24. Liona & Masalalu

7 1 0
                                    

"Liona," panggil Ayahnya Liona

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Liona," panggil Ayahnya Liona.

Liona melongok, memperhatikan sekitar yang lengang. Matahari menyembul dari balik pegunungan, memancarkan sinarnya yang keemasan. Kilauan cahaya matahari menghiasi halaman depan rumah panti, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.

Rumput hijau bergoyang lembut tertiup angin. Bunga-bunga bermekaran indah, menebarkan harum yang menyegarkan.

Burung-burung berkicau merdu, menyapa hari yang baru ceria. Semua terlihat indah dan menyenangkan.

"Tumben ayah kemari."

Liona hirau, menatap sebentar ayahnya datang ke panti dengan tatapan datar. Ia tak menunjukan sedikitpun rasa senang atau harap pada kedatangan ayahnya.

Kaki Liona melangkah pergi, sedikit menjauh dari ayahnya. Ia tak ingin bertemu, tak ingin mendengar kata-kata yang seolah akan menyakiti hati.

Liona mencari tenang di sudut panti, berharap bisa menghilangkan rasa sakit yang menghujam hati.

Sebab ia tahu betul apa yang di katakan ayah pada hari itu, masih teringat dalam benak.

Ada dua kemungkinan dengan kedatangan ayah ke panti itu menyeramkan bagi Liona. Ia benar-benar takut jika ayah memilih untuk membawanya pulang ke rumah Ibu tiri.

Liona masih ingat dengan jelas betapa kerasnya perlakuan itu tiri. Ia masih merasa terkejut ketika ingatan itu menyeruak kembali. Saat Ibu tiri mencaci maki, saat dipaksa melakukan pekerjaan rumah yang berat, saat dilarang bermain dengan teman-teman. Semua itu terukir jelas di dalam jiwa.

Liona merasa terjebak di dalam lingkaran kesedihan yang tak berujung. Ia ingin berteriak, ingin menunjukan rasa sakit yang menghiasi hati. Namun, ia hanya bisa menahan tangis. Ia ingin menghilang, menghilang dari dunia yang tak mengerti perasaanya.

"Ayah lagi bicara apa dengan Ibu Riani?"

Liona mengernyit.

"Ayah mau bawa aku pulang?"

Liona bergumam lirih, tubuh seketika melemas seolah di isi dengan timbal ketika mendengar ayah mengatakan akan membawanya pulang dari panti. Rasa harapan yang sebelumnya menyala di dalam hati seolah padam dalam sekejap.

Menatap jauh ke depan pada ayah, membayangkan apa yang pernah terjadi waktu itu menyeramkan bagi Liona. Memejamkan mata, ia merasa terkejut dengan kemungkinan yang diberikan ayah.

Ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia tak ingin kembali ke rumah Ibu tiri. Namun, kata-kata itu seolah terjebak di tengah-tengah tenggorokan.

Sebenarnya Liona tak masalah jika Ayah mengajak pulang, asalkan pulang ke rumah Nenek karena ada adik perempuan di sana.

Dan perihal adik perempuannya itu.
Ketika Liona masih kecil ia sayang banget kepada adik itu. Bahkan, nenek sering bilang "Umur Liona dan adik hanya beda beberapa tahun maka dari itu tidak akan bisa di pisahkan."

Melangkah Bersama SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang