Chapter 5

7K 682 24
                                    

Kalula bermaksud pulang ke Jakarta lagi setelah dua hari kedatangan Kania di Pura Mangkunegaran. Kania mungkin beranggapan bahwa dia pulang karena tidak enak dengan pacar dari Bima sendiri. Padahal tidak, Kalula tau kapan dia harus menyelesaikan urusannya di sini dan inilah waktunya.

"Kenapa nggak balikan aja sama Raden Mas, Mbak?"

Salah satu sahabatnya yang juga sepupu dari Bima bertanya ketika Kalula sedang membereskan baju-bajunya. Dia hampir tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar ucapan dari Mala—sahabatnya itu. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Mala?"

Mala—Kumala—mengendikkan bahunya. "Kayaknya kalian itu masih berhubungan baik dan sepertinya nggak ada masalah apa-apa. Maksudnya, kalau kayak gitu 'kan nggak menutup kemungkinan untuk balikan."

Kalula menghela napasnya. "Apa yang udah selesai itu, ya udah. Nggak perlu terulang lagi. Gue bukan tipe orang yang suka baca buku yang sama untuk kedua kalinya," ujar Kalula sambil tertawa kecil. "Lagian Bima udah serius 'kan sama Kania?"

Mala mengangguk. "Raden Mas ada rencana tunangan sih sama Mbak Kania. Tapi nggak tau kapan. Harusnya dalam waktu dekat ini, tapi karena Kanjeng Putri mangkat, sepertinya diundur rencananya." Kalula hanya mangut-mangut saja mendengarnya. Toh, kehidupan Bima tidak ada urusan dengannya. Hidup mereka sudah berbeda dan mereka mengambil jalan masing-masing sudah enam tahun lebih ini.

"Kalula."

Kalula menoleh ke arah pintu kamar tamu yang dia tinggali di Keputren selama di Keraton ini dan melihat salah satu abdi dalem esti yang sudah sepuh, mengetukk pintu kayu kamarnya. "Dalem, Yu?"

"Anu ... hm ... sebelum Kalula pulang, saya dititipkan sesuatu." Abdi dalem itu masuk dengan sopan ke kamarnya dan duduk di lantai kamar tamu Kalula. Dia memperlihatkan sejarik kain dan kebaya cantik di hadapan Kalula.

"Mendiang Kanjeng Putri pernah mengatakan kalau kebaya ini adalah kebaya favoritnya. Kanjeng Putri selalu memilih untuk memakai kebaya ini. Beliau mengatakan kalau Mbak Kalula sepertinya akan sangat cantik juga ketika mengenakannya," ujar abdi dalem tersebut yang membuat Kalula menutup mulutnya tidak percaya. Kebaya yang ada di hadapannya sangat anggun dan cantik. Tipe kebaya janggan yang terlihat nyaman jika dipakai.

"Saya ingat kalau saya menyimpan ini karena Kanjeng Putri tidak lagi bisa menghadiri acara-acara penting selama beliau sakit. Jadi, sepertinya ini waktu yang tepat bagi saya untuk memberikannya pada Kalula."

Kalula menerima kebaya itu dengan tangan gemetar. Wangi Ibu masih tercium di kebaya ini dan membuatnya semakin merindukan Prameswari Ajeng.

Mala juga ikut berkaca-kaca karena dia sering melihat Kanjeng Putri mengenakan kebaya itu. "Coba dipakai, Mbak. Sebelum Mbak pulang ke Jakarta."

Kalula mengangguk setuju dan dia mencoba kebaya tersebut.

***

"Nah 'kan! Apa aku bilang? Mbak cantik banget!"
Kalula tertawa melihat Mala yang seperti kegirangan sekali ketika menatap dirinya yang memakai kebaya yang tadi diberikan padanya. "Tinggal disanggul terus rambut Mbak dikasih aksesoris, nanti tambah cantik—"

Kalula mengeryitkan dahinya ketika Mala tiba-tiba diam dan tidak melanjutkan ucapannya. Mala menatap ke arah pintu dan menelungkukan kedua tangannya di depan wajahnya. "Raden Mas," ujarnya pelan.

Kalula akan menoleh namun gerakannya tertahan ketika dia mendengar Bima berbisik, "Ibu ..."

Kalula berbalik langsung dan waktu seolah terhenti pada detik itu juga. Kalula melihat Bima yang sepertinya terkejut ketiak tau kebaya ibunya dipakai oleh dirinya. Kalula menghampiri Bima dan menelungkupkan kedua tangannya—seperti Mala—di depan pria terhormat itu.

"Maaf, Raden Mas, tadi abdi dalem Ibu ngasih ini ke saya. Maaf kalau saya lancang."

Bima masih termenung dan matanya kembali siap menurunkan air mata. Dia tidak menyangka bahwa dia seolah melihat ibunya sendiri dalam diri Kalula. Bima menatap Kalula dari atas kepala sampai ujung kaki dan menarik napas dalam-dalam.

"Nggak apa-apa," ujar Bima sambil menetralkan degup jantungnya. "Saya cuman masih kebayang-bayang sama Ibu. Ibu selalu pakai kebaya itu dan tadi saya kaget aja."

Bima masih menatap Kalula dengan seksama. Wajah Kalula yang tegas namun sangat enak untuk dipandang, mengingatkannya pada wajah sang Ibu yang tidak pernah bosan untuk ditatapnya.

Bima sedikit menyesal karena dia berpikiran untuk pergi ke Keputren tadi. Karena dia malah melihat Kalula yang sama seperti ibunya.

"Kamu ... jadi pulang hari ini?"

Kalula mengangguk. "Saya minta maaf sudah merepotkan selama di sini."

Bima tidak menjawab langsung. Dia hanya menatap Kalula dan hatinya berteriak tidak ingin melihat Kalula pergi. Tapi, dia juga tidak mungkin mengatakan itu langsung pada Kalula. Bisa-bisa terjadi banyak kesalahpahaman di antara mereka.

Aku nggak mau kamu pulang secepat ini. "Nggak. Saya yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah banyak membantu sejak Ibu tiada." Bima menelan air lurnya sendiri dengan berat hati.

Kalula tersenyum tipis. "Saya hanya ingin mengenang Ibu di sini. Itu saja."

Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan—soal ketakutan, mimpi, dan kekhawatiran aku. Please stay here, Kalula. "Hati-hati di jalan, ya."

Kalula mengangguk. "Terima kasih, Raden Mas."

***

"Aku bilang gitu karena mumpung semua keluarga kamu lagi ngumpul di sini, Mas Bima. Aku nggak bermaksud demanding kok." Kania berujar dengan pelan dan sedikit takut. Beberapa detik yang lalu dia mengutarakan pada Bima soal rencana mereka untuk memasuki jenjang yang lebih serius lagi.

Bima langsung marah dan mengatakan bahwa Kania tidak mengerti situasi yang mereka hadapi. Kania terkejut karena Bima mengatakan itu, padahal tujuan dia sangat baik.

"Ibu juga mengatakan kalau hal baik nggak perlu ditunda-tunda 'kan, Mas."

"Iya, Kania. Aku paham kok. Aku juga mau ngomongin itu semua tapi nanti. Setelah keadaan kita lebih baik lagi, aku pasti mau diskusiin semuanya baik-baik."

Kania menghela napas. Sudah menjalin hubungan selama enam tahun dengan Bima, maka tidak salah jika dia menanyakan soal kepastian, bukan?

Kania hanya mengangguk dan kembali melanjutkan makan malam mereka dengan para keluarga yang masih ada di Keraton ini.

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang