Chapter 24

4.5K 514 16
                                    


"Jadi, kerjaan kamu di Solo itu kurang lebih masih sama aja kayak kerjaan kamu di Jakarta, ya, Kal?"

Kalula sibuk memilih surabi Solo yang dia mau sehingga dia tidak langsung menjawab pertanyaan Kaivan.

"Kal?"

Kalula tersentak sebentar dan menyadari bahwa dirinya sempat tidak mendengarkan ucapan Kaivan. "Eh, iya Mas. Emang masih sama aja sih. Cuman apa ya ..." Kalula mengambil satu box surabi Solo yang dia mau. "... lebih merasa bebas aja. Aku ngerasa kalau aku bisa membuktikan kalau aku bukan anak Papa yang manja yang cuman numpang kerja di tempat Papa."

Kaivan mengangguk dan tertawa kecil. "Kayaknya kamu keliatan muak banget sama anggapan orang-orang itu." Kaivan mengenal Kalula dari Pak Janika. Tentu dia tau seberapa strugglenya Kalula dengan anggapan kerabatnya yang menyangka bahwa kehidupan Kalula itu sangat nyaman dan dia tidak melakukan pengorbanan apapun untuk sampai di titik ini. Walaupun memang benar hidupnya nyaman, tapi Kalula tetap tidak suka.

"Iyalah, Mas." Mereka berjalan ke meja kasir untuk membayar jajanan pasar yang dipilih Kaivan, juga surabi Solo yang dibeli Kalula. "Orang tua aku memang provide apapun yang aku mau, tapi bukan berarti aku ga berjuang sama sekali. Sebel banget pokoknya."

Kaivan mangut-mangut saja mendengarnya. "Saya tau kok kalau kamu tuh emang hebat, Kal."

Kalula sempat terdiam melihat tatapan Kaivan yang tertuju padanya untuk sepersekian detik. "Semuanya jadi lima puluh dua ribu, Mas, Mbak." Sampai akhirnya suara dari mbak-mbak kasir itu mengambil perhatian mereka.

"Oh oke," ujar Kalula sambil mengambil dompetnya, yang mana gerakannya itu langsung ditahan oleh Kaivan.

"Nggak Kal, sama saya aja."

"Eh apa sih, Mas? Nggak-nggak, aku aja."

"Nggak usah." Gerakan Kaivan lebih cepat dan langsung memberikan cash kepada kasir itu. Sementara Kalula mengeluarkan kartu debitnya.

"Maaf Mbak, di sini nggak bisa pake kartu. Lagi rusak mesinnya soalnya."

Kalula langsung melihat wajah kemenangan pada Kaivan yang membuatnya berdecak sebal. "Yowes, nanti abis ini giliran aku yang traktir ya." Kalula mengultimatum.

"Nggak mau," ujar Kaivan sambil meledek Kalula dan mengambil belanjaan mereka terlebih dahulu.

Mereka berjalan ke mobil yang terparkir di depan gedung pertokoan. Selama di Solo, Kalula menyadari bahwa cuaca di sini begitu panas dan bisa menandingi Jakarta. Bahkan ketika di malam hari seperti sekarang ini. Jika Kalula bukan orang Jakarta, mungkin dia sudah kesal bukan main dengan cuaca paanas di sini. Kalula menghela napasnya ketika berada di mobil Kaivan. "Ini mobil kamu dibawa dari Jakarta?"

Kaivan menggeleng. "Saya beli lagi pas di sini. Saya nggak kuat nyetir Jakarta-Solo. Lagian mobil yang di Jakarta dipake sepupu saya."

Kalula mangut-mangut. "Berarti emang ada rencana jangka panjang di sini, ya, Mas?"

Kaivan mengangguk. "Emang, Kal. Saya juga seneng kok di sini." Senyuman di wajah Kaivan terlihat sangat manis dan sangat pas dengan lesung di pipinya. "Kalau kamu—"

Dering telepon Kalula menghentikan ucapan Kaivan dan Kalula langsung buru-buru mengambil ponselnya. Kalula menghela napas dan mematikan panggilan itu sepersekian detik setelah tau siapa yang meneleponnya.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Kaivan. Dia mencoba membagi fokus antara dia menyetir dam fokusnya pada Kalula.

"Nggak penting, Mas."

Kaivan langsung tau ada yang tidak beres. Dia mencoba memancing Kalula. Kaivan memang tidak mengenal dekat Kalula sebelum ini, tapi gerak-gerik Kalula menunjukkan semuanya. "Pacar kamu? Lagi marahan?" tebaknya.

Kalula tertawa. "Aku nggak ada pacar, Mas."

Kaivan menghela napas. Dia tidak mengomentar apapun lagi, karena ponsel Kalula kembali berdering.

Kalula berdecak kesekian kalinya, dan Kaivan tetap diam. Ponsel itu terus berdering untuk beberapa saat kemudian sampai akhirnya Kalula tidak bisa mendiamkannya lagi. "Apa?" ungkapnya setelah mengangkat panggilan itu. Kaivan memilih diam. Dia bukan siapa-siapa Kalula dan dia juga tidak memiliki hak untuk melarang Kalula memarahi siapapun orang yang meneleponnya itu.

***

"Sebenernya aku masih mau diajak jalan-jalan, Mas. Maaf ya malah harus pulang jam segini. Masih jam sepuluh padahal."

Kaivan tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Kalula dengan gemas. "Nggak apa-apa. Saya juga masih ada waktu di Solo, jadi kita bisa jalan-jalan lagi nanti."

Kaivan sebenarnya ingin tau apa yang membuat Kalula harus pulang ke Keraton Pura Mangkunegaran ini. Dia sedikit ragu untuk bertanya lebih jauh, namun dia masih sangat ingat bahwa keluarga Kalula masih menjadi bagian dari keluarga Yogyakarta Hadiningrat. Mungkin keluarganya juga masih ada hubungan dengan keluarga di Solo sehingga dia tinggal di sini.

Kalula mengangguk. "Hati-hati pulangnya, ya, Mas Kai."

"Iya. Nanti saya kabari kamu lagi, ya." Kaivan langsung masuk ke mobilnya dan meninggalkan Kalula di pelataran Keraton. Awalnya Kaivan ragu untuk meninggalkan Kalula begitu saja. Suasana Keraton yang sepi di malam hari sedikit membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi, Kalula terlihat nyaman-nyaman saja, sehingga dia berani meninggalkan wanita itu.

***

Beberapa jam sebelumnya...

Bima seperti orang kesetanan ketika tau Kalula tidak ada di Keraton sore itu. Tidak ada yang tau ke mana perginya Kalula, bahkan abdi dalem yang berjaga di sekitar kamar Kalula juga tidak melihat keberadaan wanita yang pernah mengisi masa lalu Bima itu.

Ribuan pesan dan ratusan panggilan sudah dikirim oleh Bima pada ponsel Kalula yang tidak aktif.

"Dia ndak akan ke mana-mana, Raden Mas. Mungkin memang lagi mau cari udara segar keliling Solo saja."

Bima tetap tidak bisa tenang, walaupun memang benar; Kalula tidak akan ke mana-mana. Wanita itu sudah mengatakan padanya bahwa dia akan membantu Bima. Bima yakin Kalula tidak akan mengingkari janjinya sendiri.

"Apa yang buat kamu sangat ingin bersama dia, Raden Mas?" Di kala Bima tidak bisa berhenti memikirkan Kalula, tiba-tiba saja Budhe Ratih, salah satu sepupu jauh dari Romo, yang tidak tau sejak kapan menetap di Keraton ini, menghampirinya.

"Budhe tau kalau kamu membatalkan rencana pernikahan kamu dengan Kania karena dia."

Bima menghela napasnya. Berkali-kali dia berusaha menjelaskan bahwa Kalula bukan penyebab batalnya pernikahan dia dengan Kania pada keluarganya, namun sepertinya itu semua tidak akan membuat pikiran mereka berubah.

"Bima sedang tidak ingin membicarakan itu, Budhe."

"Kania mau diajak ke Keraton ini, dia mau membantu kamu, dan dia selama ini mau mendampingi kamu, bukan?"

Memang. Memang begitu. Tapi setelah Kania pergi ke Kalimantan dan sibuk dengan pekerjaannya, Bima menjadi ragu. Dia tidak yakin Kania akan bisa sehebat ibunya ketika mengurus keraton ini.

"Budhe—"

"Romo kamu itu sudah ingin turun tahta, apa kamu tidak kasian?"

"Budhe ..."

"Coba berpikir dengan dewasa dan kepala kamu yang dingin, Den Mas."

"Saya melihat Ibu di diri Kalula. Itu alasannya."

***

MahligaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang