Chapter 18

5K 601 38
                                    

Halo! 

akhirnya bisa up setelah sekian lama. akutuh kebiasaan kalau nulis cerita di bab2 awal pasti selalu mandet, dulu nulis garwa juga gitu wkwk. semoga setelah ini nggak akan kehabisan ide lagi ya hehe love uuu

selamat membaca

***

"Kalau nanti bukan aku yang mendampingi kamu, Mas, kamu nggak apa-apa?"

"Memangnya apa yang harus jadi alasan buat aku ngelepas kamu?"

Kalula memejamkan matanya dan mencoba menghapus ingatan tentang dia dan Bima ketika masih berpacaran bertahun-tahun yang lalu. Sejak terakhir Bima langsung ke rumahnya dan memintanya untuk pergi ke Solo, Kalula tentu menolak. Bima pernah secara tiba-tiba mendepaknya menjauh dari hubungan mereka dan kini pria itu dengan tidak tau dirinya memintanya untuk kembali.

Kalula tidak gila untuk mengiyakan langsung permintaan Bima setelah apa yang dilakukan pria itu padanya.

Namun, seolah tidak kehilangan akal, Bima yang sangat manipulatif itu meminta langsung pada Papa dan Mama. Iya, pria itu datang kembali ketika Kalula berkumpul dengan keluarganya dan mengatakan bahwa dia dan Romonya sangat merasa dihargai jika Kalula mau membantu Keraton lagi.

Papa dan Mama juga merasa tersanjung ketika mendengar ucapan Bima—yang mana Kalula yakin Bima mengatakan itu hanya untuk meminta restu pada Mama dan Papa. Mereka langsung mengizinkan Kalula pergi ke Solo, tanpa menanyakan terlebih dahulu apakah Kalula sungguh ingin atau hanya karena suruhan Bima saja.

Lagi-lagi, Kalula bukan tipe anak seperti Mbaknya yang bisa memberontak. Kalula selalu tunduk dan tidak bisa melawan kedua orang tuanya.

Jadi, di sinilah Kalula; di kereta menuju Solo bersama Bima yang sedari tadi sibuk mengobrol dengan petugas di sana karena ayahnya dulu adalah salah satu komisaris PT KAI.

"Satu kesalahan saya dulu; saya melepas kamu cuman karena emosi sesaat saya aja, Kalu." Kalula terkejut ketika Bima menghampirinya dan memberikannya satu cangkir teh hangat.

Kalula menerimanya dan tidak membalas ucapan Bima sama sekali.

"Saya tau permintaan maaf aja nggak cukup."

Kalula menghela napasnya. "Udahlah, Raden Mas. Itu udah bertaun-taun yang lalu. Nggak pernah saya pikirin kok kalau sekarang." Lagipula, perasaan Kalula terhadap Bima sudah hilang. Dia menganggap Bima sebagai teman lamanya saja. Mau seberapa manis pun sikap Bima padanya, bagi Kalula, kisah mereka sudah tidak layak untuk diulang kembali.

"Setelah sama saya, kamu pernah dekat sama pria lain?"

Kalula diam saja.

"Kalu." Bima seolah tidak puas jika Kalula tidak menjawab ucapannya.

"Pernah, Raden Mas. Pernah beberapa kali," ujar Kalula pada akhirnya.

"Tapi sekarang lagi nggak berhubungan sama siapapun, 'kan?" Kalula cukup pintar untuk mengerti kenapa Bima menanyakan hal itu. Tapi, dia juga cukup pintar untuk tidak masuk ke dalam jebakan Bima.

"Kita cuman rekan kerja sekarang, Raden Mas, nggak ada lagi alesan buat saya ngasih tau hal-hal pribadi saya ke kamu." Kalula sudah merasa cukup dengan tindakan semena-mena dari Bima dan dia muak.

"Saya mungkin bisa nurutin kemauan kamu karena kamu memanipulasi orang tua saya, tapi jangan harap kamu itu bisa memanipulasi saya sendiri." Kalula menatap tajam Bima dan memalingkan wajahnya setelah itu.

"Nggak apa-apa. Saya bisa kok setelah ini membuktikan kalau saya sudah berubah. Bahwa saya menyesal udah lepasin kamu."

Kalula menggelengkan kepalanya karena tidak paham dengan sikap Bima. Mau segimana berjuang pun Bima padanya, sepertinya Kalula tidak akan goyah.

***

Suasana Keraton tidak dirasa sama lagi ketika Kalula datang ke sana. Para abdi dalem menunduk sopan padanya, namun tatapan mereka seolah menguliti Kalula. Kalula merasa tidak nyaman sejak dia menginjakkan kaki ke halaman depan Keraton.

"Biar Pak Tarjo yang bawa koper kamu. Kamu istirahat aja," ujar Bima sambil mengusap rambut Kalula dan membiarkan Kalula pergi ke Keputren di malam itu. Kalula sempat menghindar ketika Bima mencoba menyentuh rambutnya, walau itu tidak berarti apa-apa.

"Mbak Kalu," sapa salah satu abdi dalem padanya dan berdiri di depan salah satu kamar yang selalu dia tempati kalau pergi ke Keraton ini.

"Yu, sehat?" Kalula bersalaman dengan wanita paruh baya itu.

"Sehat. Mbak Kalu pasti capek ya abis perjalanan jauh dari Jakarta. Saya antar ke kamar ya, Mbak."

Kalula mengangguk dan ketika dia akan membuka pintu kamar di Keputren, abdi dalem itu menahan tangannya. "Bukan di sini, Mbak. Di belakang Keraton."

Kalula mengeryitkan dahinya tidak mengerti. Setau dia, di belakang Keraton itu adalah tempat untuk para abdi dalem.

"Kalula." Mendengar namanya disebut dengan jelas dan tegas, membuat Kalula memalingkan wajahnya dan melihat salah seorang sepupu dari Kanjeng Gusti menghampiri dirinya. Budhe Rania tersenyum kecil dan menahan tangan Kalula yang akan membuka pintu kamarnya.

"Saya yang menyuruh Yu buat nganterin kamu ke kamar kamu—bukan di sini, Kalula."

Kalula tertawa kecil dan terlihat keheranan. Kenapa sikap semua orang menjadi berbeda padanya?

"Kamu 'kan bukan siapa-siapa di sini. Kamu bukan anak dari Kanjeng Gusti, kamu bukan sanak-saudara kami, dan kamu juga bukan calon dari Raden Mas Bima. Kamar di Keputren ini sedari dulu ditujukan untuk keluarga perempuan dari Keraton ini."

Oke. Kalula mengerti. Dia dianggap sudah merusak masa depan Keraton karena membuat Bima dan Kania membatalkan pertunangan mereka. Semua orang tidak suka dengan kehadirannya di sini.

Kalula tersenyum dan mengangguk. "Saya nggak perlu repot-repot menempati kamar di belakang, Budhe. Saya bisa keluar sekarang dan pergi cari penginapan sendiri."

Budhe Rania tersenyum dan menghela napasnya. "Itu lebih bagus, Kalula. Terima kasih," ujarnya dan membalikkan badannya untuk kembali ke kamar beliau.

Kalula berdecak sebal. Dia langsung menyeret kopernya keluar dari area keputren. Belum apa-apa, Kalula sudah ingin kembali ke Jakarta—ke kehidupannya yang dulu tenang sebelum diganggu oleh Bima dan manipulasi gilanya itu.

Kalula meyakinkan dirinya bahwa dia juga bukan sembarang orang yang bisa dipandang sebelah mata. Dia tidak akan mengemis pada keluarga Kanjeng Gusti untuk ditampung di Keraton. Dia bisa pergi sendiri dan tidak mengandalkan mereka.

***

Kalula menginap di hotel yang biasa dia dan keluarganya gunakan ketika berlibur ke Solo. Dia terlalu lelah malam kemarin sehingga belum mengabarkan siapapun bahwa dia tidak berada di Keraton.

Pagi harinya, dia dikejutkan dengan ribuan pesan dan telepon dari Bima juga orang tuanya yang protes karena Kalula sama sekali tidak mengabari mereka.

Salah satu telepon yang dia jawab setelah terbangun ternyata berasal dari Bima.

"Kalula? Kalu, kamu denger saya?"

Kalula berdecak dan berdehem saja untuk menjawab ucapan Bima.

"Kamu di mana? Kenapa nggak ada di Keputren? Kamu pergi malem-malem? Jawab saya Kalula. Kalu? Halo?"

"Iya," jawabnya singkat.

"Sekarang di mana? Saya jemput kamu. Kalula?"

Dan hari itu dimulai semua drama kehidupan Kalula yang selalu direcoki oleh Bima sampai Kalula muak sendiri.

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang