Chapter 4

7.5K 762 30
                                    


"Papa sama Mama nggak bisa lama-lama di sini, Kalula. Nggak apa-apa kami duluan pulang ke Jakarta, ya?"

Janika dan Dian Hartanto ikut melayat ke Solo dan memberikan bela sungkawa kepada Kanjeng Gusti yang masih saja berduka. "Iya, nggak apa-apa. Kalula izin di sini dulu buat beberapa hari lagi, ya Pa. Kasian Kanjeng Gusti, masih banyak hal yang harus dibantu." Kalula masih sangat mengingat seberapa dekat dirinya dengan orang tua Abimanyu. Dia hanya tidak ingin meninggalkan Kanjeng Gusti yang masih berduka.

"Iya. Kamu jaga diri di sini, ya. Kabari Papa sama Mama terus."

Kalula mengangguk dan memeluk kedua orang tuanya sebelum mereka pergi meninggalkan Keraton. Kanjeng Gusti Daneswara tidak bisa berlama-lama menemani orang tua dari Kalula. Dia belum terlalu siap untuk menerima tamu-tamunya semenjak istrinya tiada.

Kalula kembali ke Keraton yang masih dipenuhi banyak bunga dan tulisan duka cita. Beberapa tamu juga masih sering datang untuk menyampaikan duka mereka juga. Abimanyu yang sibuk menerima mereka dan mengatakan bahwa Keraton akan tetap berdiri—diusahakan untuk tetap tegap—walaupun Kanjeng Putri mereka sudah tiada.

"Mbak Kalula."

Kalula menoleh dan tersenyum sopan pada abdi dalem sepuh yang memanggilnya dengan lembut. "Dalem, Bu?"

"Kanjeng Gusti ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sudah menunggu."

Kalula mengeryitkan dahinya samar. Dia hanya beberapa kali bertemu dengan Kanjeng Gusti semenjak Ibu disemayamkan. Dia tidak berani juga menemuinya langsung karena menghormati Kanjeng Gusti sendiri.

"Permisi, Kanjeng Gusti." Kalula menemui Kanjeng Gusti di taman belakang Keraton tepat menghadap Pracima Tuin. Kanjeng Gusti Daneswara tampak termenung diam menatap taman itu. Beliau menoleh ketika mendengar ucapan Kalula dan tersenyum kecil.

"Sini, Kalula. Duduk," ujarnya dengan lembut. Kalula menurutinya dan duduk di samping Kanjeng Gusti. "Orang tua kamu sudah pulang?"

Kalula mengangguk. "Baru saja pulang, Kanjeng Gusti, Papa dan Mama menitipkan salam pada Kanjeng Gusti."

Daneswara tersenyum. "Maaf sudah merepotkan sampai mereka harus datang jauh-jauh dari Jakarta."

Kalula menggeleng kecil. "Nggak merepotkan, Kanjeng Gusti." Kalula menyadari banyak perubahan pada Daneswara semenjak Ibu tidak ada. Kalula juga tidak menyangka bahwa Ibu akan meninggalkan mereka terlalu cepat.

"Istri saya menanyakan kamu di saat-saat terakhirnya. Dia ingin bertemu dengan kamu katanya, tapi sayang kamu nggak bisa datang dan kami sangat memakluminya." Kalula kembali berkaca-kaca.

"Maaf, Kanjeng Gusti, tapi memang Kalula mengira bahwa Kalula masih memiliki kesempatan untuk bertemu Ibu lagi. Kalula tidak tau bahwa itu akan menjadi permintaan terakhir Ibu." Kalula mengusap ujung matanya yang sudah akan mengeluarkan air mata. Sepertinya bukan pilihan yang bagus jika dia kembali menangisi Ibu di hadapan Kanjeng Gusti.

"Nggak apa-apa, Nduk. Saya mengatakan ini juga bukan bermaksud membuat kamu merasa bersalah. Saya hanya ingin menyampaikan seberapa besar kasih sayang yang istri saya punya ke kamu." Kalula—seumur hidupnya—tidak pernah menyangka bahwa ia akan disayangi dengan tulus oleh orang asing seperti Ibu. Ibu tidak memiliki hubungan darah dengannya dan bahkan setelah berpisah dari Bima enam tahun yang lalu, Kalula tetap dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga Keraton ini.

"Terima kasih sudah membuat istri saya setidaknya merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang anak perempuan."

Dan tangis Kalula kembali pecah mendengarnya.

***

Kanjeng Putri Ajeng Adiningrum tidak bisa memiliki anak setelah memberikan seorang putra mahkota pada Kanjeng Gusti Daneswara. Tentu Kanjeng Putri terpukul menerima fakta itu. Namun, ketika Bima beranjak dewasa dan mengenalkan Kalula sebagai pacarnya, Ajeng senang bukan main.

"Tenang di sana ya, Bu. Atas kehendak Tuhan, semoga Keraton ini akan baik-baik saja ketika Ibu tidak ada." Kalula mengusap foto Ajeng yang ia simpan di samping ranjang tempat dia beristirahat selama di Keraton ini.

Kalula kemudian pergi dari kamar itu untuk makan malam dengan keluarga Keraton Pura. Walaupun makan malam kali ini akan sangat berbeda karena masih dilanda duka.

"... aku nggak minta kamu ngabisin waktu lama di sini, Kania! Aku cuman mau kamu hadir. Sehari aja! Emangnya nggak bisa?! ..."

Kalula yang sedang merapikan rambutnya sambil berjalan menuju ruang makan Keraton, ketika mendengar nada kesal yang diucapkan Bima di luar ruangan. Kalula mengeryitkan dahinya dan berjalan perlahan.

"... ya Tuhan, Kania, ini Ibu aku yang meninggal. Ibu aku yang nggak ada. Kamu nggak bisa ngehormatin Ibu bahkan buat terakhir kalinya aja? Kenapa kamu selalu egois tentang masalah ini sih? ..."

"... aku capek ngadepin kamu yang kayak gini!"

Kalula tidak pernah mendengar ucapan Bima yang sebegitu keras dan kasarnya pada perempuan. Kalula hapal betul Bima memiliki tutur kata yang lembut nan sopan.

Bima berdecak dan mengusap rambutnya sebal. Ketika dia membalikkan badannya, dia terkejut ketika melihat Kalula menatapnya dengan keryitan di dahinya. Kalula langsung mengalihkan pandangannya karena tidak ingin bertatapan dengan Bima.

"Permisi, Raden Mas," ujarnya dan menelungkupkan kedua tangannya di hadapan wajahnya lalu pergi meninggalkan Bima yang sepertinya akan mengatakan sesuatu padanya.

Masa lalunya dengan Bima tidak boleh terulang hanya karena dia berada di sini untuk waktu yang lama. Kalula tidak ada urusan apapun dengan Bima dan hubungan mereka sudah selesai enam tahun yang lalu.

Seharusnya seperti itu.

***

"Mbak Kalula ngapain di sini?"

Kalula mengeryitkan dahinya ketika Kania Rahayu—pacar Abimanyu—datang dengan wajah tidak suka padanya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kania baru datang di pagi hari ini dan Bima sempat menyambutnya. Keduanya terlihat tidak sedang bertengkar dan tetap romantis saja jika Kalula perhatikan.

Kalula yang tadi berada di Pendopo Ageng dengan beberapa abdi dalem, terkejut ketika Kania langsung datang begitu padanya.

"Gue di sini karena ... menghormati Ibu," jawabnya dengan tidak yakin, karena seharusnya Kania sudah paham bahwa kehadirannya di sini adalah bentuk bela sungkawanya. "Kenapa?" tanyanya karena dia ingin tau maksud Kania bertanya seperti itu.

"Kalau begitu, bukannya Mbak Kalula nggak perlu lama-lama di sini? Mbak Kalula nggak perlu mengurus semuanya di sini, bukan?" Kania berkata sebal dan hal itu semakin tidak diterima oleh Kalula.

"Kania, kalau lo beranggapan bahwa gue di sini untuk cari muka ke pacar lo, lo salah. Bahkan selama di sini gue nggak banyak ngobrol sama pacar lo yang paling lo sayang itu. Gue dulu dekat banget sama Ibu. Ibu udah sayang gue kayak anaknya sendiri. Sebagai anak, nggak mungkin lo pergi di saat Ibu lo nggak ada, 'kan?" Kalula juga melipat kedua tangannya di depan dada dan tidak takut dilabrak seperti itu oleh Kania. Menurutnya, jika Kania beranggapan begitu, maka Kania sungguh salah dan begitu rendah pikirannya.

"Gue nggak seperti lo yang kabur entah ke mana saat lo tau Ibu calon suami lo tiada."

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang