01. Panti Asuhan

11 2 0
                                    

Nazela Zuhra Shafana, kerap kali di panggil Zila, adalah gadis balia umur lima tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nazela Zuhra Shafana, kerap kali di panggil Zila, adalah gadis balia umur lima tahun. Dia terdiam, manik matanya menyaksikan orang-orang berlalu lalang di sekitar.

Bibirnya berkatup rapat. Jaket merah muda bergambar Hello Kitty membuatnya hangat kali ini.

Rumah sederhana bercat biru tua itu tidak terlalu besar. Halamannya luas, berpagarkan besi, dengan mobil Avanza terparkir. Kakinya mulai ia seret menuju tepi sana saat pintu mobil itu terbuka lebar. Perlahan, ia melewati genangan air sisa hujan, dengan pikiran melalang buana penuh tanya.

Rambut panjangnya sepunggung berkuncir dua, dengan ciri khas poni menutupi kening berkibas di terpa angin. Sebelum satu langkah kakinya menginjak lantai dingin, senyuman hangat dari seorang wanita tak lagi muda itu tersungging. Itu terjadi tepat saat pintu rumah di buka lebar-labar menyambut.

Masuk membuka sepatu merasakan dingin lantai keramik rumah, dan duduk di sofa ruang tamu. Obrolan demi obrolan orang dewasa mulai terlontar, Zila tak paham apa yang mereka bicarakan. Tapi mengapa perasaan ini terasa pilu.

"Zila, Mama harus pergi. Zila di sini," ucap sang Mama.

Manik mata Zila menyayu, mencermati perkataan sang Mama. Hatinya menyendu, merasakan pilu menyerbu. Dia tak mengerti dengan semua yang terjadi. Bahkan, tak pernah tahu maksud Mama merencanakan hal seperti ini. Mengapa baru sekarang, mengapa tidak sejak dulu dirinya masih balita, sebelum dirinya mengenal kata "Jajan", mengapa?

Napas Zila tertahan, air matanya menyeruak luruh kala Mama dan Papa beranjak dari tempat duduknya, memilih angkat kaki pergi keluar dari rumah sederhana itu.

"Mama, Papa mau ke mana? Zila ikut." Zila berlari kecil ke arah sang Mama, tubuh mungilnya bergetar, boneka tedy bear cokelat di peluk erat, pipi chubinya bercucuran air mata. Itu adalah minggu sore saat senja akan merangkak naik, menghantarkan dirinya ke rumah asing bernamakan panti asuhan. Tangan kecilnya menghalangi pintu mobil, perlahan menengadah, berharap sang Mama tidak meninggalkannya pergi.

Zila merasa sedih dan bingung. Dia tidak ingin di tinggalkan oleh Mama dan Papa. Mama berjongkok untuk berbicara dengan Zila, air mata mengalir dipipinya dan bibirnya bergetar

"Mama, Papa harus pergi, Zila."

"Zila ingin ikut, Zila tidak mau tinggal di sini."

Sang Mama menggelang pelan, mencoba menyeka air mata Zila yang telah menganak sungai di pipi. Namun, sang Mama mencoba tersenyum untuk menghibur putri kecilnya.

"Tidak, Zila di sini sama Tante Riani, ya!"

Zila menggelang pelan, tangisnya semakin kuat. Dia menengadah menatap sang Papa yang berdiri gagah tidak jauh darinya, berharap Papa tidak meninggalkannya sendirian di rumah asing tidak dikenal.

"Papa, Zila mau ikut."

"Tidak, Zila tidak boleh ikut. Zila harus tinggal di sini." kata sang Papa.

Zila menggelang tidak bisa menerima keputusan itu. Tangisnya masih tak mau berhenti. Dia tidak tahu apa-apa. Mama dan Papa memberikannya kepada orang yang tidak di kenal.

Melangkah Bersama SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang