Ruang keluarga berubah jadi tempat yang berbeda malam ini. Ibu sengaja menggeser sofa ke dinding, membiarkan meja kayu besar yang dihiasi taplak renda dan lilin kecil menjadi pusat perhatian. Bunga baby's breath dan mawar putih dalam vas kaca mempercantik sudut-sudut ruangan. Lampu gantung kuning temaram memberikan kehangatan, seolah menyelimuti semua yang hadir.Aku berdiri di dekat jendela, mengamati keluarga dan sahabat yang tersenyum bahagia. Suara tawa pelan bercampur dengan denting gelas saling bersulang.
Di tengah ruangan, Rhun sedang berbicara dengan Prof Margono dan ayah. Ada sesuatu dalam tatapan mata Rhun malam ini yang membuatku gugup—bukan karena aku ragu, tapi karena aku tahu, ini adalah salah satu momen terpenting dalam hidup kami.
Aku meremas jari-jariku, mencoba menenangkan diri. Namun ketika Rhun mendekat, langkahnya perlahan pasti, aku tahu aku tidak bisa berpura-pura tenang. Dia berhenti tepat di depanku, satu tangannya menyentuh punggung tanganku, lembut tapi penuh keyakinan.
"Kamu cantik banget malam ini, Sayang," ujar Rhun menatap dengan kekaguman. Aku mengenakan pakaian kebaya kutu baru berwarna hijau tosca. kain-nya couple dengan kemeja motif batik Rhun.
"Jadi kemarin gak cantik?"
Rhun tertawa, "Mulai deh," katanya. Kami berdua terdiam—saling menatap dan menguatkan. "Udah siap?" tanyanya, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk kudengar di tengah obrolan pelan tamu.
Aku mengangguk, meski napas rasanya tertahan.
Rhun menarikku ke tengah ruangan, di mana semua orang sudah menanti. Dia memegang tanganku erat, seolah berkata bahwa aku tidak perlu takut. Ketika Ayah memulai dengan beberapa kata singkat tentang betapa pentingnya malam ini, aku mencuri pandang ke arah Rhun. Matanya menatapku penuh makna, seperti ingin memastikan aku tahu dia serius dengan semuanya.
Dan saat dia menyematkan cincin itu di jariku, aku hanya bisa mendengar detak jantungku sendiri. Jemarinya sedikit gemetar, tapi ekspresinya tetap yakin. Aku menatap cincin di jariku, lalu kembali menatap Rhun. Dia tersenyum, senyuman kecil yang cukup untuk membuatku yakin kalau aku tidak pernah salah memilih.
Suara tepuk tangan pecah, tetapi aku hanya bisa mendengar bisikannya yang lirih di dekat telingaku, "I'll make sure to give my best for our relationship, Bri. I am promise."
Cincin di jari manis serta ucapan Rhun malam itu seperti sebuah janji yang mengikat satu sama lain.
Para keluarga, kerabat, dan sahabat memberi selamat. Ada Rangga, Syifa, Tamara, Clara, Wina, Mbak Ira datang dengan suami dan anaknya datang menghampiri kami.
"Mas Rhun, aku boleh follow instagram gak? mau mention Mas Rhun sama Bri," Tamara begitu semangat. Dia memang selalu suka cowok ganteng dari dulu.
Rhun mengangguk sambil terbahak. Ya, Rhun tahu siapa sahabatku, tetapi hanya sekadar tahu saja. Mereka tidak benar-benar mengenal dekat satu sama lain. Kecuali teman kantorku.
"Selamat ya, Bri, dan Pak Rhun." Rangga memelukku singkat, lalu ketika bertemu dengan Rhun, sifat jahilnya muncul. "Habis ini jangan suka cemburu sama saya, ya, Pak. Soalnya saya gak suka sama tunangan orang lain," godanya yang langsung mengundang banyak gelak tawa.
Rhun sendiri sempat kaget dengan candaan Rangga yang berani, lalu sedetik kemudian mengangguk dan tertawa lepas.
Kami saling berbaur dalam suasana yang khidmat dan hangat. Namun entah kenapa, aku merasa ada yang hilang. Pandanganku menyapu ruangan, mencari sesuatu yang kurang.
Kemudian setelahnya, Mbok Dar datang membawa sebucket mawar putih menghampiriku.
"Non, ini ada kirimian dari florist."
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...