Malika duduk pada salah satu meja kafe langganannya. Mengaduk minuman yang sedari tadi belum ia teguk sama sekali. Malika menatap kosong kearah tembok didepannya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Rasa di hidupnya begitu hampa, tak ada yang dapat dibanggakan lagi. Semuanya benar-benar hancur. Malika menatap cermin yang terpasang ditembok kafe tersebut. Malika menatap matanya sendiri yang sembab akibat menangis seharian ini.
Hari minggu yang menyedihkan. Tak ada lagi jalan-jalan mengelilingi kota bersama Arga dan Santy. Tak ada lagi menikmati semilir angin malam diatas motor Tio. Tak ada lagi makan es krim dan permen kapas di bangku taman. Tak ada lagi senyumnya yang dulu sangat manis. "Malang banget hidup gue," Malika tersenyum kecut menatap cermin di hadapannya. Hidup yang sangat membahagiakan itu sudah habis tak tersisa. Kenangan yang dulu ia rakit bersama orang-orang tercinta sudah hancur lebur.
Pintu kafe terbuka. Malika menatap siapa yang baru saja masuk ke dalam kafe. Sepasang kekasih yang dengan mesra bergandengan tangan. Mereka sangat familiar dimata Malika. Satu minggu sudah Malika melihat pemandangan yang sama. Seorang yang dulu menjadi sahabatnya, kini menjadi kekasih baru dari mantan kekasihnya. Malika tersenyum miris melihat kemesraan mereka berdua. "Mereka punya hati gak ya?" Malika membuang muka ketika mengetahui Tio juga menatapnya.
Tak ingin menambah beban pikirannya, Malika menuju kasir untuk membayar pesanannya dan pergi keluar kafe. Malika memasuki mobilnya dan melajukan mobil entah kemana tujuannya. Malika memberhentikan mobilnya tepat di tempat parkir taman. Malika keluar dengan menenteng tas selempangnya dan pergi menyusuri setiap sudut kamar. Malika menuju kearah penjual es krim yang biasa ia beli ketika bersama Tio dulu.
"Es krim vanila dua ya, Neng?" Tanya penjual es krim tersebut menyambut kedatangan Malika.
"Satu aja, Pak," Malika tersenyum manis pada penjual es krim tersebut.
"Mana pacarnya, Neng?" Penjual es krim tersebut mencoba mencari topik pembicaraan dengan tangan yang sibuk membuat es krim.
"Udah gak sama-sama lagi," Malika tersenyum kecut kearah penjual es krim tersebut.
"Aduh, maaf ya, Neng," penjual tersebut meringis merasa bersalah dengan apa yang sudah ia tanyakan. Malika hanya menggeleng dan menerima es krim yang ia pesan.
Malika mencari bangku kosong untuk ia duduki. Matanya terus mengitari sekeliling mencoba mencari tempat yang nyaman. Mata Malika berhenti pada salah satu bangku yang ada disana. Kakinya mulai melangkah maju menuju bangku tersebut. Malika menduduki bangku tersebut dengan mulut yang terus menjilat es krim vanilanya. "Enak banget," ucap Malika menjilat es krim tersebut sampai habis. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Malika memutuskan untuk pulang kerumahnya.
Malika memberhentikan mobil dihalaman rumahnya. Malika segera turun dan memasuki rumahnya. Malika menunjukkan wajahnya pada alat pendeteksi agar kunci pintu dapat terbuka. Namun, sekian lama Malika mencoba hasilnya tetap saja gagal. Malika menelepon Arga agar membuka pintu dari dalam, supaya dirinya tak terlalu lama berada diluar.
"Nomor yang anda tuju tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi."
"Ah! Ada-ada aja!" Ucap Malika menatap ponselnya.
Malika duduk pada kursi teras yang berada disamping pintu. Malika menyandarkan kepalanya pada kursi dan mulai terlelap.
*****
"Lika, bangun," suara Arga membangunkan tidur Malika. Malika yang merasa tidurnya diganggu langsung membuka matanya.
"Pulang jam berapa kamu?" Tanya Arga menatap Malika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika dan Luka [TERBIT]
Teen FictionHidup di dalam keluarga lengkap dan bergelimang harta tak selamanya indah menurut seorang Malika. Gadis cantik yang baru menginjak SMA ini bisa dibilang sangat kesepian. Hidup di rumah mewah hanya dengan seorang pembantu dan supir karena kedua orang...