28. pengakuan terbuka yang mendebarkan

102 15 0
                                    

Menjalin hubungan dengan seseorang tidak pernah mudah. Sejauh apa pun jarak umur atau perbedaan status kalian, pasti ada pasang surutnya, ada senang dan juga sedih.

Aku belajar memahami sebuah hubungan.

"Aku pacar kamu, Bri. Harusnya kamu kasih tahu aku. Ini aku malah tahu dari Alex tentang gosip kampungan itu!" Rhun menarik rambutnya ke belakang dengan raut putus asa.

"Aku ga akan tega cerita saat Mas Rhun juga lagi pusing dan banyak pikiran." Nadaku tidak kalah meninggi. Aku berusaha mengerti kesibukan Rhun, tetapi tidak menyangka bahwa responsnya akan berbeda.

Suasana dalam mobil hening. Lalu, Rhun menggenggam tanganku lembut. Itu kali pertama ia melihatku menangis. Entahlah, aku merasa sangat emosional saat itu. Kemudian, perkataannya membuat hatiku terenyuh.

"Maafin aku ya, Sayang. Aku gak seharusnya langsung bilang kayak gitu. Aku harusnya paham kalau kamu punya alasannya sendiri," ujarnya dengan nada lembut.

Aku mengangguk, jari tangan Rhun menghapus bulir putih itu. "Aku juga minta maaf karena terlambat jujur. Pasti kamu kecewa dan gak seharusnya aku juga bicara dengan nada tinggi tadi."

Menjalin hubungan, harus berani meminta maaf dan membunuh ego. Aku belajar darinya. Hingga hari-hari berlalu, sampai genap setahun hubungan kami lewati dengan jujur dan terbuka.

"Mau diundang juga? Dia kayaknya bakalan sibuk gak sih? Aku denger dari Syifa si fans berat Kafka, Mas Kafka bakalan terbang ke Belanda buat shooting film Sejarah?"

Rhun melirik sekilas ke arahku sembari mendorong troli belanjaan. Kami berencana akan masak bersama dalam rangka merayakan satu tahun anniversary. "Aku gak ikutin kegiatan Kafka sih. Yang. Tapi Kafka kalau di grup chat udah jarang nimbrung, kayaknya memang lagi banyak project deh."

"Kalau Mas Gala?" aku sengaja menancing. Meskipun Mas Gala seolah-olah bersikap normal, aku tahu ia sedang menutupi sesuatu.

"Sama aja. Grup udah makin sepi. Tapi tenang aja ... malam ini mereka bakalan datang kok ke acara kecil-kecilan kita ini," katanya berusaha menghiburku. Ya, setidaknya aku ingin memamerkan kemampuan memasakku.

Acara itu bertempat di apartemen Rhun. Alasannya karena aku ingin memasak dibantu oleh Rhun, bukan Mbok. Katanya sih, mamasak bareng pasangan itu akan menambah keintiman dan rasa nyaman satu sama lain.

"Gimana rasanya, Mas?" Aku menyodorkan sendok yang berisi kuah kuning. Kata Mbak Ira, udah kayak menu lebaran aja, tetapi gimana lagi, aku paling percaya diri kalau masak opor ayam. "Asin gak sih?"

"Mantep, pas banget. Lebaran tahun depan kirim aku dong, Sayang," balas Rhun yang sumeringah. Entah dia lagi nyindir atau tidak, yang jelas aku senang jika kelas masakku tidak sia-sia.

Mas Gala datang setengah jam lebih awal. Ketika melihat hidangan sudah tertata rapih di meja makan, dahinya berkerut menatapku. "Serius lo yang masak? Gak beli kan?"

Aku merengut, bisa-bisanya dia meragukan kemampuanku. "Tanya aja sama Mas Rhun. Aku masak sendiri, kan?"

Rhun terkikik geli, sambil menunjukan jempol tangannya. "Beneran Bri yang masak, Gal. Tenang aja gue udah icip, rasanya sangat layak buat di konsumsi."

Gala tergelak, lalu mengangguk. "Ya deh, gak sabar buat makan. Laper banget nih gue dari Serang." Kemudian ia duduk di kursi makan.

"Sabar, nunggu Mas Kafka dulu, kali!"

Tidak lama, suara bel di apartemen Rhun berbunyi, menampilkan Kafka yang datang masih dengan pakaian formal.

"Sorry, kecepetan ya datengnya?Emang sengaja sih," ucapnya sembari menyalami Rhun dan Mas Gala, lalu duduk di sebelah kursiku sambil tersenyum. Pandangannya beralih pada menu makanan di meja. "Luar biasa. Ini gak sia-sia sih gue macet-macetan di jalan abis pemotretan. Kebetulan lagi pengen makan opor."

"Bri yang masak."

Aku hanya bisa tersenyum saat melihat Kafka masih tertegun memandang hidangan di meja. Matanya bulat terbelalak.

"Keren juga ya kamu bisa masak kayak gini, Bri," katanya sambil mengambil sepotong ayam dan memandanginya dengan rasa kagum. "Aku gak nyangka sih. Serius kamu yang masak, bukan catering?"

Aku tertawa. "Udah, gak usah skeptis gitu. Aku masak sendiri, kok."

Rhun terkikik di sampingku. "Kafka, serius. Bri yang masak. Dia udah ikut kursus sama Mbak Ira segala. Kali ini emang totalitas."

Kafka mengangguk-angguk, seolah semakin terkesan. Tapi belum sempat dia memuji lagi, Mas Gala membuka suara sambil memasukkan makanan ke mulutnya. "By the way, Kaf, gue mau tanya deh."

Kafka mengangkat alisnya, sementara Gala menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Lo beneran jadian sama Arlita?" Gala bertanya dengan nada menggoda, membuat aku yang sedang menyendok nasi jadi ikut berhenti.

Aku mendongak, penasaran. "Arlita? Arlita pasangan Kafka di film Senja di Kala Itu? Wah, aku baru denger gosip itu!" tanyaku antusias.

Kafka menghela napas, menggeleng pelan sambil nyengir. "Gak usah kemakan gosip deh. Gak ada gue niat cinlok-cinlokan. Itu cuma akting, kok. Biasa aja."

Aku dan Gala saling pandang, tapi akhirnya kami tertawa bersama. Kafka selalu punya cara untuk meredam gosip tentang dirinya dengan santai dan tegas.

Obrolan kami pun mengalir dengan santai. Kami membicarakan tentang proyek terbaru Kafka, perkembangan kantor Gala di Serang, hingga cerita-cerita lucu seputar kursus memasak yang aku ikuti. Suasana jadi hangat dan penuh tawa, membuatku lupa sejenak pada rutinitas yang kadang melelahkan.

Namun, ketika kami hampir selesai makan, Rhun mendadak menatapku dengan tatapan lembut dan sedikit serius. Ada sesuatu di matanya yang membuatku merasa sedikit gugup.

Dia membersihkan tenggorokannya, menarik napas dalam-dalam. "Eh, gue ada kabar nih," katanya pelan, sambil menatapku dan kemudian Gala serta Kafka.

Aku mengernyitkan dahi, penasaran. "Kabar apa, Mas? Proyek baru?"

Aku berpikir dia akan bercerita soal proyek gede yang pernah dia sebut-sebut. Mungkin proyek pembangunan yang diidamkannya atau kerjasama besar di luar kota. Namun, respons Rhun justru membuat hatiku berdebar.

"Gak, ini bukan soal proyek. Lebih... personal."

Aku makin bingung, tapi tetap menatapnya dengan rasa ingin tahu.

Rhun melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih serius. "Gue udah pikir-pikir... kayaknya gue mau serius sama Bri deh."

Aku terpaku, masih tidak sepenuhnya mengerti arah ucapannya. "Serius gimana?"

Rhun mengangguk pelan, lalu tersenyum lembut padaku, tatapannya hangat. "Ke jenjang selanjutnya, Sayang. Pernikahan."

Aku langsung terdiam. Suasana seketika sunyi.

Gala dan Kafka yang sedang menelan makanan mereka langsung terbatuk-batuk, keselek di waktu yang bersamaan. Mereka buru-buru meneguk air, sementara aku hanya bisa menatap Rhun dengan mulut sedikit terbuka, masih berusaha mencerna kata-katanya.

Kafka mengusap mulutnya, lalu menatap Rhun dengan tatapan syok. "Gila, lu serius?"

Sementara Mas Gala hanya terdiam tanpa kata-kata.

Rhun hanya tersenyum, lalu menggenggam tanganku dengan erat. "Iya, gue serius," katanya, suaranya lembut dan penuh keyakinan.

Hatiku berdebar-debar, antara terkejut dan bahagia yang bercampur aduk. Aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan mengungkapkan niatnya di depan Gala dan Kafka, dan terlebih lagi... mengungkapkannya padaku dengan begitu terbuka.

Aku hanya bisa tersenyum, merasa seolah-olah dunia di sekelilingku menghilang sejenak, hanya tersisa aku dan Rhun.

"Lo gimana, Gal?"

Gala tersadar dari lamunannya. Ia pun menjawab dengan terbata. "Sebagai kakak gue sih setuju aja kalau Bri bahagia. Tapi jangan lupa buat obrolin juga sama ayah ibu."

Rhun mengangguk paham. "Setelah ini gue bakalan telepon mami papi buat rencanain semuanya. I told you, Gal ... gue serius sama Bri sejak awal."

Gala tersenyum tipis. Ia senang, tetapi aku merasakan sesuatu yang ganjil. Ia penuh dengan dilema.


**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang