13. Sebotol Air Mineral

3.3K 332 16
                                    

"Ngapain kita kesini?"

Aku menatap ke arah Pradana yang sedang melepaskan seatbeltnya, berbeda denganku yang kebingungan dia justru mencibirku.

"Apa kamu nggak tahu itu disebut rumah?"

Astaga, reflek aku langsung meremas kedua tanganku tepat di hadapannya, menahan keinginanku untuk menjambak rambutnya yang cepak, aku menghela nafas panjang mencoba mengais sisa kesabaran. "Aku juga tahu itu rumah, Pradana! Tapi ngapain kamu bawa aku kesini, FYI, jangan berpikiran untuk macam-macam denganku. Kamu tahu dengan benar jika aku tidak akan segan menggigit, atau apapun!"

Pradana memutar bola matanya dengan malas, terlihat jika dia pun sama enggannya sepertiku untuk berbicara lebih jauh, "berhentilah berpikiran negatif, Liliana. Sekalipun aku duda, aku sama sekali tidak berminat dengan wanita berdada rata sepertimu. Astaga, bahkan dibandingkan dengan seragam SMAmu, kamu tampak sangat tidak menarik dengan pakaian kuno yang kamu kenakan sekarang. Menurutmu aku berselera denganmu yang seperti ini?"

"Mulutmu ituloh, Dan. Brengsek!"

"Ya, aku memang brengsek! Jadi diam, dan masuklah. Kita bicarakan di dalam!"

Langkah lebar Pradana membuatku tertinggal, panik melihat sunyinya rumah yang kini lampunya sudah menyala membuatku menahannya yang pasti langsung membuatku mendapatkan side eye menyebalkan sembari dia melepaskan tanganku yang menahannya, "tapi ini rumah siapa dulu!"

"Rumahku, Liliana! Kamu pikir rumah siapa, hah? Sudah aku bilang kan, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."

Kembali aku menahannya saat dia hendak berjalan masuk, meskipun Pradana mengatakan jika dia sama sekali tidak berselera denganku, tapi tetap saja aku tidak serta merta mempercayai manusia licik sepertinya.
"Kenapa harus bicara disini? Kenapa nggak di cafe atau dimana pun yang tidak tertutup!"

"Demi Tuhan....." Pradana meraup wajahnya dengan frustrasi, dia begitu kesal hingga tinjunya terangkat berulangkali mencari pelampiasan, "berhentilah berpikiran buruk, Liliana. Aku mengajakmu berbicara disini karena aku ingin sekalian memberimu tempat tinggal yang layak bukan hendak memperkos4mu. Ya, aku memang brengsek, tapi aku masih punya hati yang tidak tega membiarkan teman satu angkatanku menggembel dijalanan tanpa tempat tinggal. Rumah ini adalah salah satu pertimbangan yang aku berikan kepadamu jika kamu bekerja sama denganku. Dibandingkan kamu tidur di kolong jembatan atau mungkin di Club dengan tingkat resiko pemerkosaan yang tinggi, akan lebih baik jika kamu tinggal disini. Paham? Haruskah aku menjelaskan kebaikan hatiku segamblang barusan?! Jika iya, aku sama sekali tidak keberatan."

Pradana berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di depan dada menantangku untuk menjawabnya, sungguh dengan posturnya sekarang membuatnya tampak seperti B4jingan kurangajar, sayangnya saat aku mengesampingkan egoku, otak warasku berteriak untuk menerima rumah nyaman yang dia tawarkan ini.

Aku cemberut, kesal sekali rasanya dipojokkan hingga tidak bisa berkata-kata oleh Pradana, ya dulu aku unggul darinya namun sekarang aku tidak bisa membalasnya sama sekali, sebal sekali melihatnya yang tersenyum penuh kemenangan atas diriku.

"Kerjaan apa sih sebenarnya?" Pada akhirnya aku menyerah, jiwa penasaranku tergelitik dengan pekerjaan yang ditawarkan oleh Pradana. Dia sudah menawarkan rumah nyaman di sebuah perumahan menengah ini yang sangat asri, ada taman kecil dengan semak bunga mawar di sepanjang pagar yang membuatnya sangat kontras dari rumah tetangga. Saat aku mendekat wangi bunga favoritku tersebut langsung berlomba-lomba memasuki hidungku. Dulu sekali, Mama sekalipun sibuk di kantor tapi beliau juga hobi berkebun, merawat bunga adalah hal yang rutin beliau lajukan, dan mawar adalah favoritnya, setiap sudut dirumah kami dulu dihiasi oleh mawar dari tanaman beliau.

Aahhh, mengingat semua hal ini membuatku rindu. Sayang sekali bahkan menikmati segarnya aroma mawar favorit beliau rupanya juga tidak bisa menahan Mama untuk tidak menyerah pada kejamnya roda dunia yang berputar.

Seandainya saja Mama dan Papa tidak terlalu mempercayakan semuanya pada satu orang yang akhirnya berkhianat, mungkin semua kerugian tidak akan pernah terjadi. Mungkin beliau berdua tidak akan meninggalkanku sendirian, banyak kata seandainya yang seringkali aku pikirkan meskipun aku sadar hal itu tidak akan mengubah apapun dalam hidupku.

"Masuklah, ngapain kamu diam disitu...."

Perintah ketus dari Pradana membuatku tersentak, rupanya aku melamun terlalu lama di depan rumah hingga tidak mengikutinya yang sudah lebih dahulu membuka pintu. Tergesa aku mengikutinya, dalam bayanganku rumah ini mungkin akan gelap dan pengap, tapi rupanya aku keliru, wangi mawar lembut jauh dari kesan horor menyambutku, terlebih saat lampu-lampu menyala dengan terang memperlihatkan rumah dengan cat putih krim bercampur coklat muda, rumah ini tipe keluarga yang hangat,

"Aku memperkerjakan orang untuk merawat rumah ini, beliau Mbak Yah dan anaknya, mereka tinggal di belakang. Jadi nggak usah kaget lihat rumah ini terawat."

Aku hanya mengangguk menanggapinya, mengikutinya kami berjalan menuju dapur, seolah sudah terbiasa dengan rumah ini, Pradana mengambil minuman yang ada di dalam kulkas, sebotol air mineral dan sebuah kopi kaleng, dan yang membuatku agak takjub adalah air mineral yang diberikan kepadaku adalah air mineral yang dulu merupakan minuman wajib ku setiap ke sekolah. Tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan membuatku picky eater, bahkan dalam air minum sekalipun, aku bisa tahan tidak minum seharian jika aku dikantin sekolah sedang kosong stoknya, tapi itu dulu, dulu sekali, sekarang jangan tanya, asalkan bersih, layak, dan murah, aku akan meminumnya.

Dari sebotol air minum, sekilas kenangan yang melintas membuatku tersenyum kecil, ada rasa bahagia menyelusup di dalam hatiku, perasaan hangat yang selalu mengikuti.

"Terimakasih, Dan." Sungguh aku tulus dengan ucapan terimakasihku, dan meskipun Pradana tampak terkejut dengan ucapan terimakasih yang aku berikan, dia mengangguk dengan canggung.

"Sorry, tapi seingatku kamu tidak bisa minum kopi. Tapi kalau kamu mau, silahkan ambil sendiri. Aku tidak perlu melayanimu, kan?"

Menanggapi kalimat ketus Pradana aku hanya memutar bola mataku dengan malas, memangnya apa yang bisa aku harapkan dari rival abad iku ini. Rupanya aku masih terbawa dengan aktingnya beberapa saat lalu sampai lupa jika Pradana adalah jelmaan iblis.

"Ya, ya, ya, terimakasih. Jadi bisa kita langsung bicara soal pekerjaan yang kamu tawarkan sebelumnya?"

Pradana menganggukkan kepalanya tanda setuju jika sudah cukup perdebatan diantara kami dan waktunya kami berbicara. "Kita bicara disini atau....."

"Dimana saja boleh, disini, diluar, terserah...."

"Kita bicara dibelakang saja, aku merasa untuk obrolan kita nanti kita perlu banyak udara segar agar otak kita tetap dingin....."

Kalimat ambigu tersebut membuatku mengernyit keheranan, tapi enggan menyulut pertikaian kembali aku memilih untuk menahan lidahku agar tidak berbicara, mengikutinya, kami berjalan menuju belakang, dan saat itulah aku sadar jika rumah Pradana memanjang ke area belakang. Seperti dua rumah yang dijadikan satu, dan disitu ada paviliun tempat ARTnya tinggal, terlihat Pradana menghampiri mereka sembari melihat ke arahku, yang membuatku tersenyum sembari mengangguk penuh kesopanan, sebelum akhirnya Pradana kembali kepadaku.

"Itu tadi Mbak Yah, sebenarnya dia berniat menyapamu tapi aku sengaja melarangnya, setidaknya sampai kita sampai dikata sepakat....."

Aku membuka botol minumnya, menenggaknya perlahan untuk menikmati dingin yang membuatku rindu sebelum akhirnya aku bertanya kepadanya.

"Jadi pekerjaan apa yang kamu tawarkan, Dan?"

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang