Chapter 15

5.7K 640 23
                                    

Hai! Setelah liburan, mari kita kembali ke rutinitas seperti biasa wkwk. Selamat menjalankan hari pertama di kantor bagi kalian yang mulai cari cuan lagi hihi. Btw, selama liburan aku pergi ke Solo dan balik ke Puro Mangkunegaran--yang makin ciamikkk. Kaget banget ternyata sekarang tempatnya udah serame itu, penuh banget. Padahal dulu pas aku ke sana pertama kali, bener-bener sepi, dapet tour guide satu orang buat satu pengunjung dan nggak digabung jadi bisa lebih nangkep penjelasannya dan lebih privat juga. Tapi kemarin lagi banyak orang dan agak crowded tapi tetep menyenangkan. 

Selama di sana bener-bener nggak bisa berhenti mikirin Ajeng dan Danes (Cerita Garwa). 

Hihi! Selamat membaca!

***

Enam bulan kemudian...

Pracimoyoso didatangi keluarga Kania pagi itu. Tidak ada yang saling mengobrol juga tidak ada senyuman di wajah mereka. Semuanya tampak tegang, marah, kecewa, dan bertanya-tanya. Mereka menunggu kedatangan Kanjeng Gusti dan Adipati Anomnya yang harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan yang mereka minta.

Jamuan khas keraton yang diberikan pada keluarga Kania tidak ada satupun yang disentuh. Mereka hanya ingin segera bertemu Kanjeng Gusti Daneswara dan mereka tidak tenang sampai itu terjadi.

"Kania masih dimobil?" Ayah tiri dari Kania bertanya pada istrinya yang langsung dijawab anggukan oleh wanita itu.

"Aku udah ngasihi tau biar dia ke sini aja, Mas. Tapi kayaknya dia masih ... mau siap-siap dulu."

Kania bekerja di Jakarta dan beberapa bulan ini pergi ke Kalimantan untuk suatu penelitian. Tentu dia memiliki waktu yang lebih sedikit dalam berkomunikasi dengan tunangannya dan karena itu hubungan mereka tidak terlalu baik selama beberapa bulan ini. Apalagi ditambah ketika Kania mencoba memperbaiki hubungannya, Sang Raden Mas malah mengatakan ingin mengakhiri tunangan mereka—membatalkan semuanya dan mengulang dengan wanita lain.

"Permisi, Pak Hatta, Kanjeng Gusti akan datang sebentar lagi."

Seorang abdi dalem mengatakan hal itu pada ayah tiri dari Kania. Mereka langsung berdiri dan bersiap menyambut Kanjeng Gusti.

"Pagi," sapa Kanjeng Gusti Daneswara dan bersalaman dengan orang tua Kania. Mereka masih membalas sapaan dari Kanjeng Gusti walaupun sudah kesal dan ingin mendapatkan penjelasan dari tindakan anaknya.

"Maaf menunggu lama. Tadi saya juga ada urusan sebentar. Kuenya sudah dimakan? Kita mengobrol santai—"

"Nyuwun pangapunten, Kanjeng Gusti, tapi saya dan istri saya tidak ingin mendengar semua basa-basi ini. Saya hanya ingin tau kenapa anak dari Kanjeng Gusti tiba-tiba membatalkan pertunangan dengan putri kami. Apalagi memutuskannya lewat panggilan telepon saja."

Daneswara akan membalas ucapan Hatta, namun pria itu kembali memotong, "Saya tau Raden Mas diberikan tata krama yang bagus selama di Keraton ini dan tentu dia selama ini memperlakukan semua orang dengan baik. Tapi, saya tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba menyakiti putri saya dengan cara yang tidak etis."

Daneswara menghela napasnya dan mengangguk mengerti. "Saya tau seberapa kecewanya Anda dan istri Anda, Pak. Saya juga sama kecewa seperti keluarga Kania. Semua sudah disiapkan dengan baik dan tinggal menunggu hari, namun Abimanyu memilih jalan yang lain."

"Selama beberapa bulan ini, setelah kepergian ibunya, Bima menghadapi kehidupan yang cukup mengejutkan bagi dia. Saya akan turun tahta dan dia akan segera menggantikan saya, dia belajar banyak hal yang menurut saya memang berat. Saya sudah didampingi oleh mendiang istri saya waktu saya berada di posisi yang sama seperti Bima. Saya memang tidak membenarkan sikap Bima, tapi melihat seberapa besar beban yang dia tanggung, saya mengerti tindakan gegabahnya. Walaupun, sekali lagi, itu tidak dibenarkan."

Ayah dan Ibu Kania hanya menghela napas saja mendengar penjelasan dari Kanjeng Gusti. Bukan itu yang mereka maksud dan mau. Mereka ingin tau alasan dibaliknya—karena Kania sendiri mengatakan bahwa ada wanita lain yang berada di sisi Bima yang membuatnya sampai melukainya seperti ini.

"Saya sendiri ndak tau alasan pribadi Bima, tapi yang saya tangkap adalah seperti itu."

***

"Selama ini gue mencoba buat ngalihin pikiran buruk gue dari lo ya, Mbak! Gue yakin kalau Mas Bima nggak mungkin ngulang masa lalu sama lo!"

Kalula merasakan pipinya yang memanas karena ditampar oleh Kania. Dia mencoba sekuat hati untuk tidak membalas perlakuan kurang ajar dari wanita itu. "Gue tau lo dari keluarga yang baik-baik, nggak pernah macem-macem. Tapi ternyata lo tuh sama aja kayak cewek lain nggak tau diri yang bisa-bisanya ngerebut cowok gue!"

Kalula membetulkan rambutnya yang tergerai dan menatap tajam Kania yang sudah berani menamparnya di depan pendopo ageng. Untung saja tidak ada turis yang datang pagi ini sehingga keributan mereka tidak didengar siapapun.

"Gue bukan pelacur yang mau ngehancurin hubungan lo, Kania. Gue di sini karena gue kerja di firma hukum Romo. Gue ngebantu Bima buat ngurusin Keraton ini karena gue emang sehari-hari juga berhubungan dengan Keraton ini. Lo yang ngilang nggak tau ke mana dan lo dateng nuduh-nuduh gue yang nggak-nggak." Kalula tentu tidak terima dikatakan sedemikian rupa oleh Kania. Toh, memang dirinya selalu membatasi hubungan dia dengan Bima. Bima tidak ada lagi di hidupnya dan itulah yang harus diketahui oleh Kania.

"Terus kenapa Mas Bima tiba-tiba mutusin pertunangan sama gue pas lo ada di sini, Mbak?" tanya Kania dengan nada yang sangat memelas dan masih tidak terima bahwa Bima akan melakukan hal seperti ini pada dirinya.

Kalula menghela napas. Toh dia sendiri tidak tau bahwa Bima akan melakukan hal semacam itu. Dia juga tidak pernah bercerita apa-apa dengan pria itu sehingga dia sendiri juga terkejut.

"Gue kecewa sama Mas Bima, dan gue yakin penyebabnya itu lo!"

Kalula ditinggalkan oleh Kania begitu saja setelah Kania menunjuk Kalula dengan tajam. Kalula memijat pelipisnya karena pusing dengan segala omelan Kania.

Kalula tidak tau menahu soal keputusan Bima ini. Dia juga awalnya mengira bahwa keluarga Kania datang untuk membahas pernikahan Kania dan Bima. Tidak disangka bahwa pernikahan itu benar-benar batal sekarang.

***

"Bima, coba jelaskan dengan benar dan sopan pada ayah dan Ibu Kania."

Bima akhirnya datang dan menghadap langsung dengan orang tua Kania. Dia sudah terlebih dahulu meminta maaf atas sikapnya namun mengatakan bahwa keputusannya itu sudah bulat dan meminta Kania untuk menerimanya saja.

"Saya nggak mau nyakitin Kania. Dia tidak salah di hubungan ini. Namun, tujuan dan ekspektasi saya pada masa depan saya terlalu berbeda dengan Kania. Maaf, tapi saya tidak bisa melibatkan Kania dalam segala tujuan ke depannya yang saya rancang." Bima menatap Kania yang menyusul ke Pracimoyoso dan berkaca-kaca melihatnya. "Saya tidak melihat masa depan di antara saya dan Kania. Semuanya seolah stuck di satu fase dan tidak bisa berkembang lagi."

Daneswara menghela napas. Dia tau alasan dibalik sikap Bima yang seperti ini. Anaknya terlalu dibebankan oleh tanggung jawab yang besar yang memuat dia sempat kehilangan arah. Satu-satunya yang dia lihat agar bisa menuntunnya kembali ke tujuan hidup yang dia harapkan adalah Kalula.

"Maaf, Kania. Aku benar-benar minta maaf."

Kania menggeleng dan menangis. Langsung dia tutupi mukanya yang sudah sembab itu.

Hatta melihat putri tirinya dan menghela napasnya. "Keputusan kamu itu sangat mengecewakan. Dari penjelasan kamu, Raden Mas, saya tidak melihat adanya kesalahan Kania pada kamu. Keabsenan Kania di hidup kamu beberapa waktu terakhir saja kamu tau alasannya adalah pekerjaan Kania sendiri, bukan? Mungkin jika kamu memberikan kesempatan bagi Kania untuk mengabdi pada kamu dan Keraton ini, saya yakin dia mau melakukannya."

"Tapi kamu tidak lebih dulu menanyakan kesediaan Kania, kamu lebih dulu memutuskan semuanya atas perspektif kamu sendiri dan itu bukanlah tindakan yang menyenangkan bagi kami."

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang