Chapter 26

4.8K 349 13
                                    

Sampai jumpa minggu depan! Happy weekend!

***

"Kalau beliau akan mencalonkan diri sebagai Presiden di periode selanjutnya, tentu akan banyak pertanyaan di benak masyarakat, ya, Mo. Kita nggak ada hak untuk mencegah, tapi sepertinya semuanya sudah terbayang akan seperti apa." Bima menghirup rokoknya dalam-dalam sambil berbicara pada ayahnya yang membaca berita pagi itu. Romo ikut mengangguk mendengar ucapan Bima.

"Tapi namanya juga manusia, Bim. Mau sebesar apapun kekuasaan yang sudah dia miliki, akan selalu ada yang lebih menggiurkan baginya." Romo menanggapi. "Kamu dekat dengan beliau, 'kan? Romo dulu sempat menjalin kerja sama dengan ayahnya tapi sekarang nggak terlalu aktif lagi."

Bima kembali menghembuskan asap rokok dan berusaha mencegah asap itu menerpa wajah Romo yang duduk di seberangnya. "Nggak dekat banget sih, Mo. Ya sebatas kenal dan silaturahmi baik aja. Toh sepertinya beliau sekarang juga sudah sangat ingin mencalonkan dirinya. Bima hanya penasaran saja siapa yang akan menjadi wakilnya nanti."

Romo menatap Bima dalam diam. Jika diperhatikan dan menurut pandangan dirinya sebagai ayah, Bima ini sebenarnya bukan anak yang neko-neko. Sejak dulu, setiap permintaan dan suruhan orang tuanya selalu dikerjakan dengan hati yang tenang dan legowo. Tidak pernah Kanjeng Gusti melihat Bima melawan segala titahnya. Sejak zaman sekolah, Bima selalu menjadi anak yang dibanggakan.

Namun seiring dengan umurnya yang semakin dewasa, sikap nurut dan menjadi laki-laki baik itu perlahan luntur dari Bima lantaran dia juga memiliki rasa penasaran akan hal-hal bersifat duniawi. Kanjeng Gusti sudah bisa melihat bahwa Bima tidak akan bisa memantapkan hatinya secara dewasa pada satu wanita dan itulah yang sangat beliau takutkan.

"Bim."

"Iya, Mo?" Bima mungkin bisa menjadi anak yang nurut dan mau menuruti semua keinginan orang tuanya. Tapi. Bima tidak bisa dipercaya menjadi pria yang baik dan setia.

"Kamu tau seberapa besar sayangnya Romo sama mendiang Ibu kamu, 'kan?" tanya Kanjeng Gusti yang membuat Bima membuang puntung rokoknya, karena dia tau pembicaraannya dengan Romonya kali ini akan menjadi sangat alot.

"Kamar Ibu di Keputren saja masih dijaga dengan baik oleh Romo. Tentu Bima bisa melihat seberapa berartinya Ibu untuk Romo."

Kanjeng Gusti tersenyum simpul. "Kalau begitu, bolehkah Romo meminta kamu mencintai—siapapun yang kamu nikahi nanti—seperti Romo pada Ibu?"

Bima langsung tau ke mana arah pembicaraan Romo padanya. "Mo, Bima bukan pria yang seperti itu. Romo mungkin takut Bima akan menyakiti perasaan wanita yang mendampingi Bima nanti, tapi Bima bisa menjamin bahwa hal itu tidak akan terjadi. Bima mungkin masih menjadi pria yang menyebalkan karena memutuskan hubungan dengan Kania dan memilih kembali pada Kalula. Tapi Bima memiliki alasan Bima sendiri."

Kanjeng Gusti menatap anaknya lamat-lamat. "Romo berbicara dengan asisten dari Walikota kita yang sekarang, Bima, ketika beliau akan mencalonkan dirinya, beliau sangat yakin untuk menang. Ketika itu terjadi, beliau ingin kamu yang maju di pemilihan selanjutnya."

Bima langsung menegakkan badannya. Apalagi ini? Tanggung jawab sebesar apa lagi yang harus di emban?

"Maksudnya, Mo?"'

"Dia menyarankan kamu untuk ditunjuk sebagai Walikota Solo selanjutnya."

***

"Bagaimana menurut kamu, Kalu?"

Kalula melirik Bima yang untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kalula tidak melihat pria itu begitu gelisah. Bima tidak pernah terlihat setakut ini sebelumnya. "It's not that bad, Raden Mas. Kalau kamu hidup dalam kegelisahan dan ketakutan seperti itu terus-menerus, saya sudah bisa membayangkan akan seperti apa masa depan kamu dan keraton ini."

Bima menghela napasnya. "Menjadi Adipati Keraton ini saja belum, sudah dibayang-bayangi untuk jadi Walikota. Kamu bisa mengerti bagaimana perasaan saya, bukan?"

"Then why you don't start menjadi Adipati yang seperti sudah digariskan untuk kamu?" Kalula muak berdebat dengan Bima dan mungkin berbicara dengan kepala dingin seperti ini akan membuat dirinya tidak terlalu membenci pria itu.

"Kamu tau sendiri alesannya."

Kalula menggeleng. "Saya nggak tau. Saya nggak ngerti kenapa kamu tidak menuruti perintah ayah kamu untuk naik tahta."

Bima menatap Kalula dalam diam untuk waktu yang lama dan menjawab, "Calon istri. Saya belum bisa meyakinkan wanita yang ingin saya jadikan pendamping saya."

Kalula tidak bermaksud terlalu percaya diri, tapi dari ucapannya, Kalula tau betul bahwa ucapan itu ditujukan untuknya. "Setidaknya, saya ingin terjun langsung ke masyarakat, mengenal apa yang akan menjadi tugas saya ke depannya. Tapi saya butuh pendamping untuk itu."

Kalula melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Kalau begitu terus, kamu tidak akan bisa memulai semuanya, Raden Mas. Berhenti menjadi idealis. Kamu bisa memulai dan terjun langsung ke masyarakat sekarang juga."

Bima menghela napasnya. Lalu, menatap Kalula untuk yang ke sekian kalinya. "Dan kamu mau membantu saya?"

"Membantu kamu untuk mengenal rakyat kamu sendiri, Raden Mas? Saya bisa. Tapi jangan coba-coba mengatur saya dan memaksa saya untuk keinginan kamu sendiri."

***

"Run in Solo. Jadi ini konsepnya bakal kayak lari maraton aja sih, Mbak. Cuman nanti start dan finish nya itu di sini, di Keraton ini. Terus puncak acaranya nanti kita adain Keraton Festival and Concert yang diadain di sekitar Ngarsopuro sama lapangan depan itu." Kalula menjelaskan pada Mbak Restu yang akan menjadi EO untuk acara yang akan digelar di Keraton ini. Mbak Restu sendiri kenal dengan Kalula atas rekomendasi dari kenalan kantor Kalula di Solo, katanya EO yang dimiliki Mbak Restu memang sudah terkenal di kota ini.

"Oh oke-oke, Mbak, I see. Ini nanti rencana—"

"Kalu."

Kalula terinterupsi dengan panggilan itu dan langsung menoleh pada asal suara, membuat Restu menghentikan ucapannya. "Sebentar ya, Mbak." Dia melangkah menuju Bima yang memanggilnya tadi.

"Apa, Bim? Saya masih ngobrol sama Mbaknya."

Bima tersenyum. Sebulan setelah mengatakan bahwa Kalula akan membantu Bima, Kalula sungguh merealisasikan ucapannya. Di tengah kesibukannya di law firm bersama Bima, Kalula juga mempersiapkan acara yang akan digelar di Keraton ini. Tentu Bima senang karena pekerjaannya menjadi lebih mudah dan dia merasa lebih siap ketika Kalula membantunya.

"Makan dulu. Kamu belum makan siang dari tadi." Bima menyodorkan piring yang terdapat chicken cordon bleu kesukaan Kalula. Kalula menatap makanan itu dan perutnya sangat keroncongan. Namun, yang membuat dia terdiam adalah; setelah sekian lama, Bima masih mengingat apa makanan kesukaannya.

Atau mungkin dia memang tidak sengaja membelikan itu untuk kamu, Kalula. Nothing's special.

Kalula langsung disadarkan oleh pikirannya sendiri dan menatap kesal pada Bima. "Makasih," ujarnya dingin dan meninggalkan Bima dari sana. 

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang