Chapter 22

5K 582 69
                                    

Hai! Sangat terharu pas tau banyak yg nunggu cerita ini update. seriouslu, gatau kenapa aku tuh tiap bikin cerita selalu ada masanya mogok inspirasinya. jadi maafkannn :(

***
"Kalula, lo tuh sadar nggak sih kalau lo lagi dimainin sama Bima? Seenaknya dulu dia bilang dia udah lost feeling buat lo dan sekarang dia yang mohon-mohon sama lo buat ada di samping dia. Papa ngebesarin lo bukan buat lo jadi budak Bima kayak gitu, Kalu!"

Kalula menyesal sudah menceritakan pada Mbak Dita bahwa dia berada di Keraton dan menetap di sana karena paksaan Bima. Sebenarnya, posisi Kalula juga serba salah. Dia tidak tau harus cerita kepada siapa dan dia tidak bisa menyimpan semua ini sendirian.

"Gue suruh sopir Papa jemput lo ke sana ya?" putus Mbak Dita pada akhirnya yang membuat Kalula menggelengkan kepalanya.

"Mbak, lo tau sendiri gimana kerasnya Bima pas gue lagi di Jakarta? Gue nggak mau buat keributan apalagi sampe nyeret-nyeret nama Papa." Berurusan dengan orang ningrat dan terpandang di negara ini sangatlah merepotkan dan Kalula memilih untuk tidak membuat onar.

"Ya terus gimana, Kalu? Kalau lo nggak ada niatan keluar dari sana, ya lo akan terus jadi budak buat Bima."

"Gue lagi mikirin caranya, Mbak, tapi nggak bisa langsung instan. Gue juga harus mahamin dulu sebenernya akar permasalahan dari Bima ini apa." Tentu Kalula harus memiliki strategi jika ingin keluar dari Keraton ini. Masalahnya, dia sendiri belum tau maksud yang sesungguhnya dari Bima—kenapa pria ini terus meminta tolong padanya dan tidak melepaskannya barang sedetik pun. Semendesak apapun Bima jika ia disuruh menikah, mungkin dia akan memilih untuk menikahi Kania yang jelas-jelas akan menerima pinangannya, dibandingkan mengejar Kalula yang tidak pasti dan sudah putus dengannya bertahun-tahun yang lalu.

Kalula yakin ada maksud lain dari Bima.

"Makin lama lo di situ, makin susah lo keluar dari sana, Kalula."

Kalula menganggukkan kepalanya walaupun sebenarnya Mbak Dita tidak melihat dia. "Gue paham maksud lo, Mbak. Tapi, nggak. Gue nggak akan juga ngebiarin gue stuck di tempat ini terus. Gue cuman harus ngorek dikit permasalahan di sini dan gue bisa keluar. It's gonna be fine." Walaupun Kalula tidak tau akan seperti apa nantinya, tapi setidaknya, dia memiliki keyakinan bahwa dia tidak akan terkurung di sini selamanya.

"Kalau ternyata dia cuman mau lo jadi istrinya demi dapetin gelar itu, gimna?"
"Gue nggak segila itu, Mbak."

***

Kalula menemui Romo, Kanjeng Gusti Daneswara yang sedang beristirahat di tempat favoritnya; taman Pracima Tuin. Sore itu taman tersebut tidak seramai biasanya, Kanjeng Gutsi jadi memiliki waktu untuk sendiri—yang mana beliau memang selalu menyendiri setelah istrinya tiada.

"Duduk mari, Nduk. Saya mau ngobrol banyak sama kamu."

Kalula tersenyum ragu dan duduk di samping Kanjeng Gusti yang keadaannya semakin hari kian melemah. Mungkin rasa duka yang dia tahan semenjak Kanjeng Putri tiada, sungguh memengaruhi kondisi kesehatannya.

"Abimanyu sangat merepotkan buat kamu, yo? Saya ndak punya muka buat nemuin kamu setelah apa yang dilakukan Abimanyu. Saya beneran malu, nduk."

Abimanyu memiliki ayah sesopan ini dan Kalula sangat heran dari mana asal sifat Abimanyu yang sangat menyebalkan itu.

"Kanjeng Gusti, saya ngerasa sungkan kalau Kanjeng Gusti ngomong begitu sama saya. Saya nggak pernah memandang sebelah mata pada keluarga Kanjeng Gusti."

Kanjeng Gusti Daneswara menatap lamat-lamat pada Kalula. Jika istrinya masih ada di sini, tentu istrinya akan sangat setuju jika Bima menikahi Kalula. Tidak ada orang tua yang merasa rugi jika menikahkan anaknya dengan gadis seperti Kalula ini.

"Saya dan Kanjeng Putri dulu juga dijodohkan. Semua orang sepertinya tau hal itu. Dan iya, dulu saya masih mencintai wanita lain sebelum Kanjeng Putri."

Mendengar pengakuan Kanjeng Gusti, sekalipun Kalula sudah tau, Kalula tetap terkejut dan bingung mau menanggapi bagaimana. "Saya tau bahwa anak saya tidak bisa disamakan dengan saya untuk sifatnya, tapi sikapnya yang begitu menyebalkan dan sangat narsis ingin kamu menikah dengannya; juga karena keadaan."
"Saya tidak bisa menolerir sikap Bima, tapi saya mengerti ada di posisinya."

Kalula mengangguk. "Dia bisa saja menikahi Kania, Kanjeng Gusti. Yang jelas-jelas mau dengannya, mau berdiri di tahta Kanjeng Putri," ujar Kalula.

"Tapi mungkin Bima tau kalau Kania tidak semampu kamu."

Kalula mengeryitkan dahinya. "Saya juga tidak mampu, Kanjeng Gusti. Saya tidak pernah merasa mampu."

"Mendiang istri saya tidak mungkin sesuka itu sama kamu kalau dia merasa kamu tidak mampu. Saya membicarakan ini bukan untuk kembali menekan kamu agar mau menikah dengan Bima, tapi mungkin kamu juga bisa mempertimbangkan posisi Bima juga keuntungan yang akan kamu dapat dengan menikah. Kalula, Keraton ini sama rapuhnya seperti sebelum Kanjeng Putri belum naik tahta. Semuanya kembali seperti semula." Kanjeng Gusti menghela napasnya. "Saya juga ingin beristirahat dengan damai. Saya sudah terlalu lelah sekarang."

Hati Kalula tentu tercubit mendengarnya. Kanjeng Gusti menyandarkan punggungnya pada kursi di belakangnya. Kalula melihatnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Saya yakin Kania juga—"

"Ketika Bima memaksa ingin bersama kamu, maka itu yang dia mau dan anak bebal seperti dia tidak ingin ditolak oleh siapapun."

Kalula melakukan satu hal yang sungguhan salah di sepanjang hidupnya dan dia menyesali hal itu selama hidupnya juga; mungkin. Mungkin saja, Kanjeng Gusti benar, Kalula bisa membuat semuanya lebih baik.

***

Pelukan Bima padanya malam itu, sungguh berbeda dan Kalula tidak bisa berpikir dengan jernih. "Jadi, ini kita beneran balikan?"
"Bim, lepasin dulu dong." Kalula memukul pelan punggung Bima dengan maksud agar pria itu melepaskan saja pelukannya.

"Ngga, belum mau. Kamu beneran mau 'kan? Kamu mau bantu saya di sini? Beneran mau balikan sama saya?"

Kalula berdecak sebal dan menggeliat perlahan. "Bima!"

Bima tertawa bahkan ketika Kalula menatap marah padanya. "Saya nggak bilang kalau saya langsung mau jadi calon istri kamu. Saya cuman bilang kalau saya akan di sini dan membantu kamu juga Kanjengn Gusti, sampai kamu siap gantiin Romo kamu."

"Itu sama aja, Kalula. Yang saya denger itu sama."

Dan Kalula tidak tau kalau itu adalah hal yang paling dia sesali seumur hidup.

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang