19. genggaman tangan itu mendebarkan

131 16 7
                                    

Perhatian-perhatian kecil yang diberikan Rhun berdampak besar untukku. Aku mulai membayangkan yang tidak berani aku bayangkan sebelumnya. Harapan yang pernah pupus tanpa asa itu nyatanya bisa tubuh mekar menjalar. Kepercayaan diri mucul ketika tatapannya berubah setiap melihatku bersama yang lain.

Aku yakin dia tidak suka dan mulai berpikir bahwa dia cemburu.

Sentuhan kecil mampu membuat jantungku berdegup kencang. Kembali menyadarkanku bahwa perasaan itu masih ada—meskipun hampir aku kubur bersama rasa kecewa.

Aku tidak tahu bagaimana kelanjututan perasaan ini. Namun jika aku boleh jujur, aku menikmati setiap momen yang aku habiskan bersamanya.

"Sudah siap, Bri?" tanyanya setelah memberikan sebucket mawar putih. Dia bilang ada toko bunga baru di deretan ruko apartemennya. Diam-diam aku menghubungi Wina—yang ternyata juga satu apartemen dengan Rhun—dan bilang tidak ada toko bunga di sana.

Wina     : Gak ada tuh toko bunga di sini. Kenapa gitu? Mau pesen bunga buat siapa lo?

Ketika membaca pesan Wina, aku tidak kuasa untuk menahan senyum. Dia lucu juga. Entah apa motifnya, tetapi aku tebak karena menutupi gengsinya.

"Beneran promo ini bunganya?" Rhun mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya yang masih menyetir. "Berapaan? Aku mau beli deh buat Mbak Syifa."

Rhun berdehem pelan. "Eung—emang buat apa beliin Syifa?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Emang harus ada alasan kasih bunga? Ini maksudnya Mas Rhun kasih aku bunga apa?"

Rhun bergeming, kemudian jadi salah tingkah. Ia malah pura-pura sok kesal dengan pengendara motor yang tiba-tiba saja menyelip mobilnya.

"Ini yang nyetir pake mata gak sih!" katanya dengan nada tinggi.

Aku terkekeh sendiri. Lucu juga ya dia kalau lagi salah tingkah. Karena tidak ingin membuat makan malam berakhir dengan canggung akhirnya aku tidak melanjutkan Tentang bunga tersebut.

Setelah hampir setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di restoran yang telah Rhun reservasi. Begitu memasuki restoran, aroma masakan Italia yang menggugah selera menyambut kami.

Lampu redup menciptakan suasana intim, sementara suara lembut piano mengalun di latar belakang. Dindingnya dipenuhi dengan foto-foto klasik, dan tanaman hijau menghiasi sudut-sudut ruangan. Aku merasa seolah-olah kami memasuki dunia yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk kota.

Aku cukup kaget dia mempersiapkan ini semua hanya karena ingin makan malam bersamaku.

Kalau kayak gini, boleh gak sih kalo aku jadi kegeeran?

"Kamu suka tempatnya?" Rhun memulai percakapan setelah kami duduk di meja nomer tujuh

"Suka banget," jawabku yang masih takjub memandangi interior restoran ini. "Ada acara apa nih mas Rhun traktir aku di sini?"

"Mau aja emang harus ada alasan teraktir teman?" jawabnya santai.

Teman? Rhun sudah anggap aku teman dan bukan jadi adik manisnya lagi? ucapannya itu membuat aku makin menaruh harapan besar.

Aku menahan senyum sembari menundukan kepala. Kemudian setelah itu, seorang pelayan datang ke meja untuk mencatat pesanan. Setelah memesan, kami lanjut mengobrol banyak hal. Tentang pekerjaan dan kehidupan belakangan ini.

"Eh, aku mau tau tanya dong. Mas Gala cerita enggak sama Mas Rhun kapan ada rencana lagi mau pulang ke Indonesia?"

"Ga ada tuh. Kenapa emang? Ada sesuatu yang aneh?" katanya dengan wajah serius mendengarkan aku bicara.

"Gak ada sih cuman aku heran aja kenapa dia kayak buru-buru pulang. Padahal kuliahnya juga udah mau kelar. Bulan depan aja udah wisuda."

Rhun terlihat sedikit berpikir, lalu perlahan rileks dan tidak ambil pusing. "Dia bilang mau cari pengalaman kan? Mungkin lagi cari-cari kerja di sana. Nikmatin masa muda," jawabnya yang ia rasa paling logis.

Ya alasannya memang itu sih. Namun, entah kenapa aku merasa ada yang ditutupi oleh Mas Gala. Tak lama makanan pun datang. Pelayan itu menyajikan terlebih dahulu sebelum kembali ke tempatnya.

Aku dan Rhun menikmati makanan dengan khidmat. Kami berdua sepakat bahwa semua makanan yang di pesan beneran enak.

"Mas sering ya ke sini?" kataku setelah menghabiskan Grilled Salmon with Asparagus.

Rhun mengelap sisi mulutnya, lalu menyesal Lemonade Mint sebelum menjawab. "This is my first time. Aku minta rekomendasi Kafka. Dia paling tahu kan tempat makan atau restoran yang enak."

Aku mengangguk paham. Pantes ya waktu itu minta rekomendasi restoran di Yogyakarta buat ngajak nge-date calon pacarnya.

Ah tunggu. Calon pacar??? Membayangkan itu seketika membuat aku salah tingkah sendiri. Apakah Rhun benar-benar seniat itu ngajak aku makan malam di sini? sampai-sampai harus minta rekomendasi restoran dan bawa bunga segala.

Boleh gak sih kalau aku berharap setelah ini dia nyatain perasaan.

"Hayoooo kenapa senyum-senyum sendiri. Lagi ngebayangin sesuatu ya?" tembak Rhun dengan wajah jahilnya.

Aku langsung salah tingkah, mengibas udara depan wajah, padahal ruangan di sini tidak panas sama sekali.

"Ih enggak kok," kataku berusaha menutupi wajahku yang merah.

Ketika aku ingin megambil affogato sebagai makanan penutup, tidak sengaja tanganku bersentuhan dengan Rhun yang ingin mengambil tisu.

"Maaf." Kami mengucapkannya berbarengan.

satu detik
dua detik
tiga detik
empat detik

Tidak ada tanda-tanda Rhun—dan tentunya aku—yang lebih dulu berniat menggeser tangan. Hanya ada tatapan mata saja yang saling beradu.

Wajah Rhun terlihat serius. Tidak ada lagi senyum jahil dan ekspresi menggoda di sana. Tatapan itu membuat aku terpaku.

Aku tidak peduli bagaimana wajahku sekarang? Terlihat bodoh atau kah terlihat seperti orang tolol yang mendamba?

Yang aku tahu hanyalah sebuah keyakinan bahwa perasaanku tidak sepihak. bahwa Rhun juga punya perasaannya yang sama. Terlebih ketika sentuhan itu berubah.

Rhun menggenggam tanganku.

Aku tersentak, sempat melirik pada tangan yang saling menggenggam itu. Kemudian beralih pada wajah Rhun yang tersenyum tipis.

Ketika ingin bertanya "apa maksud dari semua ini?" "apakah dia serius?" "apakah hanya main-main saja?" kehadiran seseorang mengubah suasananya menjadi canggung.

"Waaaah udah selesai makannya?" Kafka yang hadir langsung menarik kursi, lalu duduk di sebelahku.

Rhun awalnya tidak melepaskan genggaman tangan itu. Aku merasa kebingungan, rasa senang dan canggung, kemudian berusaha melepaskannya.

Aku bisa melihat raut kekecewaan di wajah Rhun, lalu karena tidak ingin Kafka curiga aku langsung membuang muka ke arah Kafka sembari menjawab pertanyaannya.

"Baru aja selesai."

"Kok lo tiba-tiba ke sini, Kaf?" tanya Rhun sambil menegak habis minumannya.

"Bosen gue kerja melulu. Mau cari temen ngobrol," jawabnya dengan senyum lebar.

Ah, kalau begini aku jadi berandai-andai. Apa yaa yang terjadi kalau Kafka tidak datang ke sini? Apakah malam ini menjadi final dari sebuah penantian panjang perasaanku pada Rhun? Atau malah—lagi-lagi sebuah kekecewaan?

**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang