Chapter 31

3.1K 372 10
                                    

Aku lagi usaha buat up tiap hari. Mohon dukungannya ya!

***

"Apa yang membuat pikiran kamu berubah, Kalula?" Mas Kai terlihat begitu kecewa dengan keputusan Kalula yang setuju untuk menikah dengan Bima. Kaivan diberitahu oleh Kalula setelah Kalula berada di Solo untuk dua minggu lamanya. Selama itu juga Kaivan berpikir bahwa dia masih memiliki kesempatan untuk menggantikan posisi Bima.

"Karena pada kenyataannya, Mas Kai, aku di sini yang salah karena terlalu dirundung perasaan tidak menentu yang membuat Bima berharap banyak sama aku. Aku yang membuat Kanjeng Gusti Danes mengharapkan penerus Prameswari pada diri aku sendiri. Jika aku lebih tegas saat awal, mungkin aku bisa mengikuti ucapan Mas Kai. Tapi semuanya udah terlambat."

Kaivan menggeleng dan dia menggenggam pergelangan Kalula seolah ingin mengajak Kalula pergi dari sana. Suasana pasar Ngarso Puro yang ada di depan Mangkunegaran begitu ramai namun berbanding terbalik dengan perasaan Kaivan sekarang. "Tolong pikirkan secara baik-baik, Kalula. Kamu tidak bisa mengatakan terlambat untuk semuanya. Kamu masih bisa merubah ini semua."

"Tidak ketika semua orang sudah memberikan ekspektasi mereka pada aku, Mas." Kalula melepaskan genggaman Kaivan. "Maaf, aku tau Mas Kai kecewa sama aku."

Malam itu, Kalula sungguh pergi dari Kaivan dan pria itu tidak bisa mencegah Kalula. Tidak disangka oleh Kaivan bahwa beberapa bulan setelahnya pria itu harus memanggil Kalula dengan sebutan Kanjeng Putri.

***

Kanjeng Gusti Daneswara seolah melihat secercah harapan untuk kehidupan Keratonnya begitu tau sang anak siap untuk mewarisi tahtanya. Rapat besar diadakan, walaupun tidak sedikit yang menentang Daneswara untuk turun tahta, namun keputusan Danes sudah bulat.

"Ada orang yang mampu berjalan dengan satu kaki yang pincang, ada orang yang tidak bisa. Saya termasuk yang tidak bisa, Kalula. Ketika istri saya pergi, walaupun sudah cukup lama, tapi jiwa saya tidak bisa kembali seperti semula. Saya tidak bisa memerintah sebagai adipati yang lemah. Sementara, saya memiliki anak yang masih memiliki banyak potensi dan kesempatan yang panjang untuk memimpin—yang mungkin akan lebih lihai dari saya sendiri."

Kalula baru keluar dari acara rapat besar yang diadakan di Keraton itu, dan Daneswara tiba-tiba berada di sampingnya untuk mengatakan hal yang cukup berat baginya. "Jadi saya tidak tau bagaimana saya harus berterima kasih pada kamu."

Kalula tersanjung, jujur saja. "Saya tidak tau apakah bisa selihai Ibu Ajeng kelak, Kanjeng Gusti, tapi saya bisa jamin bahwa Keraton ini tidak akan mengalami kemunduran di tangan Kanjeng Gusti yang baru nanti."

Daneswara menatap Kalula dengan begitu bangganya. "Ajeng akan sangat bangga pada kamu saat ini. Terima kasih, Kalula. Saya sangat berterima kasih." Karena pada akhirnya, yang diinginkan oleh sang Kanjeng Gusti hanyalah menghabiskan masa tua yang nyaman dan tenang sambil menunggu waktu dia menyusul sang istri.

Dugaan Kalula, ketika dia setuju untuk menikah dengan Bima, maka semua keluarga Bima tentu langsung akan berpihak padanya, tapi nyatanya tidak. Beberapa bahkan ada yang menganggap bahwa Kalula hanya mencari keuntungan dari pernikahan ini. Apalagi dengan isu bahwa Bima mungkin akan menjadi Walikota Solo selanjutnya.

"Rapatnya udah beres, nggak tidur aja Kalu?"

Kalula terkejut dengan kehadiran Bima di tengah sibuknya pikiran Kalula yang memikirkan sikap keluarga Bima padanya.

"Belum ngantuk, Raden Mas."

Bima mengangguk dan mengajak Kalula pergi ke tempat yang lebih sepi dan privat bagi mereka untuk mengobrol berdua.

"Saya sambil merokok, nggak apa-apa, kan?"

Kalula melirik rokok yang dikeluarkan oleh Bima dan dia mengangguk. Kebaya dan jariknya masih melekat rapi di tubuhnya sehingga dia duduk di samping Bima dengan posisi yang sangat anggun.

"Saya akan naik tahta bulan depan."

Kalula diam mendengarkan. Keduanya sama-sama menatap ke arah depan mereka seolah di sana lebih menarik untuk di pandang dibandingkan menatap kedua mata masing-masing.

"Selama satu bulan ini saya akan mencoba mengenalkan diri saya kepada masyarakat dengan lebih proper, seperti Romo dulu. Jika dulu Romo kendalanya adalah kakak tirinya yang lebih dikenal oleh masyarakat, kalau saya sekarang adalah Romo sendiri."

Kalula mengeryitkan dahinya dan sempat melirik Bima yang masih menghirup rokoknya. "Kenapa kamu mikir kalau Romo kamu yang menjadi penghalang?"

"Karena Romo begitu hebat, Kalula. Saya akan sulit menggeser Romo di hati masyarakat. Harus sehebat dan selihai Romo, dan bahkan lebih."

Bima ini seperti tidak tau harus melakukan apa dalam hidupnya karena semuanya seperti sudah ditulis skenarionya oleh orang tuanya. Dia terlalu buta untuk menentukan keinginan dia sendiri.

"Kenapa harus menggeser, Raden Mas? Kanjeng Gusti dan Raden Mas, akan memiliiki porsi masing-masing di masyarakat Solo. Kanjeng Gusti dikenal dengan memajukan Keraton ini dan kamu memiliki tugas yang lain."

"Mempertahankan itu memang lebih sulit, Raden Mas. Tapi bukan berarti mustahil."

Bima kali ini menoleh pada Kalula yang masih seperti menghindari tatapannya sendiri. "Saya terlalu mengedepankan ego saya saat dulu memutuskan hubungan dengan kamu, Kalula, dan saya menyesal untuk itu sekarang. Karena sudah menyia-nyiakan kamu yang begitu pantas menggantikan posisi Ibu saya."

Kalula menghela napasnya. Dia masih tidak suka jika Bima membahas soal masa lalu mereka. "Saya nggak sepantas itu, Raden Mas, saya masih perlu banyak belajar."

Bima tersenyum dan mengangguk. Tangan Kalula yang berada di paha wanita itu, seolah meraung-raung untuk digenggam oleh Bima. Namun Bima menahannya. Mungkin dulu dia bisa menggenggam kedua tangan itu dengan mudah, tapi sekarang tidak. Belum saatnya Bima kembali mendekatkan dirinya pada Kalula.

Wanita itu perlu banyak waktu.

"Saya nggak ada maksud untuk mengancam kamu lewat Pakdhe kamu. Tapi, jika kesannya memang seperti itu, saya minta maaf."

Kalula menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Memang kesannya seperti itu. Seolah saya tidak diberikan kesempatan untuk menolak pernikahan ini, tapi memang pada awalnya saya yang terlalu memberikan kesempatan lebar pada Raden Mas dengan datang ke sini."

"Jadi, tidak perlu membahas ini lagi."

Bima mengangguk setuju. "Tidak perlu bahas apa yang sudah terjadi, bukan? Lebih baik kita membicarakan masa depan kita." Karena Bima sangat yakin bahwa dia memiliki banyak kenangan indah untuk diukir dengan Kalula di kemudian hari.

Kalula hanya tersenyum simpul.

"Perihal Raden Mas yang akan maju ke pilkada, apakah itu benar?"

Bima terdiam sebentar dan membuang puntung rokoknya yang masih setengah itu. "Saya nggak tau, Kalula." Dia menginjak puntung rokok itu sampai mati. "Jika diberikan kesempatan, akan saya ambil. Lagipula, saya memang harus selangkah lebih depan dibandingkan Romo, bukan? Jika Romo dulu tidak sempat berada di posisi itu, mungkin sekarang saya harus mencobanya."

Kalula kali ini mengganti posisi duduknya menjadi menghadap Bima sepenuhnya. "Kamu harus berhenti menganggap Romo kamu sebagai saingan kamu, Raden Mas."

Bima mengangguk.

"Tapi saya memang harus lebih maju dibandingkan beliau."

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang