Bismillah.
Happy reading!
***
Sebulan kemudian...
Aku berjalan lesu menuruni anak tangga. Kalian tahu? Mata pelajaranku hari ini adalah Sosiologi, Bahasa Sunda, dan--Geografi. Hahah, melelahkan. Guru Bahasa Sunda ku sangatlah menyebalkan. Sensian, dan suka sekali marah-marah. Namanya--tidak perlu ku beritahu, ini rahasia negara.
Aku pulang dengan menaiki ojek online. Setibanya di rumah, aku langsung mengganti pakaianku, lalu beristirahat sebentar. Dirasa cukup, aku bangkit dari rebahanku, dan melangkah menuju rumah kak Ruby.
"Cantik!!" pekikku saat aku berada di depan gerbang rumah kak Ruby.
"Masuk, Hil," sahut kak Ruby dari dalam rumahnya.
Aku membuka pintu gerbang, dan masuk ke dalam rumah gadis itu. Aku duduk bersila di ruang tamu. Kak Ruby duduk disampingku, lalu menepuk pelan pahaku. "Kamu tau gak?" ujarnya, dan aku menggeleng. "Raidhan sama Fino kalo makan es krim, di es krim Amang!" sambungnya antusias.
"Es krim Amang dimana?" tanyaku heran. Aku tidak tahu dimana tempat es krim seperti itu. Aku biasanya membeli es krim di minimarket, atau di dekat rumah.
Kak Ruby meminum air mineral di gelas. "Itu loh, di depan SMP empat," ucapnya setelah meminum air.
"Eum... Kapan-kapan kita coba beli es krim disana, yuk," ujarku.
Kak Ruby mengangguk. "Boleh!"
***
Aku dan Caca baru saja melaksanakan shalat dzuhur di sekolah. Saat kami berjalan di lapangan sekolah, aku melihat kak Rama sedang berjalan, sendirian. Tanpa Raidhan. Apa--kembarannya itu sakit lagi? Tidak tahu. Tapi mungkin saja sudah pulang.
"Kak Rama," sapaku ketika kami berpapasan. Aku bodoh? Tentu, iya. Entah mengapa, mulutku ini sangat tidak bisa diajak komporgas. Asal saja menyapa orang. Sudah tahu kalau itu--teman dekat kak Raidhan, kenapa aku sapa? Memalukan.
Pria itu menoleh. "Iya," balasnya, lalu kembali berjalan.
Caca menaikkan satu alisnya. "Siapa, Hil? Sokab bener kamu," ujarnya mendorong bahuku pelan.
Aku berdecak. "Temen deketnya kak Raidhan," ujarku sedikit berbisik.
"Dih? Beraninya kok nyapa temen kak Raidhan. Sapa kak Raidhannya langsung dong," ujar Caca menantang.
Aku berdecak sebal. Berjalan mendahului Caca dengan kaki yang aku hentak-hentakkan. Caca memang ahli dalam bidang -merusak moodku-, ingat itu.
Baru saja sampai di kelas. Aku sudah mendapat ejekan dari, Zaki. Pria yang--menyebalkan, sama seperti Caca. "Halo, Abdul!" sapa pria itu. Lebih tepatnya mengejek. "Mau liat tugas Bahasa Indonesia dong, Hil."
Aku tak berkata apapun, lalu melangkahkan kaki menuju kursi ku. Aku duduk, dan mengambil buku Bahasa Indonesia ku.
Zaki kembali mendekati ku. "Liat dong, Hil," ujar Zaki.
Aku menaikkan sebelah alisku. "Maaf, kita kenal?" ujarku dengan tersenyum miring.
Zaki membelalak kaget. "Gile, bro! Kita masih sekelas aja kamu udah sombong gini, gimana nanti kalo beda kelas?"
"Paling kamu yang sombong, Ki," ujarku.
Zaki mengadahkan tangannya keatas, berdoa. "Semoga, nanti kita sekelas lagi, ya, Hil? Aamiin," ujarnya.
"Najis! Aku nya gak mau sekelas sama kamu, Ki!" sarkasku menatap Zaki sengit.
Zaki mengelus dadanya, sabar. "Ya allah. Sabar, Ki, sabar... Dia cewek," gumam Zaki yang masih bisa aku dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilwasya Raidhanaya
Teen Fiction[Diikutsertakan dalam lomba PENSI VOL-9] DILARANG MEMPLAGIAT CERITA INI DI PLATFORM MANAPUN DAN DALAM BENTUK APAPUN! yang plagiat, ku doakan jari kamu disentil malaikat. *** Januari 2021. "Aku janji, aku bakal buat kak Raidhan abadi di karya-karya k...