Dasar dari sebuah hubungan adalah kejujuran. Sehingga aku berniat ingin jujur tentang perkaraan tiga orang di toilet. Namun, aku tidak tega ketika melihat Rhun datang malam itu ke rumah.
"Sayang, maaf ya belakangan aku sibuk banget," ucapnya dengan nada lelah. Aku langsung tahu ada yang beda. Senyumnya, yang biasanya hangat, kelihatan lebih pudar. Matanya juga terlihat lelah. Kemudian ia mengecup dahi dan bibirku singkat.
Kami baru duduk sebentar di sofa ruang tamu, tapi dia malah menyandarkan kepala di bahuku, seolah-olah butuh tempat buat menghela napas panjang.
"Kenapa, Mas? Lelah banget ya?" tanyaku sambil mengusap punggungnya perlahan.
Rhun hanya mengangguk, tapi tetap diam beberapa saat, seolah-olah menimbang-nimbang mau cerita atau tidak. Aku biarkan, menunggu dia mulai duluan.
"Ada trouble lagi proyekku yang di Bali," ujarnya akhirnya dengan suara rendah. "Ini kali kedua klien minta revisi besar, padahal konsep udah di-approve sejak awal."
Aku mendesah pelan. "Revisi gimana?"
"Selera mereka berubah, Yang. Mereka mau gaya interior yang lebih klasik sekarang, beda dari konsep awal yang minimalis. Dan budgetnya... malah jadi terbatas banget. Gak sesuai kesepakatan deh." Rhun mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku coba jelasin konsekuensinya, tapi mereka malah jadi ragu sama desainku. Gak gampang buat mereka paham kalau perubahan kayak gini tuh banyak pengaruhnya."
Aku merasakan frustasi dalam suaranya. "Berarti harus balik lagi dari awal?"
Dia mengangguk. "Dan sekarang aku harus bolak-balik ke Bali buat koordinasi sama tim di sana. Deadline-nya makin dekat, tapi revisi kayak gak ada habisnya."
Aku menganggukkan kepala, mencoba memahami betapa lelahnya dia. "Kalau deadline tetap gak bisa ditunda, bakal nyelesaikannya gimana, Mas?"
Dia menatapku, matanya menunjukkan beban yang coba dia tahan. "Ya mungkin aku harus berkompromi sama detail. Agak ragu bisa kasih yang se-ideal mungkin. Tapi... ya gitu deh. Rasanya berat."
Aku mengusap tangannya, mencoba menyampaikan bahwa aku ada di sini buat dia. "Kamu jangan lupa jaga kesehatan juga, ya, Sayang. Gak apa-apa kompromi kalau memang itu buat selesainya proyek. Paling gak, aku yakin apa pun hasilnya tetap bakal keren kalau itu karya kamu."
Rhun tersenyum tipis, mencium punggung tanganku pelan. "Terima kasih ya, Sayangku. Ngobrol sama ketemu sama kamu bikin perasaanku lebih baik," ucapnya, kemudian kami saling memeluk melepas kangen.
Selang berapa hari, Rhun harus pergi lagi ke Bali dan akan pulang akhir pekan ini.
Perjalanan menuju kantor begitu berat. Aku juga tidak merasa bebas dan selalu was-was jika melakukan sesuatu. Takut jika nanti jadi bahan gosip anak kantor.
"Kayaknya ada yang aneh." Rangga datang bersama Syifa dan Mbak Ira. Mereka menghampiri kubikelku, lalu duduk di bangku yang kosong.
Aku yang sedang melamun menatap layar laptop mendadak salah tingkah. Ini jam istirahat dan aku lebih memilih membawa bekal daripada harus pergi ke kantin.
"Lagi sibuk aja kok," kataku bohong.
"Gak bakat bohong lo, Bri," sahut Mbak Ira. "Orang yang sibuk di kantor jug perlu makan kali."
"Gue bawa bekal kok, Mbak," aku memaksakan senyum agar mereka tidak menaruh curiga. Kemudian aku membuk kotak bekal yang disiapkan oleh Mbok. "Ini dimsum enak banget lho, mau coba gak?"
Mbak Ira dan Syifa menggeleng pelan, sementara Rangga langsung mengambil, lalu melahapnya.
"Ada masalah ya?" Syifa langsung menembak tanpa aba-aba. "Lo tuh ketara banget deh lagi mengindar untuk gak berinteraksi sama anak kantor."
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...