Pagi ini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Biasanya aku akan sibuk mencari abang ojek online atau menelepon supir untuk mengantarkan ke kantor. Namun pagi ini, seseorang sudah menungguku di depan rumah.
Aku buru-buru turun ke bawah, takut Rhun akan menunggu terlalu lama.
"Non Bri mau bawa gak bekalnya buat di kantor?" tawar Mbok Dar yang masih sibuk di dapur. Karena kelamaan dandan, akhirnya aku tidak sempat sarapan. "Belum sempat sarapan lho."
Aku yang sedang memaki Sepatu di ruang tengah dekat meja makan pun menjawab, "Bawa aja, Mbok. Ah, iya, bawain satu tempat makan lagi buat Mas Rhun."
Mbok Dar senyum-senyum sendiri. Meskipun tidak secara gamblang bicara, sepertinya ia tahu tentang kedekatan kami. Ya, memang sekilas tidak ada yang berlebihan sih. Hanya saja intensitas bertemu semakin sering. Rhun juga beberapa kali makan bersama di rumah. Padahal dulu cuma antar depan rumah, jarang kalau berlama-lama. Kecuali ada Mas Gala.
Semalam aku pulang agak larut. Kami banyak ngobrol sehabis makan malam. Terutama bagian bagaimana aku mulai menyukainya.
"Masa sih Mas Rhun gak nyadar aku sukanya dari SMP?"
Rhun tertawa. "Udah suka dong pas waktu minta foto di Kantek?"
Aku mengangguk pelan. "Dulu aku cuma suka aja. Gak berani bilang ... soalnya pasti Mas Rhun gak suka sama anak kecil kayak aku."
"Lah itu kamu tahu," jawabnya sambil mencubit hidungku gemas.
"Oh jadi emang gitu ya kenyataannya?" Ada nada kekecewaan di sana. Meskipun sekarang kita sudah resmi pacaran, tetapi tetap saja bagiku menyakitkan. Apalagi tidak lama dari itu, Rhun berpacaran dengan Gami.
"Bri, aku bisa di-cap cowok cabul. Mungkin juga digebukin sampe babak belur sama Gala dan warga komplek kalau suka sama anak di bawah umur." Rhun menerawang jauh. "Lagi pula, aku kira kamu sukanya sama Kafka."
"Hah?" Aku kaget tidak percaya. "Emang kenapa aku sama Mas Kafka?"
Rhun berpikir cukup lama, lalu kemudian bilang, "Gapapa hehe. Perasaan aku aja. Eh udah jam 11 malem nih, aku anter pulang yuk! Gaenak sama Mbok Dar kalau tiap sama aku pulangnya malem terus."
Begitu-lah malam kami berakhir, tanpa pernah sempat aku bertanya lagi.
"Nih, Non Bri. Ini yang warna kuning punya Non." Mbok Dari memasukan tempat makan ke dalam tas, kemudian menyodorkan tempat makan biru padaku. "Nah, yang ini buat Mas Rhun."
"Terima kasih, Mbok."
Ketika aku baru keluar rumah dan berjalan ke mobil Rhun, mobil milik Kafka masuk ke halaman rumah. Aku mengurungkan niat membuka door handle, lalu berjalan mendekat ke Kafka yang sudah memarkirkan mobilnya sempurna di samping mobil Rhun.
"Lho, Mas Kafka? Tumben gak bilang kau ke sini."
"Oh, kamu udah mau berangkat sama Rhun, Bri?" Kafka keluar dari mobilnya.
Kini posisi kami saling berhadapan. Aku bisa melihat kantung matanya makin lebar, ia juga kelihatan sangat lelah. Mengenakan kaos polos putih dan celana pendek berwarna cokelat. Aku sangsi belakangan ia tidur nyenyak dan dapat banyak istirahat.
"Hmm..."
Belum diberi kesempatan menjawab, Rhun tiba-tiba sudah berada di sampingku. Keterkejutanku tidak sampai situ saja, setelahnya, tanpa aba-aba, ia menggenggam tanganku. "Ya dong berangakt sama cowoknya."
Kafka mengernyit bingung. "Maksudnya?" Kemudian pandangannya beralih pada tangan kami yang saling menggenggam. "Waaah, serius? When did you two start dating?"
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
Literatura KobiecaBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...