04. Teman Pertama

2 0 0
                                    

"Bu, kapan Mama akan datang ke sini?" tanya Zila, hatinya merasakan tercabik-cabik sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bu, kapan Mama akan datang ke sini?" tanya Zila, hatinya merasakan tercabik-cabik sakit.

"Zila, tolong jangan terus bertanya itu," jawab Ibu Riani dengan lembut.

Rasa pusing kembali menerpa, bibir pucatnya bergetar. Ia bersandar pada kepala kursi, meringkuk memeluk kedua lututnya, menikmati suhu dingin yang membuatnya ingin pingsan.

"Apakah Mama tidak merindukan Zila? Apakah Mama bahagia tanpa kehadiran Zila di sana?" Suara Zila mulai serak, lalu terkekeh pelan.

"Mengapa Zila harus berada di sini bersama Ibu Riani? Mengapa hanya Zila seorang, tapi mengapa Bang Hasbi tidak ada di sini juga?"

Air mata Zila luruh membasahi pipinya.

"Apakah karena Bang Hasbi anak yang kuat, anak yang paling dicintai Mama dan Papa? Apakah karena Bang Hasbi tidak memiliki penyakit seperti Zila?"

Rasa sakit mendera, sulit baginya untuk menarik napas dan segala terasa begitu kacau.

"Bu, Zila juga butuh Mama."

Setiap menit dan jam, selalu memikirkan mama, berharap Ibu Riani akan membawanya pulang, mengembalikannya ke rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggal Zila.

"Kembalikan Zila kepada Mama. Kembalikan Zila ke rumah Mama."

Air matanya kembali luruh, hatinya terluka, pikirannya hampa, hidupnya tidak lagi sama seperti sebelum dia ditinggalkan di panti. Semua telah berubah, keceriannya sirna.

"Zila tidak bisa hidup tanpa Mama, Papa. Zila tidak sekuat itu."

Mencekram baju tidurnya erat, mencoba meluapkan rasa pedih yang ia rasakan.

"Zila, tolong jangan seperti itu. Kamu tinggal di sini di jamin tidak akan kekurangan apa pun. Berhenti untuk tidak menangis lagi. Bukankah kamu sudah berjanji akan menjadi anak ceria?" ujar Ibu Riani berusaha menenangkan.

Melihat gadis kecil itu terus menangis meminta dikembalikan kepada orang tuanya, Ibu Riani merasa tidak tega. Ia merasa orang paling jahat di dunia karena telah mengambil hak asuh Zila dan telah menghancurkan keceriaannya.

Zila terisak menangis dan mencoba berdiri, berjalan dengan langkah yang lunglai.

"Zila?" panggil Ibu Riani.

Zila berhenti dan menoleh dengan air mata masih bercucuran di pipinya. "Bu, tahu tidak? Zila ingin pulang."

Ibu Riani mendekat, mengelus rambut hitam terang mengkilap milik Zila. Ia berdiri di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Ruangan keluarga minim cahaya itu kembali sunyi, hanya menyisakan detak jam dinding. Zila merasa Ibu Riani tidak pernah peka dengan perasaannya.

"Ibu tahu, Zila. Ibu tahu. Tolong sabar dulu sebentar, nanti Ibu akan mengantarmu untuk bertemu Mama," ujar Ibu Riani.

Zila kembali tersenyum, meskipun pikirannya masih melayang buana entah ke mana. Dia tahu bahwa bertemu dengan mama tidak akan mudah, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Semuanya terasa begitu sulit. Jika saja dia tahu jalan pulang  mungkin ia sudah melarikan diri untuk menemui mama.

Melangkah Bersama SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang