Bismillah.
Happy reading!
***
Beberapa bulan kemudian...
Saat ini, aku sedang duduk di stasiun kereta. Aku sedang menemani kak Ruby untuk menjemput saudarinya. Aku duduk dengan ponsel yang berada di dalam genggamanku.
Aku melanjutkan menulis beberapa chapter yang hampir selesai. Setelah selesai, aku menatap sekeliling dengan senyum yang mengembang. Mendengarkan lagu Bollywood kesukaanku, dengan judul 'Kabhi Alvida Na Kehna' yang memiliki arti 'Jangan pernah ucapkan selamat tinggal' membuat aku bertambah semangat dalam menulis.
Stasiun. Di film-film Bollywood yang biasa aku tonton. Stasiun adalah tempat bertemunya kedua pemeran utama. Awal dari kisah dan film itu dimulai. Aku menyukai stasiun, karena di dalam film Bollywood, stasiun adalah tempat paling membahagiakan bagi kedua pemeran utama. Itu sebabnya, aku juga menyukai stasiun sampai saat ini. Tapi, aku tidak tahu bagaimana kedepannya.
Aku mengedarkan pandangan. Cuaca terik siang itu, membuatku berdecak bekali-kali lipat. Aku tersenyun menatap langit yang indah. Pandangan ku kembali mengedar kearah lain.
Lalu, pandangan ku terfokus pada satu objek yang--hahah, ini lucu. Senyum ku mendadak pudar, dengan mata ku yang mulai memanas. Katakan aku lebay, tapi... Bolehkan ku katakan jika ini menyakitkan?
Aku melihat... Kak Raidhan. Pria itu tidak sendiri, melainkan bersama seorang gadis di sampingnya. Keduanya duduk tak jauh dariku. Sesak. Aku... Seperti kekurangan oksigen saat ini. Ternyata benar, aku harus sadar diri. Aku tidak bisa menjadi tokoh seperti di novel lainnya. Aku tidak bisa menjadi tokoh utama yang disukai balik oleh tokoh utama pria. Aku... Bukan tokoh yang baik. Harusnya aku sadar akan hal itu. Aku memiliki banyak kekurangan. Aku tidak cantik. Aku tidak pintar. Apa yang bisa dibanggakan dari diriku? Tidak ada. Aku dan kak Raidhan, ibarat bulan dan rumput. Kak Raidhan yang begitu menawan sedangkan aku yang tidak menawan. Itu sangat tidak mungkin.
Kak Ruby sudah berdiri dihadapanku. Gadis itu mengikuti arah pandangku. Ak tersenyum menatap kak Ruby. "Aku ... Gak mimpi kan, kak?" tanyaku.
Kak Ruby menggeleng. "Enggak," ujarnya. "aku kan udah bilang, Hil. Jangan terlalu berharap sama Raidhan. Sakit kan?" ujar kak Ruby.
"Aku ... Aku harus gimana, kak?" ujarku dengan--menangis.
Hei, salahkah aku menangis? Bagaimana jika kalian ada diposisiku? Aku harus apa sekarang? Bagaimana rasanya jika ... Hal yang belum pernah kamu miliki, harus kamu ikhlaskan secara terpaksa? Pasti terbesit rasa tidak terima kan? Aku merasakan hal yang sama. Tapi, aku juga sadar diri. Aku sadar, aku memang tidak bisa menggapai apa yang aku mau. Mimpi ku ini terlalu jauh. Halusinasi ku terlalu berlebihan. Harusnya, aku tidak memulai jika aku tidak mau mengakhiri. Tapi aku keras kepala. Sangat keras kepala. Sejak awal, kak Ruby juga sudah memperingati ku. Tapi aku seakan tidak mau dengar. Harus apa aku sekarang?
Aku--ingin berhenti menyukai kak Raidhan.
Namun--apakah aku bisa?
***
Disinilah aku berada. Di kamarku. Kamar dengan wallpaper berwarna merah muda, dan kasur empuk dengan sprei berwarna hijau, bergambar keroppi. Aku sudah dapat jawabannya. Aku sudah bisa melanjutkan chapter yang memang seharusnya ku tulis.
Aku membuka ponselku dan memulai menulis chapter selanjutnya. Sampai, setengah chapter ku tulis, aku membuka office word ku dan mulai mengetikkan sesuatu disana.
Sesuatu yang bahkan aku sendiri pun tidak sadar telah mengetik untaian kalimat tersebut.
Untuk kak Raidhan.
Dia Raidhan, laki-laki yang bisa di bilang nyaris sempurna. Pria tampan, yang nyatanya memiliki banyak keunikan.
Raidhan. Laki-laki yang dimanapun tidak akan pernah bisa Hilwa dapatkan. Bahkan, sudah berupa tulisan karya Hilwa, Raidhan tetaplah Raidhan.
Tidak ada Raidhan yang membalas rasa yang Hilwa punya, dan tidak ada rasa kagum yang terbalaskan.
Semua sama.
Rasa kagum yang Hilwa miliki dan Raidhan yang terkesan tidak peduli.
Kak Raidhan. Sang pemilik nama panjang Muhammad Raidhan Al-Fawwaz.
Terimakasih ya, Kak. Hilwa seneng kenal kak Raidhan.
Kak, bahagia terus ya? Bahagia sama orang di samping kak Raidhan.
Hilwa boleh nangis kan?
Gak boleh ya? Oh iya ... Hilwa lupa.
Hilwa kan cuma pengagum kak Raidhan doang. Jadi hal itu gak pantes buat Hilwa lakuin. Yakan?
Kak, sekali lagi maaf. Maaf karena cerita ini dan maaf kalo kak Raidhan risih sama cerita ini. Hilwa minta maaf banget sama kak Raidhan.
Hilwa juga mau bilang terimakasih sama kak Raidhan. Untuk semuanya. Hilwa gak tau mau ngetik apalagi, Kak.
Pertemuan kali ini, Hilwa jadi ngerasa cukup sampe disini aja kisah yang Hilwa tulis. Karena Hilwa yakin, Hilwa gak akan bisa seberuntung gadis di samping Kak Raidhan saat ini.
Hey! Hilwa mau liat kak Raidhan senyum terus dong. Meskipun Hilwa belum pernah liat kak Raidhan senyum, tapi Hilwa mau kak Raidhan senyum terus. Janji ya? Bahagia, senyum dan ketawa terus ya, kak? Biar bulan sabit diatas sana makin iri liatnya. Haha.
Sekali lagi, Hilwa mau bilang makasih ya, Kak. Hilwa doakan yang terbaik untuk kak Raidhan.
Terimakasih sudah hadir. Terimakasih juga karena sudah memberikan kesempatan untuk Hilwa agar bisa kenal kak Raidhan.
Bulan sabit... Aku mohon, tolong pancarkan terus sinar terang nan indah mu diatas sana ya? Setidaknya, rumput yang penuh kegelapan ini bisa menatap mu dengan binar kagum karena pancaran keindahan dari lengkungan mu itu. Dan jangan biarkan air hujan sampai meluncur deras, membasahi bumi hingga rumput ikut basah.
Janji, ya? Hilwa mohon...
Ah iya, tapi kayaknya... Meski Hilwa memohon pun kak Raidhan akan tetap bahagia kan?
Bahagia hidup di lingkungan baru, dengan teman baru dan juga pengalaman baru.
Bahagia karena sekarang, di hidup kak Raidhan ada seorang gadis cantik nan anggun yang bisa menyempurnakan setiap langkah kak Raidhan.
Dan bahagia karena... Hilwa gak akan ganggu kak Raidhan lagi. Ini poin paling penting kan?
Selamat berbahagia, ya... Bulan sabit.
Ini akhir dari kisahku. Kisah yang sampai kapanpun akan tersimpan rapih di dalam tulisan ini. Kisah yang akan menjadi abadi dan kisah yang akan menjadi kenangan juga pengingat di saat Hilwa mulai lupa nantinya.
Hilwasya Raidhanaya,
SELESAI!Tertanda,
-Nadhira Hilwa Azzura.
-Selasa, 18 Juli 2023-
Aku menutup aplikasi office word dengan tersenyum miris. Menatap ponsel dengan banyak--kenangan? Hahah, sangat lucu rasanya jika semua ini dibilang sebuah kenangan. Aku rasa bukan.
Aku adalah gadis yang saat ini belum beruntung soal cinta. Aku pikir, hidup ku akan seperti kisah seorang pengagum yang terbalaskan seperti cerita di Novel-Novel yang pernah ku baca. Namun ya, aku baru sadar, kalau dunianya berbeda. Novel yang ku baca hanya fiksi, sedangkan kehidupan yang aku jalani sebuah kenyataan. Kenyataan yang terkadang manis dan terkadang pahit.
Dan aku juga sadar akan satu hal;
"Seberusaha apapun aku, jika yang dia inginkan bukan aku ... Maka hatinya akan tetap membeku." monolog ku dengan pipi yang sudah basah.
***
JANGAN LUPA VOTE KOMEN YA!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilwasya Raidhanaya
Teen Fiction[Diikutsertakan dalam lomba PENSI VOL-9] DILARANG MEMPLAGIAT CERITA INI DI PLATFORM MANAPUN DAN DALAM BENTUK APAPUN! yang plagiat, ku doakan jari kamu disentil malaikat. *** Januari 2021. "Aku janji, aku bakal buat kak Raidhan abadi di karya-karya k...