24. Harapan Amal

3.1K 327 27
                                    


"Kalau aku nggak tahu seperti apa sikap Pradana dulu kepada kita, mungkin aku akan mengira jika Pradana menyukaimu, Li."

Pradana sudah pergi begitu saja usai memintaku memberikannya KTP dan kartu keluarga yang hanya berisikan namaku, diskusi yang kami lakukan rupanya terlalu lama hingga matahari kini sudah sepenuhnya meninggi. Dalam pandangan kosong mataku melirik barang-barangku yang baru saja dibawa oleh anggota Pradana, selain buku dan pakaian, mungkin yang lainnya akan aku simpan di gudang. Rumah Pradana ini sudah lengkap, bahkan jika aku hanya datang membawa diri saja, rumah ini sudah sangat nyaman untuk aku tinggali.

Aku sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Deret22, aku berharap keluarga Bu Hajjah, Sony dan yang lainnya tidak membuat ulah apalagi sampai menjadikan masalah untuk Pradana, tapi pria itu sudah meninggalkanku beserta sederet kesepakatan tentang pernikahan kami.

Nikah kontrak, lidahku serasa terpelintir setiap kali mengingatnya, Pradana menginginkan hubungan tanpa batas, namun aku sendiri yang justru ketakutan, aku takut jatuh cinta sendiri pada akhirnya sementara dia tidak.

"Suka? Dari sisi manapun Pradana sejak dulu tidak pernah menyukaiku, Mal. Dia tidak suka kenyataan jika perempuan kecil sepertiku mengalahkannya."

"Tapi nyatanya diantara banyaknya perempuan yang ada di dunia ini, dia meminta pertolonganmu, bahkan dia sendiri terang-terangan mengatakan jika kamu sempurna sebagai seorang istri, seharusnya saat dia berkata dia tidak memiliki batas tenggat dalam kontrak, kamu menyetujuinya, kamu harus menerimanya dan mewujudkan pernikahan secara benar dengannya."

Setelah beberapa saat aku menatap jalanan komplek yang kosong akhirnya aku mengalihkan perhatianku kepada Amal, Papanya Ravi dan Rara ini tampak jengkel kepadaku, dan hal yang sama pun aku rasakan kepadanya, "kamu nggak mikir resikonya jika aku terikat dengan Pradana selamanya? Bagaimana jika akhirnya aku jatuh cinta dengannya sementara Pradana tidak? Kamu mikir sampai kesana nggak sih?! Kamu mau lihat sahabatmu ini merana sampai mati? Kamu dengar dengan jelas kan kalau dia melakukan semuanya untuk putranya. Pradana tidak bisa membuat batas, maka aku sendirilah yang harus melakukannya untuk melindungi diriku sendiri." Dengusku gusar, sungguh aku sama sekali tidak bermaksud untuk membentak Amal, tapi bagaimana lagi semua hal tidak terduga yang terjadi di dalam hidupku benar-benar membuatku kehilangan kesabaran.

Amal mendesah pelan, sepertinya dia pun turut pusing dengan apa yang terjadi kepadaku, aku yakin di rambutnya yang tebal tersebut tersimpan sejuta nasihat yang ingin dia berikan kepadaku, dengan wajahnya yang kusut dia mendongak ke arahku, "apapun keputusanmu, aku mendukungmu, Li. Meskipun agak menggelikan untuk di dengar tapi sepertinya Pradana yang sekarang berbeda dengan Pradana yang kita kenal dulu. Aku merasa yaaah dia baik dan peduli kepadamu meskipun caranya menyebalkan."

Jika sudah seperti ini bagaimana bisa aku marah terhadap Amal, pria ini sudah menjadi teman baikku sejak lama, disaat hidupku hancur-hancuran ditinggalkan orangtuaku dia tetap bertahan di sisiku, kebaikannya tidak terhitung banyaknya, mungkin jika aku tidak menahan diriku sendiri, aku bisa saja dianggap wanita tidak tahu malu yang hendak merusak rumah tangganya dengan Sissy.

"Tolong jadi saksiku nanti ya, Mal. Kamu dan juga Sissy." Tekanku kepadanya yang langsung dibalas anggukan.

"Tenang saja, aku dan Sissy selalu ada buat kamu, tapi Gilang......" kalimat Amal tergantung, pertemananku dengan Gilang memang agak sedikit berubah sejak kami putus, kami masih bersikap baik tapi pasti ada kecanggungan nyata diantara kami, terlebih Arsinta, istri Gilang adalah penganut paham 'siapapun mantan dari suamiku, dia adalah musuh terbesarku', menggelikan dan sangat tidak dewasa memang mengingat aku dan Gilang sudah berakhir nyaris 12 tahun lebih tapi hingga sekarang sampai mereka memiliki dua anak, tetap saja Arsinta selalu mendelik setiap kali bertemu denganku.

Aku yang paham kemana arah pertanyaan Amal seketika menggeleng, "tidak perlu memberitahu Gilang, dia pasti akan sangat marah jika tahu aku menikahi musuh terbesarnya. Aku tidak ingin membuat keributan. Biarkan dia tahu dengan sendirinya."

Hela nafas lega terlihat dari Amal, pasti sulit baginya berdiri diantara diriku dan Gilang, tapi sungguh aku sangat menghargai semua kebaikannya. Tubuh tinggi tersebut kini berada di hadapanku, selayaknya seorang kakak, dia menarikku ke dalam pelukan akrabnya seolah ingin memberitahuku jika aku tidak sendirian di dunia ini.

"Li, aku berharap kamu dan Pradana tidak hanya menikah kontrak, tapi benar-benar menikah. Dan yang paling penting, aku ingin kamu bahagia."

Bahagia? Entahlah seperti apa bentuk bahagia yang sebenarnya aku inginkan, dalam sekejap aku memiliki semua yang pernah aku miliki, tapi perasaan mengganjal seolah ada yang keliru begitu terasa. Kulambaikan tanganku kepada Amal yang melesat pergi dengan motor trailnya, membuatku kembali kepada keheningan rumah Pradana. Kebingungan melandaku karena dalam sekejap hidupku terasa berubah, namun dari segala jalan yang buntu yang aku hadapi, aku sendiri pun masih bingung kenapa aku menerima tawaran pernikahan ini.

Bisa dibilang logikaku mengalahkan hatiku.

"Ya Allah, maaf Hamba atas pilihan yang telah Hamba buat."

Tidak ingin tenggelam dalam perasaan tidak nyaman terlalu lama, aku melangkah menuju halaman disamping rumah, rumah yang memanjang ke belakang ini memiliki taman mini dengan rumput tebal di depan dan samping rumah yang menyambung sampai ke kolam renang minimalis yang menjorok kebelakang. Wangi rumpun mawar yang bergerombol tumbuh subur membuat perhatianku teralihkan, wanginya membuatku rindu pada Mama, dan saat aku mendekati mereka rasanya seperti masuk ke dalam dekapan Mama.

"Jadilah seperti bunga mawar, Liliana. Indah dengan segala hal yang kamu miliki, namun sulit untuk diraih." Nasihat Mama tersebut masih terngiang di kepalaku namun rupanya aku kalah dengan jalan takdir yang menghajarku hingga aku rata dengan tanah.

"Non Lili mau ambil Bunga mawarnya?" Pertanyaan dari Mbak Yah yang baru saja masuk ke dalam halaman dengan motor matic-nya membuatku menoleh, aku mengangguk, yang langsung membuat Mbak Yah menawarkan, "saya ambilin gunting dulu, Non!"

Kembali, aku hanya mengangguk, membiarkan Mbak Yah beranjak mengambil gunting tersebut, perdebatan semalam membuatku belajar untuk membiarkan Mbak Yah melakukan apapun pekerjaannya. Tidak lama menunggu Mbak Yah datang, tidak hanya membawa gunting bunga, Mbak Yah juga membawa keranjang untuk mengumpulkan bunga-bunga yang sudah aku potong. Kecakapan Mbak Yah ini membuatku tergelitik untuk melemparkan pertanyaan.

"Mbak Yah sering motongin bunga juga? Atau Nyonya Maryam yang hobi berkebun?" Tanyaku sambil menggerakkan tanganku meraih sekuntum bunga mawar merah segar yang tampak indah sekali dikelilingi daunnya yang segar.

"Tugas saya cuma nyiramin, Non. Tapi yang hobi sama ini mawar ya Pak Dana sendiri, beliau yang sering motongin terus naruh bunga-bunganya di vas dalam rumah, bahkan Bapak punya racikan air sendiri biar bunganya lebih awet segarnya."

Mendengar pengakuan Mbak Yah seketika aku menghentikan gerakanku, sungguh aku benar-benar tidak menyangka jika laki-laki manly macam

Pradana telaten terhadap bunga. Dilihat dari gunting yang aku pegang, aku bisa merasakan jika gunting ini bukan gunting baru namun sebuah gunting yang acap kali digunakan hingga terasah tajamnya. Ucapan tentang Pradana yang menyukai bunga bukan sekedar omong kosong.

Aku mendongak, menatap wanita yang terlalu cantik untuk menjadi asisten rumah tangga yang ada di hadapanku ini. Soraya, nama yang indah, pas sekali untuk sosok Mbak Yah yang bahkan aku rasa mirip dengan Anisa Pohan. Dan sebelum aku bisa mengendalikan diriku sendiri, aku sudah kehilangan kontrol atas lidahku.

"Mbak Yah, kenapa Pradana tidak menikah denganmu saja?"

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang