15. Sempurna

3.3K 348 22
                                    

Untuk beberapa saat aku membiarkan Pradana berteriak-teriak melampiaskan kemarahan dan kekesalannya tanpa ada interupsi sedikitpun, mata tajam tersebut menatapku nyalang menunjukkan seberapa frustrasinya dia dengan semua masalah yang harus dia hadapi.

"Minumlah......" botol yang sedari tadi aku pegang kuberikan ke arahnya membuatnya yang baru saja selesai dengan luapan kekesalannya menatapku dengan tidak percaya.

"Kamu memintaku minum bekasmu?" Dengkusnya dengan dahi mengernyit, pandangan matanya seolah menyiratkan apa aku sudah gila dengan memberinya minuman bekasku, namun aku melakukannya bukan tanpa alasan, aku ingin menghentikan kegilaan atas rasa frustrasinya dan rupanya caraku berhasil bukan?

"Apa salahnya memintamu meminum bekasku jika kamu baru saja memintaku menikahimu! Sama sepertimu yang menganggapku gila, kurang lebihnya itu sama seperti yang aku rasakan barusan mendengar ajakanku, Dan. Aku mengira kamu sudah kehilangan akal dengan memintaku menikahimu. Astaga, bahkan di dalam mimpiku yang paling buruk saja aku tidak pernah membayangkan kamu akan mengajakku menikah."

Aku bisa mendengar Pradana mendesah pelan saat dia mengumpatku, meski demikian dia benar-benar meraih air mineral yang ada ditanganku, dan sama seperti kopinya yang habis dalam sekali tenggak tanpa rasa jijik yang membuatku kembali terbelalak, air itu pun dalam sekejap kosong. "Bersamamu, aku merasa seperti sapi gelonggongan yang dipaksa minum setiap kali nada suaraku meninggi."

Sapi gelonggongan dan Pradana, sebenarnya tidak ada yang lucu dari ucapannya tapi entah kenapa aku terkikik geli, aku merasa sapi dan Pradana adalah dua makhluk yang sama-sama mirip, besar dan suka tantrum.

"Kalau begitu coba kendalikan dirimu, Dan. Aku hanya melemparkan satu kalimat dan kamu memberondongku seperti orang yang tidak punya perasaan."

Pradana mencibir, bibir tipis tersebut melengkung melontarkan ejekan. "Kendalikan dirimu?" Begonya menyebalkan, dan aku sudah cukup paham kemana dia akan menyeret kalimatnya, "Coba katakan itu pada kaca dihadapanmu, Liliana. Cobalah untuk tenang saat seseorang dengan terang-terangan hendak merampas harta berhargamu tepat di depan hidungmu, apa menurutmu kamu bisa dengan tenang? Aku tidak masalah dikirim ke perbatasan, tidak masalah mendapatkan misi penyelamatan, atau bahkan jika aku harus mendampingi kompiku berlatih berbulan-bulan di hutan, aku tidak masalah dengan semua hal berat tersebut, tapi aku tidak bisa jika dihadapkan dengan kemungkinan aku akan kehilangan Saka."

Pradana mungkin seorang yang buruk, ya, dia memang buruk setidaknya dimataku, tapi nyatanya meskipun berat harus aku akui jika dia adalah sosok ayah yang baik untuk Saka, aku tidak akan mengatakan Pradana sempurna, tapi mendengar Saka bercerita jika Ayahnya selalu mengusahakan untuk pulang ke rumah dibandingkan tinggal di asrama karena Ayahnya tidak tenang meninggalkannya hanya dengan Neneknya, menyempatkan waktu untuk Deep talk setiap malam sebelum tidur mendengarkan segala keluh kesah ataupun sekedar aktivitas yang dilakukan Saka seharian, bagiku itu sudah lebih dari yang aku bayangkan tentang Pradana yang menjalankan perannya sebagai Ayah dengan sangat baik.

Pradana benar-benar mengurus Saka, tidak hanya membanjiri dengan materi, namun juga dengan kasih sayang dan perhatian di waktunya yang pasti begitu sempit karena terbagi dengan tugas dan pengabdiannya kepada Negeri ini.

"Aku menyayangi Saka, Liliana. Saat pertama kali aku menggendongnya, itu adalah pertama kalinya di dalam hidupku aku bisa menangis tersedu-sedu, hadirnya adalah kebahagiaanku. Saat Saka hadir, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri jika aku akan membahagiakan dia bagaimanapun caranya. Aku sudah gagal memberikannya rumah yang nyaman dengan keluarga yang lengkap untuknya, aku tidak ingin melihatnya dibawa pergi, dan hanya dimanfaatkan. Aku sangat mengenal Monica, begitu juga dengan pacarnya, mereka tidak akan bisa mengurus Saka dengan baik. Aku tidak ingin anakku menjadi korban kegilaan Ibunya."

Rasa bersalah menyergapku, saat Pradana menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca usai mengungkapkan betapa dia sangat menyayangi dan berartinya Saka di dalam hidupnya. Tentu saja sikap Pradana ini membuatku teringat pada Papa meskipun pada akhirnya Papa memilih untuk meninggalkanku sendirian di dunia ini.

"Lantas kenapa kamu berpikir jika menikah denganku akan mengatasi masalahmu, Dan? Astaga, tolong jelaskan alasan yang membuatmu rela menjatuhkan harga dirimu sampai memintaku menikah denganmu agar aku tidak menjadi orang jahat yang menghakimi tindakanmu ini! Aku sangat paham jika bertanya hal ini sudah pasti sulit untukmu."

Pradana mendongak, jika biasanya aku melihatnya dalam bentuk angkuh yang arogan seolah dunia berada dibawah kakinya, maka kali ini dia memperlihatkan sisi manusiawinya yang memiliki ketakutan.

"Karena kamu sempurna menjadi seorang istri, Liliana." Desahnya pelan, terlalu pelan hingga nyaris  seperti sebuah bisikan namun sukses menembus ke sudut jantungku.

God, jawaban macam apa itu! Diantara jutaan jawaban yang bisa Pradana berikan kenapa dia memberikan jawaban yang paling tidak masuk akal di otak warasku. "Sorry, gimana Dan?" Aku kembali bertanya, aku merasa jika aku salah dengar atau salah tangkap dengan apa yang Pradana ucapkan barusan, daripada aku keliru mengartikan, aku merasa bertanya adalah hal yang tepat untuk dilakukan, dan tentu saja dengan sifat Pradana yang sombongnya setengah mampus, dia sudah pasti jengkel karena harus mengulangnya kembali.

"Karena diantara banyaknya perempuan yang ada disekelilingku, kamu yang paling sempurna menjadi seorang istri, Liliana! Haruskah aku mengulang untuk ketiga kalinya? Kamu tahu, kalimatku barusan melukai lidahku!"

Wajah yang menurutku tidak seberapa tampan tersebut memerah, merasa malu sekaligus tertekan, ingin rasanya aku menertawainya keras-keras namun aku cukup waras untuk tidak melakukannya. Pradana versi tantrum sulit untuk dijinakkan. Itu sebabnya aku hanya terkikik geli saat kembali bertanya, astaga, kenapa menyenangkan sekali sih menyiksa Pradana dengan hal-hal yang tidak dia sukai?

"Sebutkan kenapa aku lebih baik daripada wanita lainnya? Menurutmu kehadiranku sebagai istrimu akan membuat hakim berubah pikiran? Tolong katakan dengan jelas." Aku bertopang dagu, mempersiapkan diri untuk mendengar satu persatu alasan yang akan menyiksa Pradana saat mengucapkannya sembari tersenyum begitu manis. Aku tahu sikapku ini akan sangat menyebalkan untuknya.

"Arrrggghhh, bisa nggak sih nggak usah senyum-senyum bego kayak gitu, Li?" Nahkan bener! Tantrum sendiri dia berasa di ketawain.

"Nggak, nggak bisa! Aku seneng tahu lihat seorang  Pradana yang bencinya setengah mampus kepada Liliana, tiba-tiba bilang kalau aku....." kukibaskan rambut panjangku yang dikuncir ke belakang sembari menyeringai penuh kesombongan yang sudah pasti membuat kadar kemuakan Pradana berada di level tertinggi, "sempurna menjadi calon istri. Hayo katakan, jangan berbelit-belit, siapa tahu setelah mendengarnya aku bisa mempertimbangkan untuk menerimamu."

Aku mengedipkan mataku pelan menggodanya, dan saat itulah Pradana meraung kesal nyaris menjedotkan kepalanya ke lengan kursi, sepertinya dia menyesal atas apa yang baru saja dia katakan. Sungguh hiburan yang menyenangkan usai drama menyebalkan Sony dan istrinya yang membuatku terusir, untuk sepersekian detik aku merasa Pradana akan lebih memilih mati dibandingkan menjabarkan nilai plusku namun rupanya aku keliru.

"Karena kamu Liliana  Soedibjo. Nama belakangmu, status keluargamu, gelar pendidikanmu, sikap keibuanmu yang bisa mengatasi Saka. Monica mengatakan di dalam alasan tuntutanny jika keputusan terbaik untuk tumbuh kembang Saka adalah Saka bersamanya karena bersamaku waktuku banyak tersita untuk kedinasan dan pendidikan lanjutanku, dan aku hanya akan membuat Saka kecil tumbuh dalam kesepian bersama neneknya."

"Ya, itu masuk akal, tapi kamu nggak ninggalin Saka sendirian. Saka bersama Ibumu. Tidak ada salahnya dengan kasih seornag nenek."

"Itu tidak cukup kuat membantah argumen Monica, Liliana. Bodohnya dulu saat perceraian, aku dan Monica sepakat dengan alasan nafkah batin tidak bisa aku berikan kepadanya. Jika saja aku menuntutnya balik dengan bukti perselingkuhannya, mustahil dia berani menuntut hak asuh sekarang ini. Dulu aku terlalu memikirkan Saka, aku takut satu waktu nanti Saka akan malu saat tahu Ibunya memilih bersama pria lain dibandingkan bersamanya, sekarnag di pandangan Hakim, aku yang dipandang pihak bersalah. Sosok suami yang gagal dalam membahagiakan istrinya tentu tidak lebih baik dalam mengurus anaknya sendirian."

"Dan......."

"Aku betul-betul membutuhkan pernikahan Liliana, aku perlu seorang yang bisa aku percaya untuk bersama Saka, dan seorang yang tidak terikat perasaan denganku."

Astagaq, Pradana! Kenapa sekarang aku justru kasihan kepadanya?!

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang