Sinar terik menyinari taman bermain, diselingi riak cahaya dan riuh suara riang anak-anak. Ayunan berayun, membawa ceria dan kebahagiaan di setiap gerakannya. Namun, di tengah gemuruh sukacita itu, ada kesedihan yang bersembunyi di balik senyum palsu.
Zila merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan, seperti rantai yang terbelit mengikatkan dirinya. Ayunan yang semula menggambarkan kebebasan, kini menjadi penjara sesak yang membelenggu napas dan raga. Seakan-akan dunia berhenti berputar, menghasilkan hampa yang membebani dadanya.
Dia mencoba menarik udara, mengisi paru-paru dengan kehidupan, namun udara tetap berhenti di ambang kehidupan. Rasa sesak menyebar, meresap ke setiap sel saraf, seolah-olah menghancurkan harapan dalam serpihan-senandung yang tak terucap.
"Zila, apa yang terjadi?" tanya Liona panik.
Pandangan mata teman-teman seolah-olah berubah menjadi jeritan kegelisahan, mencela keadaan yang tak terduga. Sorakan mereka memudar, digantikan oleh kisah kepanikan yang menari dalam harmoni keterkejutan. Tangisan tak berhenti-henti menghias taman bermain menjadi alunan kesedihan yang menyesakkan.
"Dadaku sesak sekali, Kak Liona," ucap Zila dengan suara terengah-engah.
"Zila, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?"
"Aku... aku sedang mengalami sesak napas. Perasaanku seperti tertahan dan aku merasa takut."
"Bisakah kamu bernapas dalam-dalam? Cobalah rileks dan biarkan napasmu teratur."
"Aku berusaha, tetapi rasanya sulit. Sepertinya sesak ini semakin memburuk, Kak Liona. Dadaku sakit sekali."
Zila memegang erat dada yang terasa sakit. Rasanya seperti luka yang belum sembuh, merasuk dalam relung hati. Tangannya mengepal, mencoba menahan rasa nyeri yang melanda. Namun, sesak itu terasa semakin memburuk, membelai dada dengan kepedihan yang tak terungkapkan.
Dalam keraguannya, jantungnya berdegup kencang, seperti kilatan petir dalam malam yang gelap gulita. Dadanya terasa terbakar oleh kobaran emosi yang berkecamuk. Dalam kelemahannya, Zila mencari jalan keluar, mencoba meredakan derita yang mencekik.
Namun takdir berkata lain, rasa sakit itu melintasi batas, seperti seekor binatang buas yang melampau kendali. Zila memegang erat dada yang hancur, mencari pelipur lara. Air mata tak terbendung mengalir, mencerminkan kesedihan yang tak terungkapkan.
Zila ngepal tangan pada dadanya yang rapuh. Zila berusaha menemukan jalan keluar, mencari kelegaan yang mungkin ada. Mencengkeram puing-puing hati yang remuk, mencari sinar yang bisa menerangi.
"Jangan panik, Zila. Aku akan mencari bantuan sekarang juga. Teruslah bernapas, kita akan menyelesaikan ini bersama."
Dalam kekacauan tersebut, seorang wanita muncul tak lain ia adalah Ibu Riani. Ia mendekat dengan langkah tergesa-gesa, berusaha menerobos tembok masif yang memisahkan Zila dari kebebasan. Dengan raut penuh balas kasihan, dia berusaha membebaskan Zila dari penjara yang tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
Ficción GeneralDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...