Riodan?

20 11 1
                                    

Bismillah.

Happy reading!

***

Satu bulan kemudian...

Sudah satu bulan setelah kejadian itu... Aku menjalani aktivitasku seperti biasanya. Bohong jika dibilang aku baik-baik saja. Tapi, aku cukup sadar diri untuk tidak terlalu larut dalam rasa cemburu. Lagi pula, aku siapa? Apa hak ku untuk cemburu? Tidak ada.

Tersenyum adalah hal yang paling mudah untuk aku lakukan guna menutupi apa yang masih sangat mengganjal dipikiranku. Aku selalu tertawa, bahkan untuk hal yang tidak terlalu lucu. Ya ampun... Jika aku tahu resiko jatuh cinta seberat ini. Mungkin... Aku tidak akan pernah menaruh rasa suka ini kepada kak Raidhan.

Jangan salahkan pria itu. Dia tidak tahu apapun, dan dia tidak bersalah. Aku yang sepenuhnya salah disini.

Entah sejak kapan, aku jadi menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal, sewaktu aku kelas sepuluh, Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling membosankan bagi ku. Puisi, atau bahkan mempelajari teks. Sangat membosankan. Tapi, semenjak aku mengenal, bahkan menulis cerita... Bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang paling aku nantikan. Dan aku baru sadar, Bahasa Indonesia tidak seburuk yang aku kira.

Saat ini, aku sedang duduk bersama teman-temanku. Aku dan Caca beda kelas. Aku satu kelas dengan Izzi, dan Zeya. Ada Mira, Lia, dan Nia juga yang sekelas denganku. Cukup banyak yang satu kelas denganku lagi, termasuk... Zaki dan Tiko. Ah iya, semenjak kejadian itu, Zaki betul-betul menuruti ucapanku. Pria itu tidak menjauh, hanya saja pria itu tidak terlalu mendekat seperti dulu. Sedih? Tentu iya. Aku senang bisa bercanda dengan Zaki, tapi aku juga perempuan, aku tau rasanya menjadi Farah.

Aku berbincang kecil dengan kelima temanku. Hanya hal kecil. Disela-sela pembicaraan terkadang aku tertawa. Tawa yang--terdengar hambar.

Zeya menatapku dengan lamat. "Kamu daritadi ketawa gak jelas terus. Lagi ada yang kamu tutupin, ya?" ujarnya.

Aku terdiam. Zeya tepat sasaran. Cairan bening itu mulai keluar tanpa izin dariku. Aku menelungkupkan wajahku dilipatan tangan, membuat Zeya dan yang lain terkejut. "Eh? Aku salah ngomong, ya? Maaf, Hilwa," ujarnya.

Aku terkekeh pelan. "Gapapa, Zey. Santai," ujarku masih dengan isakan kecil. "capek ..." batinku.

Kelima temanku menatapku seakan menungguku untuk mengatakan hal yang mengganjal dipikiranku. "Aku gak apa-apa kok. Serius deh. Tadi kaget aja Zeya bilang gitu," ujarku dengan tersenyum.

"Hil, kamu bisa cerita kok sama kita," ujar Izzi.

Aku menggeleng. "Serius, aku gak apa-apa," ujarku lagi. "cuma masalah sepele aja."

"Beneran?"

"Iya, beneran," ujarku tersenyum.

Kelimanya mengangguk. "Yaudah kalo belum mau cerita sekarang gapapa," ujar Izzi.

Bel sekolah berdenting. Ya, mata pelajaran Bahasa Indonesia. Setidaknya, aku bisa sedikit terhibur dengan belajar. Belajar Bahasa Indonesia tentunya.

"Baik. Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh," salam guru Bahasa Indonesiaku, -pak Firdi-.

"Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh." jawab seluruh murid serentak.

Pak Firdi berdiri dari duduknya. "Buka buku paket Bahasa Indonesianya, bab pertama, ya," ujar pak Firdi.

Aku membuka buku paket Bahasa Indonesiaku dengan semangat. Aku memperhatikan pak Firdi yang menerangkan materi bab satu. "Oh iya. Di kelas sebelas semester satu ini, saya ngambil empat bab. Yang pertama, teks Prosedur. Yang kedua, teks Eksplanasi. Yang ketiga, ceramah atau pidato. Dan yang terakhir itu cerpen. Oke?"

Hilwasya RaidhanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang