"Kak Liona, aku sangat khawatir denganmu. Bagaimana keadaanmu setelah terjatuh?" tanya Zila dengan lembut.
"Aku baik-baik saja, Zila. Terima kasih atas perhatianmu," jawab Liona dengan suara lemah.
"Tapi kamu harus mengingat, Liona, jatuhmu sangat serius. Apakah kamu merasa sakit? Apakah ada luka yang serius?"
Liona menatap wajah Zila dengan seksama. "Tenanglah, Zila. Tim medis sedang melakukan yang terbaik untuk memastikan keadaanku stabil. Aku sedang dalam perjalanan pemulihan."
"Aku khawatir kamu merasa sendirian di sini. Aku ingin selalu ada di sampingmu, memberi dukungan yang kamu perlukan."
Liona tersenyum. "Hanya denganmu di sampingku, Zila, aku merasa tenang. Aku sangat berterima kasih atas kehadiranmu dan perhatianmu yang luar biasa."
"Aku berjanji akan selalu ada untukmu, Liona. Kita akan melewati masa pemulihan ini bersama-sama."
"Kak Liona," parau Zila.
Derit pintu terbuka mengalihkan pandangan Zila ke arah belakang. Melihat seorang pria gagah memasuki ruang rawat. Pria itu menghampiri perbaringan Liona dengan langkah mantap. Rasa takut menyelinap ke dalam hati Zila, mendebarkan. Dia bisa merasakan bahwa pria itu adalah ayah Liona yang lama tak ditemui.
Dalam tatapan yang penuh kecemasan, Zila melihat interaksi mereka. Sentuhan lembut sang ayah, suara yang penuh kehangatan. Namun ketakutan melanda, apakah pria itu akan membawa Liona pergi? Kehancuran pikiran dan kecemasan merayap di dalam diri Zila.
Dalam kebingungan yang merajai, Zila memendam rasa takutnya. Dia berusaha memaknai setiap tatapan dan gerakan yang terjadi. Apakah Liona akan pergi dengan ayahnya dan meninggalkannya sendirian? Dalam kehampaan batin, Zila memanjatkan doa dalam hati.
Mata Zila berkaca-kaca, menahan rasa sedih yang ingin pecah. Dia takut kehilangan Liona, teman hidup dan sesama jiwa. Namun, dalam kegelapan yang mengancam, ada sinar harapan yang berpendar. Zila menemukan kekuatan di dalam dirinya untuk bertahan dan berjuang.
Dalam kehadiran yang hadir secara fisik dan emosional, Zila memutuskan untuk menghadapi rasa takutnya dengan bijaksana. Dia akan tetap ada untuk Liona, memberi dukungan tanpa ragu. Menjaga api persahabatan mereka tetap berkobar dalam cinta yang abadi.Bibi Seni mendekati Zila dengan langkah lembut, senyum hangat cahaya menghampiri.
"Zila."
Zila menatap Bibi Seni dengan hangat, hatinya berkaca-kaca, diam-diam bertanya. Bibi Seni meraih tangannya dengan lembut, merangkulnya dalam kehangatan.
"Ayo kita keluar sejenak dari ruangan ini. Ayah Liona ingin berbicara empat mata dengan anaknya," ujar Bibi Seni.
"Tapi aku juga ingin berada di samping Liona sekarang, Bibi."
"Bibi mengerti perasaanmu, Zila. Tetapi sesekali, ada momen-momen seseorang butuh waktu pribadi untuk berbicara dengan orang yang penting bagi mereka. Kamu bisa memberi ruang untuk mereka berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah Bersama Senja
General FictionDalam keguratan usia enam tahun, dia menghadapi cobaan yang tak terduga. Penyakit memisahkan dia dari keluarga, menyepi di pantai yang terpencil. Dia berjuang keras, mengadu kekuatan melawan badai yang menyerang. Satu tahun berlalu, dia sembuh dan k...