Aku memandang dari jauh, memperhatikan Rhun dan Gami yang tengah bercengkrama. Meski perempuan itu terbaring lemah, ada sesuatu di antara mereka—sebuah pembicaraan hangat yang hanya mereka pahami.Sesekali Rhun melempar candaan, membuat si Gami tertawa hingga air matanya keluar.
Hatiku mencelos. Senyum getir menghiasi wajahku, menahan air mata yang nyaris jatuh. Bukan di sini, batinku. Aku berpaling dari balik kaca, melangkah menjauh sejauh mungkin.
Di langkah kelima belas, aku melepas cincin yang selama ini melingkar di jari manisku. Tepat di langkah kedua puluh, aku melemparnya sembarangan, tanpa menoleh ke mana cincin itu jatuh.
Sudah cukup. Tekadku bulat. Tidak ada lagi yang boleh meragukan keseriusanku untuk melupakan pria berengsek itu.
Saat mendekati area parkiran, tanganku meraba tas selempang, mencari kunci mobil. Tapi langkahku terhenti ketika suara seorang pria memanggilku dari belakang.
"Bri, kamu menjatuhkan sesuatu!" teriaknya. "Ini ... pasti punyamu, kan?"
Aku menoleh, dan di sana dia berdiri. Kafka mengangkat cincin pertunanganku—cincin yang baru saja aku buang. Pandangan kami bertemu. Hening, lama, tanpa sepatah kata pun. Sosok yang beberapa tahun menghilang dari hidupku kini muncul lagi, berdiri di hadapanku.
Dia yang pernah aku tolak cintanya.
Dia yang, ternyata, masih di sana. Menungguku.Kemudian, aku pun bangun dari tidur. Nafasku terengah, dadaku naik turun seakan habis berlari. Aku memandang langit-langit kamar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Air mata yang entah kapan jatuh terasa membekas di sudut mataku. Aku memegang dadaku yang terasa sesak. Cincin di jari manisku terlihat berkilau samar dalam cahaya redup kamar. Ingatan tentang mimpi itu masih membekas—Rhun, Gami, dan ... Kafka.
Kenapa harus Kafka? Sosok yang sudah lama kuanggap selesai tiba-tiba muncul dalam tidurku, seperti bayangan dari masa lalu yang tak mau pergi.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa sesak itu. Tapi, perasaan tak nyaman tetap mengendap, seakan mimpi itu nyata. Seakan ... aku masih punya sesuatu yang belum selesai dengannya.
"Yang, kok ngelamun sih daritadi? Kamu kenapa? Sakit?" Seperti biasa, Rhun selalu menjemputku untuk berangkat ke kantor. "Atau lagi ada sesuatu yang menganggu?"
Meski kejadian itu mimpi, aku tidak bisa bohong bahwa itu begitu mempengaruhi. Sepanjang perjalanan, sedetik pun aku tidak bisa melupakan sakit itu.
Aku memandang Rhun lekat, ia yang baru saja memarkirkan mobil di basement kantor dengan sempurna menoleh ke arahku.
"Mas lagi deket sama siapa?"
Rhun melepas seatbelt, lalu mengubah posisi duduknya. "Deket apa nih maksudnya?"
"Ya, sama siapa kek gitu dari masa lalu?"
Rhun terkekeh sembari mengelus puncuk rambutku lembut. "Aduh, kamu ini habis baca Thread mana lagi? Kok jadi curigaan gitu sama aku?"
Belakangan kasus perselingkuhan memang sedang banyak yang viral di sosial media. Aku kadang suka gemes dan menceritakan hal itu pada Rhun.
"Bukan. Aku mimpi kamu main di belakangku sama....." ucapanku menggantung sampai situ. Aku tidak ingin menyebut nama Gami. Rasanya terlalu menyesakkan, bahkan hanya untuk diucapkan.
"Sama siapa?" Alis Rhun terangkat sebelah, menunggu lanjutan dari bibirku.
"Sama cewek cantik banget. Mas Rhun kayak tergila-gila sama dia." Aku menelan ludah, lalu melanjutkan, "Tahu gak sih kalau mimpi itu bisa jadi sebuah firasat?"
Rhun diam sejenak, mungkin sedang mencerna ucapanku. Lalu ia terkekeh pelan, mengelus puncak rambutku seperti kebiasaannya. "Aduh, kamu ini habis baca Thread mana lagi? Kok jadi curigaan gitu sama aku?"
Aku tidak langsung menjawab. Rasa sakit dari mimpi itu masih menggelayuti pikiranku.
"Lupain aja, Sayang." Rhun mendekat, menggenggam tanganku erat. Tatapannya terasa hangat, penuh ketulusan. "Kita udah tunangan lho. Aku gak akan ngorbanin hubungan kita buat perempuan gak jelas. Kamu tahu itu, kan?"
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Tapi, benarkah aku tahu?
**
Langkah kakiku terhenti tepat di depan kamar Mas Gala. Tadinya aku ingin mengetuk untuk memberi tahu bahwa ada paket yang datang, tapi langkah itu terasa berat begitu samar-samar aku mendengar suaranya.
"Iya, aku nanti nginep. Tapi cuma dua hari aja, ya? Hmmm, aku takut Bri nanti jadi makin curiga."
Aku memicingkan mata, bingung sekaligus terpaku di tempat. Curiga? Maksudnya apa?
"Ya, dia kayaknya udah mulai ngerasa. Gak, aku gak bisa. Setiap kali liat Bri atau Rhun, aku selalu merasa bersalah. Gak tahu, Kafka ... dia ngilang gitu aja. Oke, nanti aku kabarin lagi."
Jantungku mencelos. Suara itu seperti tamparan yang menyakitkan. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Kenapa aku disebut-sebut dalam percakapan itu?
Aku melangkah mundur pelan-pelan, takut kalau Gala menyadari keberadaanku di depan pintu. Jari-jariku yang semula hendak mengetuk pintu kini gemetar. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi firasatku mengatakan sesuatu yang besar sedang disembunyikan dariku dan Rhun.
Aku langsung berlari ke kamar, meraih ponsel, dan tanpa pikir panjang, menelepon Rhun.
Hanya butuh beberapa dering sebelum suara lembutnya terdengar di seberang. "Ya, Sayang. Ada apa?"
"Mas lagi di mana?" tanyaku cepat, suaraku sedikit gemetar.
"Rhun, lo mau pesen apa nih?" suara lain terdengar samar di latar. Aku mengenali suara itu. Alex.
"Bentar ya, ini cewek gue," katanya pada seseorang di sana sebelum kembali fokus padaku. "Lagi di Kemang, Sayang. Lagi sama Alex, Pak Danu, kita nungguin klien. Ada apa? Kamu kenapa?"
Aku terdiam, mencoba menenangkan napas yang tak beraturan. Jika aku mengatakan apa yang baru saja kudengar, aku tahu hanya akan menambah beban pikiran Rhun. Akhirnya, aku memilih berbohong.
"Oh, gak apa-apa. Tadi mau video call aja, kangen," ucapku pelan, hampir tak terdengar.
Rhun tertawa kecil. "Ya ampun, kirain ada apa. Iya, Sayang. Kalau aku udah balik ke apartemen dan kamu masih bangun, aku call lagi, ya."
Aku mengiyakan dengan suara berat, lalu menutup telepon dengan perasaan bersalah.
Saat aku sedang memeluk lutut di tempat tidur, suara pintu kamar Mas Gala terdengar terbuka. Dengan cepat aku bangkit, mengintip dari sela pintu kamarku. Ia keluar sambil membawa jaket. Aku mengikuti langkahnya diam-diam sampai ke garasi.
"Untung Pak Herman belum pulang," gumamku pelan, lalu meminta sopir itu tetap berjaga. "Pak, tolong ikuti mobil Mas Gala, ya. Tapi jangan terlalu dekat."
Mobil Gala melaju cepat menuju sebuah kawasan ruko tak jauh dari rumah. Sopirku menepikan mobil sedikit lebih jauh untuk menjaga jarak, tetapi aku masih bisa melihat Mas Gala memarkirkan mobil di depan sebuah minimarket.
Kupikir ia hanya akan masuk ke dalam minimarket untuk membeli sesuatu. Tapi ternyata dugaanku salah. Mas Gala berjalan ke arah mobil BMW hitam yang sudah terparkir lebih dulu.
Aku mencoba memperhatikan dengan saksama, tetapi kaca mobil itu gelap, membuatku tidak bisa melihat siapa yang ada di dalam. Mas Gala membuka pintu, masuk ke dalam mobil itu, lalu pintu tertutup kembali dengan cepat.
Dadaku bergemuruh. Mas Gala jelas-jelas sengaja menemui seseorang di sini, dan caranya yang diam-diam hanya membuatku semakin yakin—ada yang ia sembunyikan.
**to be continued**
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...