Meremas baju tidur Doraemonnya sakit, menepuk dada mencoba menghilangkan rasa sesak, tapi tidak juga reda. Ia sudah berkali-kali mengalami hal seperti ini dan mustahil akan sembuh dan cepat berlalu, namun malah kembali buntu.
Meraba seprai mencoba duduk bersandar pada ranjang kasur, Zila mentarik ulur oksigen dalam-dalam. Dunia seolah berputar lebih lambat di sekililingnya. Setiap usaha untuk berdiri dan bergerak membebani tubuh dengan beban yang tak terhingga.
Kakinya sudah tidak sanggup melangkah mengikuti setiap permainan semesta, seolah berada di dasar lautan di mana tekanan air yang berat membuatnya sulit untuk bergerak.
Kaki-kakinya terasa lemas, dan tubuhnya terasa berat. Ia merasa sedang berjalan melalui pasir yang bergerak. Lelah, Zila merasa lelah sekali dengan takdir yang semesta berikan.
Perempuan kecil itu meringis, mengingat alasan dirinya diberikan ke panti, kerena ia sering sakit-sakitan seperti ini.
Zila cape, Zila lelah akan semua hal ini, dunianya telah hancur luluh lantak. Sesak napas kambuh menjerat napas membuatnya merasa berjalan melalui badai tanpa henti, dengan tiada tempat untuk berlindung. Ia merasa berada di tengah lautan yang luas, terombang-ambing tanpa tujuan dan tanpa penenang.
Rindu pada orang tua menambah beban di hatinya. Zila merindukan pelukan hangat mereka, serta suara lembut mereka yang mampu menenangkan hati. Namun, mereka jauh tak terjangkau dan rindu itu hanya menambah rasa sakit. Ia ingin marah dan menyalahkan mereka, mengapa dirinya terlahir ke dunia, tetapi bagian mana yang harus ia salahkan. Semua tidak ada yang perlu di salahkan.
"Ma, jauh darimu semakin sakit. Aku tidak sekuat itu."
Hening, di luar hujan menggema memperdalam kesunyian, kedinginan menusuk merasuk tulangnya.
Kalau seandainya ia lahir ke dunia dengan keadaan sehat, kalau seandainya sakit ini tidak terus menerus. Apakah sekarang Mama ada bersamanya? Apakah Mama tidak akan memberikannya ke panti asuhan?
Mengapa harus seperti ini? Zila terlalu merepotkan, terlalu lemah, bahkan tidak bisa membuat mereka bahagia dengan kehadirannya. Jika takdir bisa di tolak dan jika waktu bisa di putar, Zila memilih tidak ingin lahir ke dunia.
"Zila sakit, Ma. Dada Zila sakit banget butuh Mama."
"Harus bagaimana, Ma? Biar seperti dulu lagi, ketika sesak kambuh, Mama selalu ada menenangkan." Zila meringis, memeluk buku dongeng Cinderella erat. Buku itu membelinya sewaktu naik bus ketika mereka mengajak Holiday ke taman Safari, suara lembut mama terasa abadi di sana ketika membacakannya. Sekarang tidak ada lagi, Zila merindukan itu.
Obat penenang hanya mama dan papa. Mereka tempat yang mampu mengobati luka. Bahkan, ketika dia tidak ingin meminum obat mama yang selalu membujuk. Lantas jika mama sekarang tidak ada di samping Zila lalu siapa yang akan menenangkan. Dan jika mama tidak ada di samping Zila, apakah akan sembuh atau semakin kambuh, meskipun ada Ibu Riani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
General FictionDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...