Part 43

8 1 0
                                    

~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~
"Apapun itu tak ada salahnya kembali ke jalan yang kemarin meski tujuannya untuk menyusuri hal baru"

-Cakra-
~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~

***
Esok harinya terlihat beberapa orang diundang untuk merenovasi sebuah ruangan sekolah. Jicahaidhen yang tak jauh dari kata kepo itu melihatnya dari dekat. Terlihat ruangan itu bercat biru muda namun sedikit gelap bertujuan agar tidak membuat mata lelah jika melihatnya.

Usai mengecat mereka membiarkan ruangan itu untuk sementara sampai jam istirahat para siswa. Di jam istirahat Jicahaidhen kembali ke ruangan baru itu. Mereka melihatnya dan berpikir entah mengapa warna itu menyejukkan hati mereka dan merasa nyaman ketika memasukinya. Bu Alexa tiba-tiba datang dengan para pekerja yang membawa etalase berisi piala kemenangan mereka.

Jicahaidhen kaget.

"Bu ? Kenapa dipindah ?". Haidar membuka suara.

"Ngga suka punya ruangan baru ?". Tanya Bu Alexa iseng pada mereka.

"Maksudnya ?". Beralih Cakra yang bertanya.

"Sekolah ga pernah kasih kalian hadiah kan ? Sekarang ruangan ini milik kalian sampai kapanpun kalian kemari. Dan ruangan lama biar adik kelas kalian yang makai, dan ibu ga akan biarin siapapun masuk kesini karena ini milik kalian".

Mereka terkejut tak tertolong. Mata yang membulat sempurna berhasil membuat Bu Alexa sedikit tertawa. Disusul Bu Clara dari belakang Bu Alexa.

"Hadeh kalian ini. Ngga peka apa gimana sih ? Ini adalah hadiah sekolah untuk kalian. Kapanpun kalian mau main musik main disini, nanti Bu Alexa kasih kunci masing-masing satu untuk kalian barangkali diluar sekolah kalian mau kesini. Dan untuk alatnya mau yang baru atau yang lama hm ?". Tanya Bu Clara.

"Boleh Bu ?". Pertanyaan Mahen dibalas anggukan dari Bu Alexa.

"Then we want the old one. Because that musical instrument has helped us all this time". Jawab Jiendra sebagai perwakilan dari hati mereka.

"Yang lain setuju ?". Tanya Bu Alexa.

"Ya, kami setuju". Balas mereka serempak.

"Baiklah. Pak, tolong semua yang ada di ruangan itu dipindah kesini ya. Termasuk foto dan sebagainya". Pinta Bu Clara pada pekerja itu. "Baik Bu". Balas pekerja itu.

"Makasih Bu, kami tak tau lagi mau berterima kasih dengan cara apa". Cakra mewakili tiga sahabatnya.

"Iya, sama-sama. Ibu juga berterima kasih karena ada kalian yang mengharumkan nama sekolah kembali. Ruangan ini sengaja ibu siapin jauh dari yang lama karena kalau kalian bermain musik biar ga keganggu antar satu sama yang lain". Kata Bu Alexa menjelaskan.

"Baik Bu, makasih banyak. Kami akan jaga ruangan ini sebaik mungkin sebelum kami lulus nanti". Mereka berempat menunduk hormat pada kedua gurunya itu. Tak habis pikir guru mereka sebaik itu hingga memberi mereka ruangan khusus.

Begitu senang raut wajah mereka hampir tak bisa berkata-kata. Ruang latihan yang begitu dekat dengan kantin sekolah juga kelas mereka sendiri. Bahkan mereka bisa menyimpan apapun tentang musik disana. Kini mereka beralih membantu memindahkan semua barang mereka ke ruangan baru. Tak lupa dengan alat musik yang baru saja turun dari mobil untuk dipindah ke ruangan lama.

***
Waktu terus berlalu. Kalina sudah sering ambruk dari pertahanannya. Lebih sering dirawat Keinan daripada bermain dengan kedua putranya. Meski kadang lebih memilih dirawat dirumah saja tapi sesekali juga menginap dirumah sakit karena memiliki segala alat yang dibutuhkan dengan lengkap. Tak jarang juga Kalina menolak.

Varrel begitu khawatir dengan kesehatan sang ibu bahkan pernah seminggu full bercuti hanya untuk menemani dan melayani Kalina serta bergantian menjaga ketika mendadak Keinan harus merawat yang lain. Sebagai dokter umu Keinan lebih sibuk daripada Varrel. Karena semua keluhan kecil Keinan tangani. Dia juga pernah sebulan tak bercuti karena begitu sibuknya.

"Bu, bertahan lagi ya, sebentar lagi Cakra pulang". Varrel menggenggam tangan ibunya yang tidak terkena infus.

"Ngga janji kak, ibu hanya nurut sama Tuhan". Balas Kalina pasrah. Kankernya mulai memasuki stadium 4 dan sekolah Cakra tinggal 6 bulan menuju kelulusan.

Varrel disana hanya bisa menjaga. Untuk masalah kanker hati ada dokter sendiri disana dan Keinan membantu dokter itu untuk perawatan lebih lanjut. Apapun yang terjadi pada ibunya, Keinan lah yang pertama namanya dipanggil oleh Varrel.

Suatu hari Kalina bisa bangkit dan seperti orang sembuh. Varrel yang melihat itu hanya tersenyum senang bisa melihat ibunya mampu berjalan ketaman rumah. Saat ini Kalina ingin dirawat dirumah karena bosan kalau harus terus dirumah sakit.

Kehadiran kedua putranya seakan menyemangatinya untuk sembuh. Namun kembali pada kenyataan, hanya Tuhan yang tahu akhirnya. Kalina sekarang hanya bisa menunggu kepulangan si bungsu kepelukannya kembali.

***
Berbagai uji coba telah Cakra lewati. Berbulan-bulan Cakra bersekolah dan dapat nilai yang tinggi. Kini ujian kelulusan lah yang Cakra hadapi. Setelah belajar dengan sungguh-sungguh dan dukungan dari keluarganya Cakra merasa begitu tenang ketika dihadapkan dengan banyak soal didepannya. Dia tak terkejut atau gugup sekalipun. Karena restu ortu ada di tangannya sekarang.

Seminggu ujian itu dilakukan akhirnya selesai. Tak ada lagi yang perlu ditakuti. Yang ada dipikiran Cakra hanya pulang dan bertemu keluarganya kembali. Pulang sekolah Cakra mulai packing barang-barang sang ayah yang kemungkinan berguna untuk dibawa pulang. Hanya satu opsi yang membingungkan Cakra. Harus bawa pulang mobilnya atau mobil ayahnya ?. Ya, karena disana ada dua mobil. Kalau dijual salah satunya sangat disayangkan.

Namun kembali Cakra berberes. Selesai itu Cakra mengambil dua kartu ATM sesuai arahan ayahnya beberapa bulan lalu. Dia menyimpannya dengan baik. Setelah itu dia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan keperluan kelulusan. Jiendra yang masih serumah dengannya tiba-tiba menyusul ke kamarnya.

"Cakra". Panggilnya.

"Kenapa Jie ?". Tanya Cakra santai.

"Cakra beneran mau pulang ?". Jiendra memastikan.

"Aku sudah berjanji pada ibu dan kakak Jie, aku ngga bisa ingkari". Balas Cakra.

"Baiklah, nanti Jie bantu packing lagi. Tapi setelahnya Jie tidur disini sampai kita pisah ya". Mata Jiendra terlihat sedih.

"Baiklah, jangan sedih gitu. Jie bisa main ke Indo juga nanti, dan kalau ada waktu aku yang akan main kesini". Senyum Cakra menenangkannya.

"Hum". Jiendra hanya mengangguk mengiyakan perkataan Cakra.

Mereka sahabat layaknya saudara. Entah mengapa Cakra begitu nyaman bersama Jiendra. Selama ini hanya Jiendra yang memahami Cakra. Bahkan sampai titik lemahnya Cakra yang Ravendra tak tau, Jiendra lah yang tau. Wajar saja kalau Jiendra merasa sedih untuk itu.

***

Okelah. Bye-bye

VaKra K.H || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang