35. terluka

50 20 6
                                    

Hari-hari di kantor tidak lagi menyenangkan. Setiap tugas hanya terasa seperti beban yang harus kuselesaikan, tanpa semangat atau tujuan yang jelas. Satu-satunya yang selalu aku tunggu hanyalah waktu untuk kembali ke rumah.

Aku pikir, aku akan terbiasa. Pekerjaan Rhun memang lebih sering membawanya ke luar kantor, tetapi ada hari-hari di mana dia berada di sini—di tempat yang sama denganku—dan membuat segalanya jauh lebih sulit. Bertemu dengannya adalah hal terakhir yang kuinginkan, namun nyatanya tidak ada yang bisa kuhindari.

"Aku gak akan ngomong sama kamu!" ucapku waktu itu, penuh amarah yang bercampur luka.

Dan dia, seperti biasa, benar-benar menuruti kata-kataku.

Rhun tidak bicara. Tidak satu kata pun. Bahkan ketika aku melanggar janjiku sendiri. Bahkan ketika aku mengetik pesan demi pesan, mengirimkannya kepadanya tanpa malu.

Me: Kamu tega banget sama aku. Kamu tahu kan aku nangis ngeliat kamu sama Gami? Tapi kamu milih buat gak peduli dan tetap pilih fokus ke semua pekerjaan itu. Apa aku segitu gak berartinya? Terus apa artinya pertunangan kita? Kamu bahkan nggak bisa jelasin Mas!

Pesan itu tidak pernah dijawab. Tidak ada balasan. Tidak ada penjelasan. Namun, aku merasa sedikit lebih lega setelah mengirimnya, meskipun tidak menemukan titik terang. Semua ini rumit. Segala hal tentang kami sekarang hanya abu-abu.

Malam itu, setelah selesai bekerja, aku memutuskan memesan taksi online. Pak Herman sedang sakit, jadi aku tidak mungkin meminta bantuannya. Aku menunggu di samping pohon di depan gedung, memastikan tubuhku tidak terlihat terlalu jelas dari arah kantor.

Ketika kuangkat wajah, aku melihatnya. Rhun. Berjalan cepat seperti sedang dikejar sesuatu.

Dia masuk ke dalam mobil. Bukan mobilnya. Mobil itu... mobil yang sama seperti yang kulihat beberapa waktu lalu. Mobil yang Mas Gala masuki di depan minimarket. Mobil Gami.

Rasanya, dunia menertawaiku.
Apa yang kupikirkan selama ini?
Semua sudah jelas, bukan? Bahwa Rhun masih menyimpan perasaan itu untuk Gami.

Entah mengapa kakiku malah menuntunku ke sini. Ke rumah Kafka.

Aku memandang rumah dua lantai yang memiliki halaman luas. Tidak ada mobil di halamannya. Jadi aku rasa Kafka sedang tidak ada di rumah. Ya, meskipun dia ada di sana pun, aku sudah tidak punya muka bertemu setelah menyakiti hatinya.

Hampir lima belas menit aku berdiam diri memandangi rumah itu, sampai akhirnya perasaan ini benar-benar tenang, aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Selangkah demi selangkah mengingatkanku pada Rhun. Rhun yang protektif dan menyayangiku, berubah drastis hanya dalam sekejap. Setiap kali mengingat tentangnya, perasaanku sakit dan air mataku selalu tumpah.

"Kenapa gak masuk sih?"

Suara itu membuat waktu seolah-olah berhenti sehingga aku bisa melupakan Rhun dan kesakitan yang ia berikan. Aku membalikkan badan dan mendapati Kafka—dengan setelan rumahan—berdiri di sana, masih dengan senyum yang sama. Lalu ekspresinya berubah ketika melihat aku menghapus air mata. "Kamu kenapa?"

Ini di luar perkiraan sehingga aku bingung bagaimana mengatur mimik muka. "A-aku, gak—"

Sentuhan tangan Kafka yang ikut menghapus air mataku membuat aku bergeming. Diam-diam aku mengangkat wajah dan melihat wajahnya yang sangat khawatir. "Aku gak yakin ini air mata bahagia," katanya, lalu membawaku masuk ke dalam rumah.

Aku duduk di ruang tamu—yang jauh lebih rapi dari yang terakhir kali—sementara Kafka pergi ke dapur dan kembali dengan dua gelas teh hangat.

"Maaf ya kalau ke manisan. Aku jarang buat teh sendiri, biasanya sama Mbok. Tapi Mbok lagi keluar sebentar." Kafka tersenyum, lalu duduk di seberangku. "Jadi, apa yang buat kamu malam-malam ke sini, Bri?"

Aku menatap gelas tehku. "Eum, itu, aku gak sengaja kok lewat sini."

Kafka menggeleng sembari tersenyum tipis, lalu menyesap tehnya. Diam-diam aku mencuri pandang ke arahnya. Aku yakin bahwa Kafka tahu aku sedang tidak baik-baik saja, tetapi memilih untuk mempercayai jawaban bodohku.

Mana mungkin datang ke rumah orang karena gak sengaja?

Aku menggigit bibir bawahku, menahan air mata yang sudah kembali menggenang lagi. "Hmmm, sebenarnya aku juga gak tahu kenapa aku sampai ke sini alih-alih pulang ke rumah. Aku juga gak tahu meski mengira Mas Kafka gak ada di rumah, tetapi milih berdiri di depan sana."

Kafka duduk dengan tenang—masih memandangku dengan serius. "Kamu tahu kan Bri kalau rumah ini akan selalu terbuka lebar untuk kamu. Apa pun yang mau kamu ceritakan, I'm all ears."

Aku menundukkan wajah, tak mampu lagi menahan gejolak emosi yang mengoyak perasaanku. "Aku merasa kayak orang yang gak tahu diri. Setelah nyakitin Mas Kafka... aku malah datang lagi ke sini pas lagi terluka."

Terluka.

Satu kata itu cukup membuat Kafka yang tenang mengubah cara duduknya. "Aku gak pernah merasa kamu nyakitin aku, Bri. Gak sama sekali. Kalau pun perasaanku gak berbalas, itu biar jadi urusanku," ujarnya dengan lembut.

Ada hening yang cukup lama dalam percakapan kami, sampai akhirnya Kafka memberanikan diri untuk bertanya. "Apakah ini tentang hubungan kamu sama Rhun?"

Ada kehati-hatian di sana. Tetapi mendengar nama "Rhun" saja sudah cukup membuatku tak ingin mengingat luka itu.

Suara hatiku memintaku untuk menjawab, tetapi mulutku tetap terkunci. Apa yang bisa kukatakan?

Kafka sepertinya memahami kebisuanku. Dia tidak memaksa. Hanya duduk diam di hadapanku, menungguku hingga aku siap.

"Kalau kamu belum siap cerita sekarang, gak apa-apa," katanya akhirnya, dengan suara lembut yang penuh pengertian. "Yang terpenting kamu tenangin diri dulu. Aku selalu di sini."

Perlahan aku mengangkat wajah, menatapnya. Matanya tidak pernah berubah—penuh perhatian, lembut, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana.

Lalu ketika pandangannya jatuh pada cincin yang melingkar di jari manisku, ekspresinya sedikit berubah.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi tubuhku sudah terlalu lelah. Aku hanya menunduk, menarik napas panjang, dan membiarkan keheningan itu menyelimuti kami. Sebelum aku menyadarinya, mataku perlahan-lahan terpejam.

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku berada di sebuah kamar yang asing, tetapi nyaman. Matahari pagi masuk melalui jendela dengan tirai yang sedikit terbuka. Aku mengerjap pelan, mencoba mengingat bagaimana aku bisa sampai di sini.

Di meja kecil di samping tempat tidur, ada catatan yang tertulis rapi:

Bri, aku pergi kerja dulu. Di bawah ada Mbok yang masakin sarapan buat kamu. Nanti aku juga kirim orang buat anterin kamu pulang ke rumah. Take your time, ya.

Aku membaca catatan itu sekali lagi, senyum kecil terukir di wajahku. Kafka memang selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik tanpa harus berkata banyak.

**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang