekuasaan yang dia miliki? Apalagi saat semuanya sudah selesai di pagi ini, aku berpikir mungkin mereka melakukannya sejak subuh. Aku khawatir apa yang dilakukan Pradana ini akan membuat pria arogan itu akan menjadi masalah untuknya.

Astaga, apa aku baru saja mengkhawatirkannya? Menyadari hal menggelikan ini membuatku menggigit bibirku sendiri, merutuk hal yang tidak seharusnya aku lakukan, terlebih saat para pria muda yang aku yakini mungkin awal dua puluhan ini, tipe-tipe prajurit yang baru saja masuk Batalyon, seketika berdiri tegak di hadapanku, senyuman ramah tersungging di bibir mereka seolah menungguku menyapa.

Aku hanya bisa tersenyum kikuk, bingung bagaimana aku harus menyapa mengingat aku nyaris tidak mengenal para orang-orang yang ada di lingkungan militer, bahkan aku tidak tahu apa beda baret satu sama lain dan perbedaan lambang merah, kuning, dan emas, pengetahuanku tentang dunia Pradana benar-benar nol, untuk pertama kalinya aku merasa sangat bodoh.

"Apa suara kami mengganggu, Bu?"

Bu? Astaga, rasanya aku ingin berteriak karena panggilan yang membuatku merasa lebih tua 10 tahun dari yang seharusnya, aku ingin memperingatkan mereka agar tidak memanggil 'Ibu' namun aku juga tahu itu adalah bagian dari kesopanan mereka terhadap Pradana.

"Tidak, hanya saja, apa Mas Dana yang meminta kalian melakukan pekerjaan pribadi ini!" Astaga demi Tuhan, rasanya aku ingin menggigit lidahku sendiri hingga nyaris putus saat aku harus memanggil Pradana dengan sebutan Mas, iyuuuuhhhh, jika pria itu mendengarnya mungkin kepalanya akan membesar seukuran semangka jumbo. Dan hal terakhir yang aku inginkan adalah seringai penuh kemenangan darinya.

Laki-laki yang ada dihadapanku ini tersenyum kecil, sepertinya dia salah mengartikan kegugupanku. "Tenang saja Bu, Komandan nggak nyuruh kita buat korve, kami dengan senang hati membantu calon istri beliau untuk pindahan. Sejujurnya, kami semua senang beliau akhirnya akan menikah."

Gusti, tolong. Terkutuklah Pradana yang main seenaknya seakan aku sudah sepakat dengan tawaran gilanya tentang pernikahan, demi apapun, aku belum setuju. Dan mungkin aku juga tidak akan setuju, tapi dengan kesadaran penuh aku juga sadar jika aku mencak-mencak terhadap anggota Pradana itu pasti akan melukai harga diri si sombong. Mengingat kondisiku sekarang dan juga dendam masalalu Pradana, membuat masalah dengannnya hanya akan memperumit keadaan, itu sebabnya aku hanya tersenyum semakin canggung saat mendengar jawaban yang diberikan salah satu anggotanya.

"Kalau begitu saya bikinin minum sebentar ya..."

Aaah, jika sudah seperti ini, aku benar-benar seperti Nyonya rumah, apalagi saat para laki-laki berkaos hijau ini juga menambahkan.

"Sama gorengan juga nggak nolak, Bu."

Pradana dan anggotanya, wajah mereka sama-sama garang tapi sisi menyebalkan mereka masih begitu utuh.

"Baiklah, coba saya lihat dulu ke belakang." Ucapku sambil berlalu menuju ke dapur dimana semalam Pradana mengambilkanku minuman. Rupanya di dapur Mbak Yah sudah mengerjakan semuanya, teh manis berderet 4 gelas dan dia tengah menggoreng bala-bala, tentu saja aku tersenyum melihat kecekatannya, melihat Mbak Yah sibuk aku lebih memilih untuk menyapa Alisa terlebih dahulu yang tengah sarapan nasi dan telur ceplok, khas anak-anak sekali.

"Alisa kok pinter amat sih sudah siap sekolah jam segini?!"

Alisa mengangguk pelan, senyuman malu-malu terlihat di wajahnya saat aku mengusap pipinya. "Biar nggak ketinggalan Bis, Non."

Kembali aku menggigit bibirku pelan, terbiasa hanya dipanggil nama dan sekarang semuanya memanggilku Non, Nyonya, Ibu, rasanya aneh sekali, padahal jika diingat-ingat dulu asisten rumah tangga dirumah juga memanggilku seperti ini, rupanya berputarnya roda kehidupanku membuatku banyak berubah.

"Alisa, bisa nggak kalau Alisa manggil saya jangan Non atau Nyonya." Takut-takut aku bertanya kepadanya, khawatir jika ada kalimatku yang akan menyinggungnya namun gadis kecil ini berkedip pelan sebelum akhirnya dia menatap ke arah Ibunya yang sibuk dibalik wajan.

"Kalau begitu manggilnya Bunda Saka saja boleh?!"
Waaaaahhhh, ya emang sih sudah nggak manggil Nyonya atau Non lagi, tapi bisa nggak sih Alisa manggil aku Mbak Lili, atau Miss Lili saja? Jangan malah Bundanya Saka?! Kenapa Pradana, dan orang-orang yang ada di sekitarnya benar-benar serius dengan penawaran nikah kontrak sialan itu? "Kan Non Lili mau jadi Bundanya Bang Saka, kan?"

Astaga, rasa frustrasi ini mengurungku hingga membuatku mengerang kesal, ingin marah tapi manusia yang membuatku jengkel tidak ada, kuraup wajahku yang masih kusut ini dengan kasar berharap jika bisa mengurangi sedikit kekesalannya, namun semuanya tidak berubah. Aku masih ada disini, dalam posisi si Miskin yang berada di jalan buntu dengan seornag yang penuh kuasa menawarkan sebuah kemudahan untuk menemukan jalan yang terang.

"Non Lili, saya antar minuman ke depan dulu ya, Non."

Mendapati Mbak Yah meminta izin untuk mengantarkan minuman dan makanan untuk para anggota Pradana aku hanya mengangguk lemah, aku kira aku akan senang saat kehidupan lamaku yang serba terlayani kembali, tapi rupanya aku justru merasa ada yang keliru dengan semua hal ini. Rasanya aku seperti kehilangan kendali dan pilihan atas diriku sendiri, semuanya seperti sudah ditentukan sementara aku hanya boneka yang tinggal manut saat digerakkan.

Lama aku merenung dengan perubahan hidupku yang terasa begitu drastis ini sembari memandang Alisa yang tampak nikmat makan dengan telir ceplok dan juga kecap, tercabik antara bersyukur tapi juga merutuk. Mungkin aku akan melamun sampai siang jika saja Mbak Yah tidak masuk ke dapur dengan tergesa-gesa, langkah kakinya yang cepat membuatku segera berbalik ke arahnya.

"Non, di depan ada orang yang nyariin Non, katanya Non yang nyuruh kesini, itu beneran apa cuma orang ngaku-ngaku Non? Dia tadi bolak-balik nelpon sambil nanya apa bener ini rumahnya Liliana, wajahnya panik banget Non.

Dahiku mengernyit pelan, mencoba mencerna siapa yang tengah mencariku disini mengingat jika baru semalam aku pindah, terlebih aku tidak banyak mengenal orang, dan saat aku teringat jika sebelum tidur aku sempat mengirimkan pesan kepada Amal lengkap dengan shareloc-nya, aku buru-buru bangkit hampir terbang menuju ke luar. Pasti Amal datang pagi-pagi seperti ini karena khawatir ada hal buruk terjadi kepadaku.

Dan benar saja, saat aku melihat sosoknya yang berdiri di samping motor trail yang terparkir didekat pickup yang dibawa oleh anggota Pradana, pria tersebut langsung menghampiriku dan memelukku.

Jangan membayangkan hal-hal berbau romantis antara aku dan Amal, pria ini sudah beristri dengan satu anak, dan aku pun mengenal baik istrinya, Amal adalah sosok teman yang menjelma menjadi seorang kakak untukku. Rasanya nyaman sekali saat Papanya Ravi ini memelukku dengan erat penuh kekhawatiran.

"Astaga Liliana, kenapa kamu pindah nggak bilang-bilang, hah? Aku hampir jantungan lihat tempat tinggalmu yang baru ini penuh dengan tentara, kamu baik-baik saja, kan?"

Aku melepaskan pelukannya perlahan, sudah pasti kedekatanku dengan Amal Indrawan ini memicu keheranan para tentara yang ada diteras, yang tengah menikmati teh manis dan juga goreng pisangnya. Aku ingin segera meluapkan segala hal yang Pradana tawarkan namun aku kebingungan harus memulai darimana agar tidak membuat harga diri Pradana jatuh, setidaknya tidak dihadapan anggotanya hingga yang aku katakan kepada Amal yang sudah kepalang khawatir justru membuat Amal nyaris jantungan.

"Mal, aku mau nikah."

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang