17. Pradana Si Diktator

3.3K 324 15
                                    

17. Pradana Si Diktator

"Satu lagi, aku hanya menyewakan rumah ini kepada orang yang bekerja di siang hari. Jujur saja, aku alergi dengan uang dari seorang yang bekerja di Club meskipun uang itu tidak berasal dari jual diri."

Bibir Pradana melengkung. Melontarkan ejekan yang entah kenapa selalu melekat kepadanya. Aku curiga mungkin bibir itu akan sobek jika tidak melakukan cercaan kepada orang lain.

"Kata-katamu terlalu kasar, Dan!"

Pradana mengangkat bahunya acuh, tidak peduli dan tampak bosan dengan diskusi yang maju mundur tanpa kejelasan. "Terserah kamu mau menyebutku apa, karena kamu pun sama menyebalkannya seperti yang aku ingat dulu. Kebanyakan teori, lambat eksekusi. Seharusnya saat seornag pria mapan menawarkan pernikahan dengan segudang keuntungan, otak pintarmu itu segera menerima, bukan malah berpikir ini itu yang tidak penting. Menikah denganku lebih nyaman dibandingkan bekerja di Club, Liliana."

Ya kalau ngajak nikahnya buat seumur hidup mungkin aku akan tertarik dalam kadar 80% meskipun aku sama sekali tidak menyukai Pradana, mulutnya itu loh suka sekali mencibir, rasanya pengen aku karetin tiap bibirnya mengerucut, tapi ini pernikahan kontrak, aku bisa ditendang kapan saja, aku bisa dibuang seenaknya, membayangkan akan menjanda di usiaku yang tidak lagi muda kemudian mati kesepian tidak memiliki siapa-siapa terasa begitu mengerikan di kepalaku.

"Dan, biarkan aku berpikir dulu tentang pernikahan." Normalnya aku akan mendebatnya, membalas cibirannya dengan kalimat yang sama pedasnya, namun entah kenapa kepalaku terasa begitu penuh hingga aku sendiri tidak menyangka jika ucapanku barusan lebih seperti permohonan. "Kalau kamu memang keberatan aku tinggal disini, aku akan pergi. Aku juga tidak memintamu untuk menyediakan tempat tinggal untukku. Aku selama ini hidup sendiri, dan aku berhasil melakukannya."

Menyusulnya yang sudah ada diambang pintu. Aku pun melewatinya, tasku tergeletak di atas kabinet kabur dan aku hendak meraihnya. Sungguh kalimat terakhir Pradana sebelumnya cukup membuatku sakit hati. Namun belum sampai tanganku meraih totebag tersebut, tangan panjang tersebut sudah meraihnya terlebih dahulu. Wajahnya mengeras pertanda jika dia sedang sangat jengkel dan hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah tidak menyulut emosinya.

"Saat aku mengatakan alergi pada uang hasil kerjamu di Club, seharusnya kamu bilang jika kamu tidak akan bekerja disana, Liliana. Bukan malah pergi dari sini! Kenapa kamu ini hobi sekali memperumit satu hal yang sebenarnya mudah, hah?! Apa aku harus terus-menerus memperjelas setiap kalimat yang aku ucapkan?"

Sosok tinggi itu berkacak pinggang, selama ini aku sangat mengenal jika Pradana sangat menyebalkan, dia tidak akan sungkan untuk mengusik siapapun yang mengganggunya, dulu selain dia adalah kebanggaan para guru, murid tampan dengan prestasi adalah hal yang langka, namun dia juga monster yang mengerikan, dan kini, saat Pradana mengeluarkan Alpha cardnya di hadapanku, lututku seolah goyah, rasanya sesuatu yang ada dibelakang kepalaku memerintahkan untuk tetap di tempatku, mengiyakan segala yang dia ucapkan, jika tidak ingin ada masalah.

Sayangnya egoku pun tidak memberontak, ada perasaan semacam keberanian yang membuatku tetap menatapnya.

"Jangan pernah memerintahku, Pradana. Kamu tidak berhak untuk melakukannya."

Pradana menyeringai, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang tidak aku sukai, bukan terlihat menyebalkan namun dia tampak mengerikan, mungkin seperti inilah caranya mengintimidasi seseorang. Tangan besarnya terangkat ke atas membuatku reflek memejamkan mata, aku sangat takut jika tangan itu akan menampar atau memukulku, jika itu terjadi, wajahku mungkin akan hancur terhantam tangan besarnya, namun alih-alih sebuah tamparan, yang aku dapatkan justru cengkeraman di daguku, tidak menyakitkan namun cukup membuatku membuka mata dengan jantungku yang seperti digedor keras-keras.

"Aku berhak memintamu berhenti dari pekerjaan sialanmu, Liliana! Calon Nyonya muda Aryaatmaja tidak boleh bekerja ditempat seperti itu. Itu membuatku malu, aku tidak ingin ada orang yang mencela dengan mengatakan aku memungut seorang LC untuk dijadikan istri."

Aku berusaha melepaskan tangannya yang ada di daguku, namun bukannya terlepas, pegangan itu justru semakin menguat. "Aku belum menyetujui apapun tentang kontrak pernikahan sialan itu, Pradana! Jadi berhentilah memerintahku."

"Tidak! Kamu akan menyetujuinya, aku yakin itu! Saat aku memutuskan kamu yang cocok untuk menjadi ibu sambung Saka, maka kamu akan menurutinya! Jadi berhentilah merengek karena aku tidak menyukainya, dan mulailah berpikir tentang masa depanmu agar kamu bisa bebas dari lumpur menyedihkan yang menjadi tempat berkubang My selama ini Liliana. Buat sebesar mungkin agar aku kesulitan mewujudkannya."

Setiap kata yang terucap penuh dengan penekanan, kedua matanya yang tajam menggelap berbahaya, lebih dari menyebalkan, Pradana sangat mengerikan dan sepertinya aku terjebak dalam jaring yang dia ikat.

Disela-sela kepanikan yang aku rasakan, rasanya seperti Pradana nyaris ingin melahapku jika aku tidak menurutinya, otakku berpikir dengan cepat memberiku sebuah logika yang akhirnya membuatku mengangguk.

"Baiklah, biarkan aku berpikir, Dan. Biarkan aku berpikir apapun yang tidak berhubungan dengan Club. Oke?!" Dengkusan tidak puas terdengar darinya, bukan ini yang Pradana ingin dengar dariku, yang dia inginkan adalah aku mengiyakan kontrak nikah sialan itu tanpa babibu yang menurutnya membuang waktu. "Entah itu dengan menikah atau dengan cara lainnya, aku akan membantumu mendapatkan hak asuh Saka, kita sepakat?"

Kedua tanganku menyilang dibelakang punggungku, berharap keberuntungan Pradana akan percaya dengan apa yang aku katakan, kedua matanya menyipit menelisik sebelum memutuskan apa dia akan berhenti mencurigai dan marah-marah kepadaku, berbohong itulah yang aku lakukan kepadanya. Setelah Pradana melepaskanku dan pergi dari rumah ini, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan lari sejauh-jauhnya dari rumah ini menjauh dari kegilaan Pradana, persetan dengan tawarannya, dan juga perintahnya, dia bukan siapa-siapaku hingga dia berhak memerintah dan mengharuskanku menurutinya.

Lama Pradana berpikir, hingga rasanya aku sangat jengah saat melihat matanya yang tajam seperti dia tengah mengulutiku, sampai akhirnya tangannya terlepas dari daguku dan dia pun berjalan mundur.

"Aku mempercayaimu." Tukasnya pelan, dagunya yang tajam terangkat tinggi, memberiku peringatan penuh di setiap perkataannya. "Dan jika sampai kamu berani pergi ke Club terkutuk manapun, aku akan menyeretmu dan merantaimu, Liliana! Jangan merendahkan dirimu sendiri seperti itu. Kamu paham?!"

Kembali aku mengangguk, dan saat itulah tangan besar itu kembali terangkat yang membuatku reflek memejamkan mata. Aku takut jika dia akan menamparku, tapi nyatanya aku salah lagi karena tangan itu justru mendarat di puncak kepalaku dengan kelembutan yang mustahil dia lakukan dengan ukuran tubuh dan tangannya yang besar.

"Good girl. Sekarang, aku harus pergi dan silahkan gunakan otak pintarmu dengan baik, besok pagi aku akan meminta orang-orangku untuk mengambil barang-barangmu dari tempat terkutuk itu."

Ya, cepatlah pergi, karena aku sudah benar-benar tidak tahan satu udara denganmu lebih lama lagi Pradana, untuk beberapa saat kamu seperti penyelamat tapi detik berikutnya kamu justru menjadi seorang sipir penjara. batinku jengkel. Namun semua hal itu hanya bisa aku katakan dalam hati karena yang meluncur dari bibirku justru sebaliknya.

"Pulanglah..." ya, bukan meminta Pradana untuk pergi, tapi aku justru memilih kata pulang dengan suara terlembut yang aku miliki, "Saka menunggumu. Terimakasih karena sudah melindungiku."

Nikah KontrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang