Genggaman tangannya, senyum manis, serta tatapan Rhun tidak pernah sedikit pun pergi dari pikiranku. Aku selalu membayangkan tiap detail kebersamaan kami belakangan ini.
Aku bahagia. Sangat bahagia.
Acara curi-curi pandang ketika berada di kantor, tetapi ketika jam kantor berakhir semuanya menjadi manis. Ia terlalu nyata dan begitu nyata.
"Mau nonton gak? Kata Alex ada film Korea yang bagus," ajak Rhun. Setiap pulang kerja, kami selalu menyempatkan waktu bersama. Misalnya makan malam seperti ini. Kadang makan di luar, kadang makan di rumah atau apartemen Rhun.
Kali ini, ia mengajakku makan di apartemennya.
"Sejak kapan suka nonton Korea?"
Rhun terkekeh sambil mengelap sisi bibirnya dengan tisu. "Sejak tahu kamu suka nonton Korea."
Aku mengulum senyum. "Jadi ngikutin aku nih?"
"Lho gapapa dong kalau ngikutin kamu."
"Gak boleh!"
"Kok gitu?" katanya sambil merajuk.
"Bayar! Gak ada yang gratis di dunia ini!"
Rhun tertawa. "Waduh kamu udah gede ternyata, Bri. Oportunis banget," ujarnya. "Ya udah aku bayar, ya..."
Aku bercanda dengam memberi gestur menadahkan tangan ke hadapannya. "Mana?"
Sedetik kemudian, Rhun menepuk-nepuk dadanya, lalu tangannya mengulur tepat di atas telapak tanganku. Jari telunjuk dan ibu jarinya membetuk sign love. Tentu saja tingkahnya yang lucu itu membuatku terpingkal. "Aku bayar pake cinta, boleh?"
"Mas, sumpah, kamu aslinya begini, ya?"
Sama sepertiku, Rhun pun tidak kuasa menahan tawanya. Ia menggeleng, lalu menjawab, "Gak sih, kayaknya cuma sama kamu aku kayak gini."
"Template "cuman sama kamu doang kok" tuh kayak udah pro-player banget tahu! Ngaku ... udah berapa cewek yang diginiin."
Padahal aku menganggap itu hanya sebuah candaan, tetapi aku bisa melihat ekspresi Rhun mulai berubah. Ia menghembuskan napas panjang, lalu mengubah posisi duduknya.
Kami saling memandang. Membuat degub jantungku makin tidak karuan. Rhun sama sekali tidak tersenyum, ia menatapku makin dalam. Aku sampai salah tingkah dan beberapa kali mengalihkan pandangan ke sembarang arah.
Ruang makan di apartemen yang mulanya hangat berubah menjadi panas. Aku mengibas udara sembari mengatur napas. Takut Rhun tahu bahwa aku sudah menggila.
Namun, ketika tangan Rhun berusaha meraih tanganku dan menggenggamnya lembut, semua pertahananku sia-sia. Aku tersentak dan refleks menatap kembali wajah Rhun.
"Aku serius," katanya dengan suara berat. "Aku serius sama perkataanku, Bri."
Hening. Aku tidak sanggup mengeluarkan barang satu patah kata pun.
"Aku bingung mau memulai dari mana. Setiap di dekat kamu, aku merasa nyaman. Tiap kamu sedih atau mengalami kesulitan, aku mau jadi orang pertama yang jaga dan bantuin kamu. Awalnya aku gak nyadarin kalau perasaan ini beda, Bri. Aku kira ini hanya rasa tanggung jawabku pada Gala. Tetapi nyatanya, tanpa Gala suruh ... aku akan senang hati untuk melakukannya. Demi kamu."
Tangan Rhun masih memegang tanganku, jari-jarinya dengan lembut mengelus kulit lembut. Aku menahan napas dan hampir gila karena ini terasa seperti mimpi.
"Harusnya aku sadar lebih awal sama perasaanku. Karena diam-diam, dalam hatiku paling dalam, aku gak suka kamu jadian sama Deka." Rhun menghembuskan napas pendek. "Belakangan ngeliat kamu intens deket sama Rangga makin membuatku yakin bahwa aku tidak salah menilai perasaanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
Literatura FemininaBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...