Chapter 33

3.6K 369 7
                                    


Bima sungguh melakukan apa yang dia katakan dengan membentuk suatu organisasi yang beranggotakan anak-anak muda untuk mendukung dirinya. Anak-anak muda itu terlihat begitu menyukai Bima yang kharismatik dan lihai dalam bercakap.

Bima mengatakan pada Kalula bahwa dia sangat tidak bisa seperti ayahnya yang mengisi banyak seminar dan berbicara di hadapan banyak orang, tapi nyatanya Kalula melihat hal yang berbanding terbalik dari itu.

"... saya belajar banyak dari Romo saya tentang bagaimana menumbuhkan hal baru di tengah masyarakat dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengenal budaya mereka sendiri. Tapi ternyata mempertahankan apa yang Romo buat tidak semudah yang saya pikirkan ..."

Kalula berada di tempat yang sama ketika Bima bersosialisasi dengan orang-orang di sana. Dari sekian banyak acara yang disusun oleh Bima, ternyata langkah pertamanya untuk mengenalkan dirinya sendiri pada masyarakat ternyata sudah sangat berhasil.

Banyak orang yang memuji kelihaiannya dan Kalula bisa melihat itu semua dari tatapan orang-orang di sini.

Bima bisa terlihat menikmati perannya di sini, tapi bayang-bayang bahwa Bima melakukan ini agar dia bisa maju menjadi Walikota, membuat Kalula agak skeptis.

Acara itu selesai dan Kalula berbaur dengan orang-orang di sana agar tidak ada yang melihat dia dan Bima. Apapun hubungannya dengan Bima, sebaiknya tidak diketahui dulu oleh siapapun selain dari keluarga mereka berdua.

"Mas Bima, mau foto ..."

"... keren banget, Mas Bima ..."

Dan masih banyak pujian lain yang diterima oleh Bima. Kalula melihatnya dari kejauhan dan dia tersenyum kecil.

Setelah selesai berfoto bersama, Bima pergi ke salah satu kedai kopi otentik di Solo dan pemiliknya juga berada di sana untuk menyambut Bima. Ternyata yang katanya mengenalkan diri, sudah dikenal oleh masyarakat terlebih dahulu. Kalula yakin kedai kopi ini ramai karena kedatangan Bima hari ini.

"Raden Mas, monggo ..."

Kalula berada di belakang Bima dan pria itu sempat melirik ke belakangnya, bermaksud untuk memastikan Kalula berada di meja yang sama dengan Bima. Kalula menggeleng dan memilih melipir untuk pisah meja dengan Bima. Lagipula banyak sekali orang yang ingin bertemu dengan Bima dan Bima juga akan diwawancara sebentar. Kalula membiarkan pria itu dengan tugasnya sendiri.

"Mau pesen apa, Mbak?"

Kalula terkejut ketika ada seorang pelayan yang menghampirinya. "Hm ... ada latte?" tanyanya. Pelayan tersebut mengangguk dan menyuruhnya menunggu sebentar. Selagi menunggu, Kalula kembali memerhatikan Bima yang terlihat lugas menjawab pertanyaan-pertanyaan simpel dari semua orang yang ada di sana.

Pertanyaan mengenai kenapa Bima terus memilihnya sebagai calon prameswari dan apa tujuannya untuk selalu menahan Kalula, tiba-tiba saja menghilang dari pikirannya. Kalula tidak lagi mengingat tujuannya bertahan di Solo.

***

"Capek ya?" tanya Bima ketika Kalula keluar dari mobil yang berbeda dengannya.

Kalula melirik padanya dan menggeleng. "Nggak," jawabnya sambil berjalan menuju area dalam Keraton.

"Kalau nanti sekiranya acara beruntut lama kayak tadi, nggak apa-apa kalau kamu nggak nemenin saya. Kayaknya saya sekarang udah bisa mulai adaptasi sama role saya yang baru." Oh tentu Bima akan besar kepala dengan pencapaiannya hari ini. Dia yang awalnya meragukan dirinya sendiri, sekarang sudah membuktikan bahwa dia sama kerennya dengan sang Romo.

"Iya, Raden Mas."

Bima menolehkan sedikit kepalanya dan mengeryitkan dahinya karena Kalula seolah menghindari dirinya. "Kamu kenapa, Kalu?"

Kalula menghela napas. "Nggak, saya agak kelelahan aja."

Tapi malah gelengan kepala yang didapat Kalula sebagai jawaban dari Bima. "Pasti ada yang ngeganggu pikiran kamu, apa itu?"

Kalula menghentikan langkahnya dan menatap Bima. Untungnya para abdi dalem sedang tidak berada di sekitar mereka, sehingga mereka bisa berbicara berdua tanpa diganggu. "Raden Mas, saya juga ikut bangga dengan kamu yang begitu lihai memikat hati masyarakat. Saya tau bahwa kamu memang suka melakukannya—bersosialisasi dan mengenalkan diri kamu secara baik-baik. Tapi memikirkan bahwa itu semata hanya untuk kampanye kamu menjadi calon Walikota di masa yang mendatang, jujur itu membuat saya tidak terima."

Bima terdiam. Sedari tadi dia memastikan Kalula mengikuti jalannya acara dia ketika sowan ke berbagai tempat, tapi dia tidak menyangka bahwa Kalula akan terganggu pikirannya karena hal itu.

"Tidak, Kal. Saya mengikuti langkah Romo saya dulu yang melakukan ini juga, bukan hal yang salah."

Kalula mengangguk setuju. "Memang bukan hal yang salah, tapi semuanya akan berbanding terbalik ketika kamu mulai berambisi untuk mendapatkan jabatan yang lebih dari ini." Kalula menatap Bima cukup dalam. "Kamu sudah cocok menjadi Adipati, Raden Mas. Tapi menjadi Walikota hanya akan menjerumuskan kamu ke lubang kerakusan."

Kalula mengambil langkah pergi dari Bima, namun Bima tetap mengejarnya. "Jadi maksud kamu, kamu mau menemani saya untuk menjadi Adipati tapi tidak kalau saya menjadi Walikota?"

Kalula menghentikan langkahnya lagi dan menatap Bima dengan getir. "Iya, Raden Mas. Saya sudah melapangkan dada saya untuk menerima bahwa memang ini semua tugas saya—untuk mendampingi kamu. Tapi saya tidak bisa menerima kalau kamu melangkah lebih jauh dari ini."

Bima menggeleng dan menahan pergelangan tangan dari Kalula. "Memangnya kenapa sih, Kal? Ini juga buat Keraton dan keluarga di sini. Nggak ada salahnya dan nggak ada peraturannya bahwa saya harus menolak kesempatan itu."

"Kamu akan mengkhianati rakyat kamu, Raden Mas, kalau kamu memilih hal itu."

***

Tidak terasa bahwa pengangkatan Bima sebentar lagi dan tinggal menghitung hari. Seperti sebelumnya, Keraton kembali disibukkan dengan acara besar mereka, tak terkecuali Kalula yang ikut membantu para Budhe untuk mempersiapkan semuanya. Ya walaupun sebenarnya dia tidak membantu banyak karena tidak terlalu diberikan kesempatan.

"Kalu, tolong ini simpen di ruang makan, mau ada Eyang ikut makan malem ini."

Kalula yang sedari tadi duduk lesehan di lantai, akhirnya diberikan tugas juga. Kalula mengangguk dan langsung membawa nampan ke ruang makan. Sayangnya, nampan berisikan makanan itu tumpah karena Kalula tidak berhati-hati.

Budhe yang menyuruhnya tadi ternyata ada di belakangnya dan menjerit berlebihan ketika melihat itu. "Haduh!"

"Kok bisa tumpah gini sih? Pelan-pelan dong, Kalula!"

Kalula masih syok karena jeritan Budhe itu tadi, dan dia tidak tau harus melakukan apa dulu.

"Kayak gini doang nggak bisa, masa mau jadi Prameswari?"

Dan ucapan itu seperti menghantui Kalula.

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang