Setelah beberapa saat, Zila dan Liona melihat sosok yang dikenal mereka berlari ke arah mereka. Itu adalah Daffa, dengan kantong plastik di tangan dan rambutnya yang basah kuyup. Lelaki itu tampak lelah, tetapi senyumnya lebar ketika ia melihat Zila dan Liona.
"Aku mencarimu, Zila," kata Daffa, menarik napas panjang. "Aku khawatir ketika kamu tidak ada di ruko."
Zila merasa lega melihat Daffa. Dia berdiri dan berlari ke arah Daffa.
"Maafkan aku, Kak Daffa," kata Zila, suaranya bergetar. "Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Daffa menggeleng, tersenyum pada Zila. "Yang penting kamu baik-baik saja, Zila."
Setelah itu, mereka bertiga memutuskan untuk pulang ke panti asuhan. Mereka berjalan bersama, berbagi payung dan tawa. Meski hujan masih turun, mereka merasa hangat dan bahagia. Mereka tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain, dan itu sudah cukup.
Saat mereka sampai di panti asuhan, mereka disambut dengan hangat oleh Ibu Riani dan Bibi Seni. Mereka menceritakan petualangan mereka di bawah hujan.
Zila merasa ada sesuatu yang perlu dia bicarakan. Dia melihat ke arah Daffa dan Liona, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku ingin bicara tentang sesuatu," kata Zila, suaranya lembut.
Daffa dan Liona menatapnya dengan penuh perhatian. Mereka bisa merasakan bahwa ini adalah sesuatu yang penting bagi Zila.
"Aku mendengar obrolan Bibi Seni tadi," lanjut Zila, matanya menatap lantai. "Dia... dia bilang bahwa Bibi Seni tidak menginginkan aku ada di sini. Dia bilang Ibu Riani juga keberatan dengan keberadaanku."
Air mata mulai mengalir di pipi Zila. Dia merasa begitu sakit mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu ia harus mengungkapkannya.
"Itulah sebabnya aku lari," lanjut Zila, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku merasa begitu sakit dan... dan aku merasa begitu takut."
Daffa dan Liona terdiam, merasa sedih mendengar pengakuan Zila. Mereka berdua merasa begitu kasihan pada Zila, tetapi mereka juga merasa bangga karena Zila berani mengungkapkan perasaannya.
"Zila," kata Daffa, suaranya lembut. "Kamu tidak sendirian. Kami ada di sini untukmu. Dan kami akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi."
Zila menatap Daffa dan Liona, matanya berkaca-kaca. Ia merasa begitu beruntung memiliki mereka di hidupnya. Meski ia merasa sakit, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dan itu membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Setelah mendengar pengakuan Zila, Bibi Seni yang sejak tadi berdiri di pintu ruangan merasa sangat bersalah. Ia tidak pernah bermaksud menyakiti Zila dengan kata-katanya. Ia hanya... tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan kebenaran itu.
Bibi Seni menghela napas panjang, lalu berjalan mendekati Zila. Ia berlutut di depan gadis kecil itu, menatap matanya yang masih basah oleh air mata.
"Zila," kata Bibi Seni, suaranya penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku... aku hanya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
Ficción GeneralDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...