•
•
"Papa?" panggilnya.
"Papa?"
Tidak ada jawaban terdengar selain rintik hujan kian menderas, tangan mungilnya menyentuh permukaan wajah pias nan dingin papa. Anak gadis kecil itu tidak tahu papanya tertidur pulas atau pulang selama-lamanya dan tidak kembali lagi membuka mata.
"Papa!" teriaknya.
"Papa, bangun!" Anak gadis kecil itu berulang kali memanggil dan mulai ketakutan.
Hujan kian deras, kilatan petir menyambar kencang, tubuh kecilnya memeluk erat tubuh papa. Mendekapnya erat tak ingin di lepas.
"Papa, bangun," bisiknya.
"Papa, ayo bangun jangan tidur terus."
"Ayo, bangun! Katanya mau lihat Zila tumbuh dewasa tanpa sakit-sakitan lagi."
Pikirannya memutar pada minggu lalu sore hari saat senja akan merangkak naik. Di mana ia menangis kencang dan marah tak terima saat papa menjual perhiasan miliknya entah untuk apa, barangkali itu sebabnya. Iya, barangkali itu sebabnya papa marah hingga tak mau membuka mata.
"Papa, maafin Zila."
Pipinya memerah, menahan tangis agar tak tumpah.
"Zila janji gak bakal nagih, Zila ikhlas benda itu buat Papa."
"Pa, kenapa Papa gak bilang dari awal kalau Papa gak punya uang tambahan buat berobat."
"Maafin Zila, Pa."
"Zila janji bakal jadi anak penurut yang baik. Zila janji, Pa."
Pipinya semakin memerah, seiring dengan derap langkah kaki mendekat dan merangkul tubuhnya.
"Zila, Papa sudah tiada, Papa sudah gak bernyawa. Ayo, sini dengan Mama!"
"Papa masih ada, dia hanya sedang tertidur."
"Papa sudah tidak ada, Zila."
Sejenak Zila terpaku pada mata mama, mata sembab yang membuat Zila semakin cemas tersiksa. Mencermati setiap lontaran yang keluar dari mulut mama, sambil menolak untuk percaya bahwa papa sudah tiada.
Awalnya, Zila tak percaya. Bahkan, ia tak menangis ketika mendengar kabar papanya telah tiada. Ia tetap ceria dan bercanda di dalam mobil saat perjalanan menuju rumah istri papa kedua. Baginya, papa masih ada di depannya, tidur nyenyak dengan kain kafan sebagai selimut. Ia masih bisa merasakan tidur di dekat papa hingga pagi hari saat pemakaman tiba. Bahkan, ia tak menangis di tengah kerumunan pelayat. Dia mengira papa hanya sedang tidur lelap karena kelelahan, tanpa menyadari bahwa papa sudah tidak bernyawa.
Namun, saat mama berkata papa telah tiada tak bernyawa, perasaan Zila mulai cemas, meskipun dia belum sepenuhnya menyadari keadaan tersebut. Lalu ketika papa dibalut kafan di rebahkan di dalam lubang bawah tanah, barulah ia merasa kehilangan. Tangisnya tumpah dengan seketika.
Hingga akhirnya, di atas gundukan tanah basah berselimut bunga mawar itu, Zila tak merasakan lagi apa-apa selain tangisannya meratapi kehilangan. Semua yang ada hancur tersiksa dan pandangannya pun terasa kosong.
Papa benar-banar telah tiada. Telah pergi dari dunia.
Pandangannya benar-benar hampa, tidak bisa mencerna apa-apa. Suara tangis mama dan suara bisikan orang-orang terdengar bergema di telinga. Bahkan, ketika para pelayat mulai meninggalkan dirinya dan mama, Zila tetap terdiam, membeku, tidak mampu melakukan apa-apa. Terlebih lagi, dia belum bisa menerima kenyataan takdir yang telah terjadi.
Bahkan, ketika orang-orang mengucapkan belasungkawa di balik kijing papa, dia masih tetap diam membisu, meratapi gundukan tanah berbalut bunga mawar. Ia tahu, mereka hanya menunjukan empati hari ini, tetapi esok tidak.
Ya, ia percaya dengan adanya kematian, tetapi kematiaan papa sangat mengejutkan. Kemarin lusa ia masih bisa becanda tawa, bahkan masih bisa marah, tetapi hari ini papa tiada.
Kenapa harus sekarang? Kenapa gak nunggu aku dewasa? Kenapa harus papa? Dan kenapa tidak aku saja?
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepala, jadi Zila lebih memilih untuk memendamnya. Ia memeluk papan nisan kayu papa dengan tubuh gemetar. Membayangkan bagaimana besok menjalani hidup tanpa papa, memikirkan biaya rumah sakit bila nanti tiba-tiba sakit. Tidak akan ada lagi suara tawa, dan kemarahan papa. Tidak ada lagi papa untuk Zila.
Ketika Zila masih sangat kecil, dia punya mimpi bahwa ketika beranjak dewasa, ia ingin di dampingi papa. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya adalah seorang gadis yang kuat dalam menghadapi segala hal. Namun, semua mimpi itu lenyap dalam sekejap. Zila terluka, tidak bisa membuktikannya kepada papa, tetapi ia ingat dalam satu hal bahwa ia masih punya mama yang harus ia buktikan. Ia ingin membuktikan bahwa setiap penyakit pasti ada waktunya sembuh dan kembali seperti semula. Oleh karena itu, ia menyimpan harapan besar pada mama. Ia berharap bahwa mama akan melihatnya tanpa sakit ketika dewasa nanti.
Hai, aku kembali di sini.
Aku gak yakin kalian bakal baca cerbung ini apalagi komen, selain karena aku sering hiatus juga sering ngilang gitu aja, pasti kalian kesel di php'n. Jadi jika kalian nemu cerita ini lalu membaca dan komen. Terima kasih banyak, yaa! Luvyu ...(´・ω・')Aku usahain update setiap hari deh atau seminggu sekali xixi. Tapi kalau gak setuju seminggu sekali, kalian boleh komplen ke aku suruh buat update cepat.
Segini aja, ya. Babay aku mau bernafas dulu lelah dengan hidup penuh drama ini.(ღ˘⌣˘ღ)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
General FictionDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...