Bismillah.
Happy reading, guys!
***
Tepat pukul dua siang. Bel sekolah berbunyi nyaring disetiap penjuru sekolah. Dan itu artinya, sudah waktunya para siswa untuk pulang. Aku bersama teman sekelas ku-Caca, melangkahkan kaki keluar kelas dengan lesu.
Hari ini adalah hari yang melelahkan dan hari yang menyebalkan. Aku mendapat pesan dari kak Ruby yang merupakan kakak kelas sekaligus tetangga ku. Ia berkata, untuk menunggu-nya terlebih dahulu karena gadis itu tengah mengikuti bimbingan belajar yang diwajibkan oleh sekolah kami.
Aku dan kak Ruby akan pulang bersama.
Sembari menunggu kak Ruby, aku dan Caca berdiri di lantai dua sekolah. Dari sana, kami bisa melihat murid-murid yang berjalan di tengah lapangan. Kami berdua mempunyai kebiasaan buruk yang sama, yaitu-- menunjuk siapapun yang lewat di lapangan dari lantai dua sekolah. Memalukan? Tentu.
Caca meneliti satu persatu murid pria yang berjalan di tengah lapangan dan berkata. "Banyak cogan ya, Hil." ujar Caca.
Aku memutar bola mataku malas. "Tanpa kamu kasih tau, aku juga tau kali, Ca." ujarku.
Aku dan Caca sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Eum... Mencari-- ralat, melihat pria tampan di tengah lapangan. Itu yang ku maksud.
Caca menunjuk satu pria yang sedang berjalan. "Hil, liat! Yang itu ganteng banget eh, sumpah."
Aku hanya diam menyimak. Mata ku juga kembali melihat-lihat semua murid yang berjalan di tengah lapangan. Sampai, bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman.
Aku menepuk pundak Caca, dan menunjuk pria yang berada di lapangan. "Yang itu ... Aku tandain, no debat!"
Caca mendorong bahuku pelan. "Tau aja yang cakep kamu, Hil." ujar Caca diakhiri kekehan kami berdua.
Sebuah notifikasi pesan masuk, membuatku membuka ponsel yang ku letakkan di saku rok sekolahku. Ternyata, itu kak Ruby. Ia sudah diperbolehkan pulang, karena jam bimbelnya telah selesai. Aku dan Caca pun menuruni anak tangga, dan berpisah tepat di lantai satu sekolah. Caca pulang, dan aku menuju ke depan kelas kak Ruby.
***
Terik matahari siang ini, membuat kulit kami seakan terbakar. Kak Ruby mengendarai motor, dan aku hanya menjadi penumpang. Raut lelah di wajah kak Ruby sangat terlihat.
Gadis itu menghela nafas berat. "Capek banget aku, Hil, kamu yang kendarain motornya nih." ujarnya.
Ruby Anneta Sharen, atau gadis yang biasa dipanggil Ruby.
Kedua bola mataku membelalak, kemudian aku berdecak. "Kamu gila, ya? Kalo aku yang kendarain, nanti yang ada kita malah jatuh."
Ya, dapat kalian simpulkan, kalau... Aku tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Kak Ruby tertawa renyah sembari berkata, "Hilwa ... Hilwa ... Abi kamu aneh banget sih? Masa kamu udah sebesar ini, tapi belum diajarin naik motor sih?"
Aku menghela nafas kasar. "Ya kamu tau lah, kak, orang tua aku gimana. Tapi menurut aku, kali ini parah banget sih, kak."
"Kenapa lagi?" tanya kak Ruby penasaran.
"Masa kata abi, aku boleh naik motor pas udah lulus kuliah. Yang bener aja, belum belajar naik motor, udah dipingit duluan!"
Tawa kak Ruby pecah saat itu juga. Sungguh, aku merasa kesal, tapi ya mau gimana lagi? Ini resiko kalau aku bercerita kepada kak Ruby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilwasya Raidhanaya
Teen Fiction[Diikutsertakan dalam lomba PENSI VOL-9] DILARANG MEMPLAGIAT CERITA INI DI PLATFORM MANAPUN DAN DALAM BENTUK APAPUN! yang plagiat, ku doakan jari kamu disentil malaikat. *** Januari 2021. "Aku janji, aku bakal buat kak Raidhan abadi di karya-karya k...