Tidak ada durasi pasti untuk memberi kesempatan, karena ini bersifat sangat personal dan tergantung pada dinamika hubungan seseorang. Namun, indikator perubahan perilaku nyata, komitmen, dan komunikasi yang baik dapat membantu menentukan apakah hubungan masih layak dipertahankan atau tidak?
"We need to talk," ucapku ketika Rhun baru saja keluar dari toilet. Ia tampak terkejut, tetapi kemudian bisa mengubah ekspresinya.
"Bri—aku tahu kita harus ngomong. Ada banyak hal yang pengen aku sampein tapi—kamu tahu aku lagi sibuk banget."
"Tapi sampai kapan, Mas? Sampai kapan kamu mau kayak gini?" Aku jelas sudah menelan ludah sendiri untuk tidak menghubunginya, tetapi apakah ini yang pantas aku terima.
Rhun menghela napas panjang. "Bri, please."
Tidak lama, Alex, Rico, Pak Danu, Gami, dan beberapa tim dari Tatanami keluar dari ruang meeting dan mempergoki kami.
"Ya elah ditungguin dari tadi malah pacaran di situ!" Alex bicara dengan nada menggoda, lalu diikuti tawa lainnya. Tetapi tidak dengan Gami.
Apakah aku salah jika mengendus sesuatu yang tak beres pada hubungan mereka?
"Sorry ya, Bri. Tunangannya dipinjem dulu." Pak Danu yang sering bercanda berusaha membuat suasana makin mecair—mungkin begitu cara mereka melepas stess pada pekerjaan yang tak pernah berakhir.
"Aku bakal hubungin kamu secepatnya," ujar Rhun sebelum meninggalkan aku dan mengejar rombongannya.
Menurut penelitian dari Gottman Institute, konflik dalam hubungan tidak selalu berakhir buruk jika kedua pihak berkomitmen untuk memperbaiki hubungan. Faktor yang menentukan adalah: Apakah pasangan bersedia berubah? Apakah ada komunikasi yang sehat? Seberapa besar upaya untuk mengatasi masalah?
Kenyataannya, pada tiga faktor tersebut, Rhun tidak melakukannya satu pun.
Dan aku mulai bertanya-tanya—apakah aku layak terus menunggu?Semakin hari, aku semakin merenung. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan akhir dalam hubungan ini. Sampai akhirnya aku memberanikan diri datang ke apartemen Rhun.
Setidaknya, kali ini saja, aku melakukan apa yang aku ingin lakukan.
Aku memang tahu password apartemen Rhun, tetapi lebih memilih memencet bel-nya.
"Aku boleh masuk?" tanyaku pelan.
Rhun berdiri di hadapanku, mengenakan piama biru dongker favoritnya. Kacamata bertengger di hidungnya, dan tangannya memegang beberapa lembar kertas proyek. Matanya sedikit melebar saat melihatku, tetapi ia segera menguasai dirinya.
Dia diam sejenak sebelum mengangguk perlahan. Matanya menghindari tatapanku, tetapi bibirnya mencoba tersenyum kecil yang hampir tidak terlihat. "Masuk aja."
Aku melangkah masuk. Ruangan apartemennya jauh berbeda dari terakhir kali aku ke sini. Puntung rokok berserakan di atas meja, kertas-kertas proyek memenuhi lantai, dan di sudut ruangan laptopnya menyala, menampilkan desain yang perlu direvisi.
"Maaf, apartemenku kacau banget," katanya, suaranya terdengar canggung. Dia segera memunguti puntung rokok, berlari kecil ke tempat sampah, sebelum kembali berdiri di hadapanku.
Aku hanya diam, memperhatikan setiap pergerakannya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya yang tampak semakin jelas di bawah cahaya lampu ruangan. Dan di jarinya, aku melihat cincin itu—cincin pertunangan kami.
"Maaf kalau kedatangan aku ke sini ganggu kamu. Tapi aku gak bisa tunda masalah ini makin larut."
Rhun yang sejak tadi menunduk, pandangannya langsung mengadah ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...