Pradana pergi, benar-benar pergi saat aku mendengar suara mobil Jeepnya menderu meninggalkan rumah besar tersebut namun saat kaki kurusku membawaku berjingkat untuk turut pergi, teguran lembut menahanku dengan penuh ketegasan.
"Jika Pak Dana tidak mengizinkan Anda pergi, berarti Anda tidak diperkenankan untuk keluar dari rumah ini, Nyonya."
Hatiku mencelos, aku terlalu sibuk memperhatikan apa Pradana sudah pergi hingga aku tidak sadar jika ada dua sosok dibelakangku, kedua sosok yang terlihat sederhana dalam pakaian rumahan yang biasa, sungguh aku dibuat terkejut karena ketegasan yang mampu menahan kakiku untuk pergi berasal dari perempuan yang aku taksir berusia beberapa tahun dariku.
Saat Pradana mengatakan jika rumah ini dijaga oleh Mbak Yah, aku membayangkan jika Mbak Yah itu Mbak-Mbak setengah abad, namun nyatanya Mbah Yah sangat muda, dan anaknya yang ada di gandengannya pun mungkin seusia dengan Saka, sekarnag aku benar-benar yakin jika Pradana nikahnya kecepetan.
Setelah terkesima dengan penampilan Mbak Yah yang menurutku benar-benar spektakuler untuk ukuran penjaga rumah, aku berdeham pelan mengatur wajahku setenang mungkin.
"Mbak Yah, kan?" Tanyaku kepadanya.
"Iya, Nya. Saya Rayah. Soraya tepatnya, tapi Nyonya besar dan Pak Dana memanggil saya Mbak Yah, dan ini anak saya, Alisa."
Gadis kecil dengan rambut keriting dan bola mata besar seperti boneka tersebut mendekat, matanya bersinar terang yang membuatku serasa melihat diriku yang berusia 7 tahun, tangan mungilnya terulur meraih tanganku dan membawanya ke bibirnya, sebuah salam manis yang penuh dengan hormat. "Alisa, Nyonya."
Nyonya.... Panggilan yang diberikan gadis kecil tersebut kepadaku membuatku tersentak. Nyonya mereka bilang? Kepadaku? Astaga, dengan cepat aku menunduk menyejajarkan wajahku kepadanya, "jangan memanggil saya Nyonya, saya bukan atasan siapa-siapa, dan saya disini hanya sebagai tamu. Kamu bisa manggil saya Tante Lili."
Alisa menggeleng pelan, tidak setuju dengan ucapanku, begitu pula dengan Mbak Yah, "nggak bisa Nyonya, Pak Dana berpesan jika sekarang saya harus menjaga Nyonya, memang belum secara resmi, tapi Pak Dana bilang kalau Anda adalah calon istrinya. Jadi sama seperti saya yang mengabdi sepenuhnya kepada keluarga Aryaatmaja, saya juga akan melayani Anda."
Mendengar betapa formalnya kalimat yang dilontarkan oleh Mbak Yah, seketika aku tercengang dengan kualitas pekerja keluarga Pradana, untuk seornag yang diberikan tugas merawat sebuah rumah, public speaking-nya sangat bagus, tidak ada kerendahan di suaranya atau nada menjilat yang munafik, yang ada justru ketegasan seperti seorang sekretaris. Dibandingkan aku, seharusnya Pradana menikahi saja si Mbak Yah ini. Aku rasa Mbak Yah lebih dari sekedar pantas untuk menjadi istrinya. Apalagi Mbak Yah termasuk ke dalam kategori good looking yang membuatku merasa aku begitu gembel sekarnag ini.
"Tolong jangan gunakan kata itu, Mbak." Ucapku tidak setuju, "panggil saja Lili atau Liliana sekalian, tapi jangan Nyonya."
"Kalau begitu Nona Lili, dan saya tidak menerima revisi lagi." Sayangnya Mbak Yah sama sekali tidak menggubrisnya yang membuatnya mengerang pelan.
"Astaga Pradana, terkutuklah kamu. Semoga harimu Senin terus, semoga anggotamu pada rewel sampai kepalamu migrain!"
Rutukan demi rutukan aku keluarkan atas nama Pradana Aryaatmaja, dia menyelamatkanku dari Deret22 namun dia melemparku ke rumahnya yang penuh dengan serangkaian jebakan. Hal yang membuatku kesal setengah mati namun membuat Mbak Yah ini tertawa kecil mendapati keputusasaanku.
"Mari Non, saya antar ke kamar. Meskipun bagian besar rumah ini hanya sesekali ditinggali Pak Dana. Tapi saya pastikan semuanya nyaman dan rapi."
Aaahhhh, aku ingin menolaknya, rumah besar dan segala hal yang ada di dalam rumah ini memang satu hal yang aku inginkan, tapi mengingat syarat yang harus aku penuhi untuk bisa mendapatkannya membuat rumah nyaman ini seperti sebuah penjara, dengan segala kearoganan Pradana, bukan tidak mungkin jika dia pun akan mengunci gerbang depan.
Pradana ini memang culas, dari depan rumah ini tampak biasa, berada di tengah perumahan cluster menengah namun segala hal yang disentuh olehnya sekarang adalah barang quiet luxury, sederhana namun juga anggun dan mewah disaat bersamaan. Dengan hati yang kosong aku mengikuti Mbak Yah menaiki tangga dengan si kecil Alisa menggandeng tanganku seolah takut jika aku akan berlari, keputusan yang tepat meminta Alisa menggandengku karena meskipun Alisa anak-anak, aku tidak akan tega menyentak dan mendorongnya untuk bisa melarikan diri.
Segala keluh kesah menggumpal di dadaku, rasanya sangat buruk, menyebalkan, dan lebih menyesakkan dibandingkan hidup di Deret22, namun semua itu seketika lenyap saat Mbak Yah membuka sebuah pintu disudut ruangan, satu pemandangan yang terasa familiar menyapaku hingga rasanya aku menyesal sudah merutuk.
"Saya rasa Pak Dana memiliki Indra keenam, ada satu kamar yang selalu ditempati beliau jika beliau menginap disini, dan entah kenapa saya merasa kamar ini sangat cocok untuk anda, Non."
Aku menelan ludah kelu, kamar yang diperlihatkan Mbak Yah bukan tipe maskulin atau girly, perpaduan warna pastel krim dan toupe berpadu dengan dinding putih polosnya mungkin terkesan biasa namun juga indah dalam kesederhanaan, ya para pria mungkin akan menyebutnya kamar perempuan, apalagi kehadiran bedcover dengan warna pink pastel caramia yang merupakan warna favoritku membuat kamar ini terasa seperti kamarku yang aku tinggalkan bertahun-tahun lalu.
Rasanya seperti masuk ke dalam kamar lamaku yang sudah tidak aku tinggali begitu lama. Kamar yang aku tempati sedari aku kecil, hingga dewasa yang menyimpan begitu banyak kenangan, kini hadir kembali di rumah seorang yang bahkan menjadi rivalku selama bertahun-tahun.
"Sebelum ini saya sempat bertanya ke Bapak apa boleh saya mengganti bedcovernya dengan warna toupe atau krim biar sesuai, rasanya lucu sekali Bapak menempati kamar ini, tapi Bapak menolaknya, Bapak bilang semua kamar ini sudah pas, dan rupanya memang pas, saya setuju dengan Bapak."
Mbak Yah menatapku dengan senyum misterius dengan sejuta makna seolah ada pesan jika Pradana memang sengaja menyiapkan kamar ini untukku. Sungguh hal yang sangat tidak masuk akal mengingat jika kami tidak dekat, dan kami tidak pernah saling bertemu sapa sampai 8 bulan yang lalu saat aku secara tidak sengaja menjadi guru les untuk putranya.
Bibirku sudah terbuka ingin mendebat apa yang Mbak Yah katakan, namun pada akhirnya aku memilih untuk diam, rasanya aku terlalu lelah dengan semua hal yang sudah terjadi. Pengusiran, pertikaian Sony dan Ida, pemukulan Pradana kepada Sony yang mungkin akan menjadi masalah itu, dan yang paling menyiksaku adalah permintaan Pradana untuk membantunya memenangkan hak asuh Saka.
Gusti, kenapa serumit ini sih hidupku?
"Istirahatlah, Non. Jika butuh apa-apa Non bisa panggil saya." Dan saat Mbak Yah mengucapkan pamit, aku hanya bisa mengangguk, Kulambaikan tanganku pada Alisa, sedikit menyesal karena aku tidak cukup bersikap ramah kepada gadis manis tersebut secara benar, sampai akhirnya saat aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang, wangi mawar lembut menyerbu masuk ke dalam hidungku, rasanya sangat nyaman, dan hangat. Bahkan wanginya pun nyaris sama seperti kamarku dulu, tolong ingatkan aku untuk memotong beberapa mawar segar besok agar semuanya makin sempurna.
Aku benci dengan konsep pernikahan kontrak, tapi segala hal yang sempat hilang dan kini berada di hadapanku kembali terasa begitu sayang untuk aku lewatkan.
Mataku terasa berat, mengantuk karena kenyamanan yang nyaris sudah aku lupakan namun aku sempat mengirimkan pesan kepada Amal sebelum aku benar-benar terlelap.
"Mal, besok ketemuan bisa? Aku butuh bantuanmu."
Besok, ya besok, karena sekarang rasa hangat dan kerinduan akan sesuatu yang hilang menggulungku dengan sangat nyamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Kontrak
RomanceDalam hidupnya Liliana tidak akan pernah bermimpi jika hidupnya akan menjadi begitu nelangsa. Keluarganya bangkrut karena korupsi gila-gilaan yang dilakukan adik dari Papanya, perusahaan keluarganya pun seketika dipailitkan, dan aset yang tersisa ha...