Chapter 20

5.9K 600 55
                                    

Hai! See you minggu depan ya hehe 

love ya! Selamat membaca!

***

Papa

Kalu, baik2 aja kan di Solo? Kalau ada apa2, tolong kabari Papa

Kalula tersenyum melihat pesan yang dikirimkan oleh Papa kepada dirinya sore hari itu. Mungkin Papa merasa tidak enak karena sudah menyuruh Kalula ke Solo karena permintaan dari Sang Raden Mas. Mungkin juga ikatan batin Papa dan dirinya begitu kuat sehingga Papa mengerti kegelisahan Kalula selama di sini.

Tapi yang pasti, dia senang ketika keluarganya tidak melepasnya begitu saja dan masih menunjukkan kepeduliannya di tengah kekesalannya dengan Abimanyu.

Kecuali ... Mbak Dita.

Kakaknya itu marah-marah karena merasa Kalula terlalu lemah dan tidak bisa menolak dengan tegas keinginan Bima.

"Dia itu udah buang lo kayak sampah dulu. Seolah lo tuh nggak berharga. Terus sekarang dia ngemis-ngemis biar lo bantuin dia? Nggak tau malu banget!"

"Bisa nggak sih lo tuh yang lebih tegas dikit dan lebih tega dikit ke dia? Gue heran sama lo yang mau-mau aja dibodohin sama orang kayak gitu."

Kalula mengerti seberapa emosi kakaknya pada dirinya. Dia juga kesal karena dia tidak bisa melepaskan dirinya dari kukungan Bima.

"Kal?"

Kalula terkejut ketika Bima—yang tadi ada di pikirannya—ternyata berada di sampingnya dan menatapnya dengan penuh tanya. "Apa?"

"Kamu nggak denger, ya, dari tadi saya manggil kamu?"

Kalula menghela napasnya sebal. Kenapa Bima ini selalu ingin diperhatikan seolah dunia itu berputar untuknya? "Nggak semua orang mau ngedenger ucapan kamu kalau kamu nggak ngomong yang penting, Raden Mas."

Kalula berjalan keluar kantor dan bermaksud kembali ke hotelnya dengan menggunakan bus dalam kota. Wanita itu tidak tahu harus sampai kapan dia berdiam diri di hotel selama dia bekerja di Solo. Tinggal di Keraton sama saja seperti masuk ke kandang singa, dan Kalula belum memiliki rencana mencari tempat tinggal sementara di sini.

"Mau ke mana? Kamu ikut pulang sama saya aja." Sepertinya sindiran apapun dari Kalula untuk Bima tidak akan membuat pria itu menyerah mengikutinya.

"Ke mana, Raden Mas? Saya ikut kamu ke mana?"

"Keraton, Kalu. Bukannya itu udah jelas?" Kalula langsung melengos mendengar ucapan Bima. Pria ini sepertinya tidak pernah merasakan menjadi orang asing yang tidak diterima di suatu tempat. Kalula tidak mau lagi berada di sana. Lebih baik dia menghabiskan uangnya untuk menginap di hotel daripada menghabiskan tenaganya melawan semua orang di Keraton itu.

"Saya punya tempat tinggal di sini, Kalu. Di daerah Sukoharjo, kalau kamu mau tau. Saya bisa aja bawa kamu ke sana biar kamu nggak perlu repot buang-buang uang di hotel itu. Tapi saya masih punya tata krama dengan tidak mengajak kamu ke sana karena—"

"Kalau kamu punya tata krama, Raden Mas, sejak awal kamu seharusnya membiarkan saya sendiri di sini. Kita hanya sebatas teman kerja dan teman kerja tidak ada yang mengurus urusan pribadi masing-masing seperti kamu!" Kalula menatap tajam Bima dan seolah tidak gentar, Bima balas menatapnya.

"Nggak, saya bukan sebatas rekan kerja kamu saja, Kalu. Saya lebih dari itu dan saya peduli sama kamu. Siapa yang berani melarang kamu untuk pergi ke Keraton lagi, akan menghadap langsung pada saya dan saya akan menyuruhnya untuk tunduk pada kamu juga," ujar Bima yang seolah tidak pernah mengerti dengan semua ucapan Kalu dan ketidakinginan Kalula untuk kembali ke Keraton."

"Saya mohon, Kalula. Sekali ini saja. Saya janji ini terakhir kalinya saya memaksa kamu."

***

"Jadi, kapan Romo bisa turun tahta, Abimanyu?"

Di tengah keheningan dan temaram kamar Kanjeng Gusti Daneswara, Bima menatap ayahnya sembari menghela napas panjang. "Mo, Romo tau Bima belum siap."

Kanjeng Gusti menyimpan cangkirnya dan membetulkan posisi duduknya. Dia tersenyum kecil ke arah Bima sambil berkata, "Nggak ada yang pernah siap untuk berada di posisi dengan kekuasaan besar juga tanggung jawab yang sangat banyak ini, Bima. Kalau Romo sendiri ditanya kapan Romo siap, mungkin sampai saat ini juga Romo nggak pernah siap. Bim."

"Tapi keadaan memaksa Romo untuk naik saat itu. Keraton ini kosong kekuasaan, dan Eyang kamu ndak membiarkan itu terjadi cukup lama. Mau bagaimana pun, Keraton ini butuh seorang pemimpin—yang sigap, penuh tenaga, dan punya visi-misi."

Bima menundukkan kepalanya karena merasa aura Romo terlalu mencekam dan membuatnya segan sendiri.

"Ibu kamu dulu yang meyakinkan Romo bahwa Romo pasti bisa memegang semuanya. Karena itu, ketika kamu kemarin sudah memiliki tunangan, Romo semakin yakin untuk turun tahta dan menjadikan kamu penerus." Hubungan Bima dan ayahnya masih sama baiknya sebelum maupun setelah Bima memutuskan pertunangan dengan Kania secara sepihak. Romo memang kecewa, tapi sepertinya Romo sudah terlalu tua untuk marah-marah pada Bima.

"Tapi sekarang kan Bima nggak punya pendamping, Mo. Bima belum punya pengganti Kania."

Romo menatapnya dalam-dalam. "Belum punya atau kamu yang emang nggak mau melangkah lebih berani dan mendapatkan pengganti Kania?"

Wajah manis Kalula langsung terpampang di otaknya dan Bima menggelengkan kepalanya pelan. "Belum, Mo. Belum saatnya."

Romo menghela napas. "Terus Romo yang udah tua ini harus nunggu berapa lama, Le? Sampai kamu bener-bener siap?"

Bima diberitahu seberapa terkejutnya Romo ketika dia yang ditunjuk untuk menggantikan Kanjeng Gusti sebelumnya yang meninggal dunia karena sakit. Bima juga sempat ditakut-takuti oleh Romo bahwa mungkin Bima akan menggantikannya setelah dia tiada.

"Bima akan menyiapkan diri, secepat Bima."

***

Kalula terkejut ketika Bima berkali-kali meneleponnya dan mengatakan bahwa dia sudah berada di resto hotel tempat Kalula menginap. Bima gagal memboyong Kalula kembali ke Keraton dan akhirnya dia menyerah.

"Kenapa lagi sih, Raden Mas? Kamu butuh apa lagi dari saya?" todong Kalula pada Bima sesaat setelah dia duduk di hadapan Bima malam itu. Bima tampak gelisah, seolah dia ingin mengatakan sesuatu yang penting pada Kalula. Namun, hal itu tidak membuat pria itu menjadi lusuh dan tidak rapi. Penampilannya masih sama rapinya setiap kali Kalula bertemu pria itu.

"Romo baru ngomong sama saya tadi. Saya sebelumnya minta maaf karena ngenganggu jadwal tidur kamu." Bima melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dan menyadari ini sudah dini hari.

"Apa lagi?" Kalula masih mencoba untuk sabar.

"Menikah dengan saya, Datania Kalula. Saya mohon. Romo akan turun tahta sebentar lagi dan beliau ingin saya segera mencari pengganti Kania. Satu-satunya orang yang saya percaya hanya kamu. Saya yakin saya akan bisa menghadapi tantangan Keraton jika dengan kamu."

Kalula tidak menahan diri saat itu dan dia melemparkan air mineral di gelas yang ada di hadapannya itu pada Bima.

"Gila kamu!"

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang