Cuaca mendung di siang ini, dengan udara yang cukup dingin, angin sepoi-sepoi menggoyahkan dedaunan.
Meratapi kejadian di rumah panti yang baru saja terjadi. Dia merasakan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Bibi Seni, kata-kata yang tak pernah ia dengar sebelumnya dari mulut orang tua sendiri.
Tubuh terasa lelah, kepala terasa pusing. Menghela napas dalam-dalam, manik mata cokelat kelamnya mengalihkan padangan.
Liona tertegun mendapati si gadis dengan pipi berurai air mata. Ia merasa bersalah telah membawa Zila pulang lebih cepat dan tidak mengajaknya bermain ke taman lebih dahulu. Memperhatikan setiap tetes-tetes air mata berjatuhan ke tanah. Tatapan matanya nyaris kosong, pipi chubynya agak memerah, bibirnya sedikit kering berdarah.
Liona merasa tidak tega melihat Zila terus menangis. Ia meraih kedua tangan Zila dan menggenggam. Telapak tangan Zila terasa dingin, jari-jarinya mungil.
"Zila?"
Zila reflek menoleh mendapati Liona menatapnya lekat, wajah teduh namun tatapan matanya hampa. Zila mengusap air matanya terasa perih.
Liona yang setia duduk di samping Zila, tangannya mulai telurur membantu menyeka sisa-sisa air mata, dan memperbaiki poni berantakan tersapu angin.
"Maafkan Bibi Seni, mungkin kamu tersinggung dengan ucapannya," ujar Liona penuh khawatir, takut takut Zila tidak ingin kembali ke panti setelah mendengar ucapan tadi. Ia jadi bertanya apa semua baik-baik saja?
"Iya, nggak apa-apa, kok, Kak." Zila masih mengusap sisa-sisa tetes air mata di pipinya.
"Benarkah tidak apa-apa?"
Ucapan itu di jawab dengan anggukan pelan. Liona merapikan poni Zila tersapu angin berantakan, jepit pink fanta jatuh mengenai pangkuan si gadis. Liona terkekeh kecil, lalu memasangkannya kembali.
"Kamu ngerti apa yang dikatakan Bibi Seni?"
"Iya."
Liona menghela napas panjang, antara gemas dan kasian. Ia tidak habis pikir melihat tingkah Zila yang super polos, ia mengira Zila tidak mengerti apa-apa mengenai percakapan orang dewasa, ternyata Zila tidak begitu naif. Ia bisa dengan mudah tersinggung jika ada percakapan yang menyakitkan.
Suasana mulai sepi, tidak ada orang berlalu lalang. Awan kelabu semakin menggumpal, menandakan akan segera turun hujan, menciptakan keheningan di sekitar.
"Pulang, yuk, sebentar lagi bakal hujan," ajak Liona.
Zila menggelangkan kepala pelan.
"Kenapa?" tanya Liona.
"Aku bisa pulang sendiri. Aku mau menunggu Mama sebentar di sini, Kak, sambil makan permen lolipop."
Zila sebenarnya berbohong kali ini. Permen lolipop masih ada di kantung bajunya, padahal dia tidak memiliki selera untuk makan apa pun. Dia hanya ingin menunggu mama menjemputnya atau mungkin melihat Mama secara kebetulan saat lewat jalan panti. Sudah lama Zila tidak melihat wajah cantik Mama. Dia merasa sedikit rindu. Mama sibuk mengurus toko sembako dan Zils sebenarnya senang melihat Mama sibuk bekerja. Hanya saja penyakit, Mama membuatnya sulit membagi waktu. Jika Zila sehat, dia pasti akan membantu Mama tanpa harus tinggal di panti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
Fiksi UmumDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...