Chapter 23

4.6K 506 18
                                    


"Memang nggak semua orang bisa ngikutin tarian ini kok, Mbak Kalu. Hanya orang-orang yang memang berdedikasi saja."

Kalula merasa dirinya dilecehkan ketika salah satu abdi dalem Keraton itu berbicara padanya. Hari ini, Kalula sengaja mengikuti kelas menari tarian Jawa yang biasa diadakan di Keraton ini. Walaupun sudah tidak seaktif ketika Kanjeng Putri masih ada, namun peminat kelas ini ternyata masih banyak juga.

Sabtu sore ini Kalula tidak memiliki kegiatan apa-apa sehingga dia akhirnya ingin mengikuti kelas ini. Hitung-hitung dia beradaptasi dengan kegiatan yang ada karena mungkin Kalula akan ada di sini untuk waktu yang lama.

"Saya dulu pernah ikut les balet, Yu. Di Jakarta. Jadi, mungkin saya nggak sekaku itu." Kalula sudah siap dengan mengenakan jarik dan daleman hitam yang melekat di tubuhnya. Dia mengikuti panduan guru tari di depan sana dan mengikuti gerakannya.

"Ini ndak sama kayak balet, Mbak."

Kalula mencoba tidak mendengarkan ucapan abdi dalem itu dan fokus saja pada kegiatannya. Toh, semenjak di sini, memang tidak ada yang memperlakukan Kalula dengan benar. Papa mungkin akan sangat murka jika mengetahui anak gadisnya diperlakukan seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Memang sebenarnya salah Kalula juga yang sangat bebal diberitahu.

Tidak terasa, dia mengikuti kelas itu sampai hari agak siang, dan dia kelelahan. Dia sengaja duduk di pendopo ageng dan melihat turis-turis yang asyik berfoto. Sambil menengguk minuman dinginnya, Kalula melihat-lihat ke penjuru.

Sampai akhirnya matanya tertuju pada satu turis yang sangat dia kenal. "Mas Kai?" tanyanya dan menghampiri Kaivan yang entah bagaimana bisa ada di sana.

Kaivan langsung menoleh ketika mendengar suara Kalula dan dia tersenyum dengan manis sampai terlihat lesung pipinya. "Kalu!" Dia memeluk Kalula seperti teman lama yang baru bertemu lagi. "Lagi di sini juga kamu?"

Kalula mengangguk. Dia agak tidak percaya diri bertemu dengan Kaivan ketika dia sedang berkeringat seperti ini. Mungkin seharusny dia tidak perlu memanggil Kaivan tadi. "Iya. Udah agak lama juga sih. Mas Kai belum pulang ke Jakarta?"

Kaivan seperti sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan Kalula karena dia terlihat tidak nyaman ketika Kalula menanyakan hal itu. Namun, dia menjawab, "Aku extend di sini. Jadi mungkin sama kayak kamu, bakal lebih sering di Solo."

Kalula hanya mangut-mangut saja. "Baguslah, jadi aku ada temen di kota ini."

Kaivan tertawa dan ikut setuju dengan ucapan Kalula. "Kamu lagi ikut kelas itu ya?" Kaivan menoleh ke arah bawah pendopo tempat kelas menari itu diadakan.

"Iya. Mas Kai mau ikutan juga?"

Kaivan tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak dong, tapi saya penasaran sama kelas menulis aksara jawa di sini. Tinggal agak lama di Solo buat saya jadi suka belajar hal-hal baru."

Kalula mengangguk. Dia juga harus mengakui bahwa pendewasaan dirinya dimulai sejak dia menginjak umur dua puluh enam dan apalagi ketika dia berpindah ke Solo setahun kemudian. "Saya juga merasa seperti itu."

Kaivan menatap Kalula untuk waktu yang cukup lama hingga Kalula tidak sadar. "Mas Kaivan di sini juga sengaja main atau gimana?" Saat Kalula menatap Kaivan lagi, pria itu langsung mengerjapkan matanya.

"Oh, hm, iya. Katanya kan di sini ada satu keraton yang emang lagi hits dan banyak disorot juga sama media. Keratonnya lagi maju-majunya sejak pemerintahan Kanjeng Gusti Daneswara. Saya penasaran dan akhirnya mampir."

Kalula tersenyum. "Dan bagaimana menurut kamu tentang Keraton ini, Mas?"

"Orang-orang tidak berbohong. Keratonnya memang cantik dan ditata dengan baik. Saya juga kalau tinggal di sini mungkin akan sangat betah."

Kalula tertawa kecil. Mungkin—mungkin saja—jika tidak ada kontroversi antara Kalula dan Bima, Kalula akan sangat nyaman bisa tinggal di sini.

"Sore nanti saja, bagiamana?"

Kalula mengeryitkan dahinya. "Apanya, Mas?"

"Sore nanti kita jalan-jalan keliling Solo. Mungkin kamu juga jenuh dengan kerjaan kamu di sini."

Kalula mengangguk mengiyakan.

***

"Kalula udah setuju untuk bantu kamu ngurus Keraton ini. Romo ndak tau dia bakalan setuju juga buat jadi istri kamu atau ngga, tapi setidaknya kamu tidak akan berdiri sendiri, Bima." Daneswara melihat Bima yang sedang mengarahkan abdi dalemnya untuk acara mendatang yang akan diadakan di Keraton ini.

Fokus Bima langsung tertuju lagi pada ayahnya dan dia mengangguk paham. "Bima bersyukur banget kalau Kalula setuju untuk nemenin Bima. Bima juga merasa nggak sekuat Romo untuk menghadapi Keraton ini sendirian."

"Memang bukan hal yang mudah, Bima. Memang sulit, karena itu Eyang kamu dulu juga menyuruh bahwa setiap adipati anom, diharuskan sudah memiliki calon istri terlebih dahulu. Agar tidak kaget ketika dibawa ke lingkungan ini." Romo menghela napas. "Tapi Romo yakin kalau Kalula tidak akan begitu kaget, dia tumbuh di Keraton Yogyakarta. Tata krama dan bahasanya tidak perlu kamu ragukan lagi."

Bima tau bahwa keputusannya meninggalkan Kalula beberapa tahun yang lalu adalah keputusan yang salah dan kini dia mencoba untuk memperbaiki itu semua sekarang.

"Mo, Bima janji—"

"Kamu sudah berapa kali berjanji sama Romo, Bim? Kapan Romo harus menunggu kamu untuk siap?"

Bima langsung tidak bisa mengatakan apa-apa lagi ketika ayahnya berbicara demikian. "Tapi Romo juga tau bahwa Bima tidak bisa mengendalikan semua ini tanpa persiapan yang benar, bukan?"

Kanjeng Gusti mengangguk. "Romo beri kamu waktu sampai bulan depan. Siap tidak siap, Bima."

Dan itu artinya, mungkin Bima memang harus memenangkan kembali hati Kalula dan dia memiliki waktu sampai bulan depan.

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang